Sukses

Plasma Darah Masih Bergantung Pendonor Luar Negeri, Indonesia Kejar Produksi Dalam Negeri

Kebutuhan plasma darah masih bergantung dari pendonor luar negeri untuk kebutuhan produksi obat derivat.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus mendorong ketahanan sektor kefarmasian dalam negeri melalui fraksionasi plasma, yakni pemenuhan plasma darah untuk memproduksi produk obat. Sebab, selama ini kebutuhan untuk fraksionasi plasma masih sepenuhnya bergantung pada impor.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Lucia Rizka Andalucia mengungkapkan, saat ini kebutuhan fraksionasi plasma untuk produksi lokal Produk Obat Derivat (PODP) masih bergantung 100 persen dari impor.

Dalam hal ini, plasma berasal dari pendonor darah luar negeri. Bahkan nilai impor PODP di tahun 2020 saja mencapai sedikitnya Rp1,1 triliun.

“Untuk mendukung penyelenggaraan fraksionasi plasma di Indonesia, Pemerintah tengah menyusun kebijakan untuk memastikan tersedianya suplai plasma yang aman dan berkualitas sebagai bahan baku PODP serta memprioritaskan penggunaan PODP yang diproduksi dengan plasma yang bersumber dari dalam negeri,” tutur Rizka dalam keterangannya, ditulis Senin (2/10/2023).

Kerja Sama dengan SK Plasma

Fraksionasi plasma adalah pemilahan derivat plasma menjadi produk plasma dengan menerapkan teknologi dalam pengolahan darah. Produk plasma ini selanjutnya disebut Produk Obat Derivat Plasma, yaitu sediaan jadi hasil fraksionasi plasma yang memiliki khasiat sebagai obat.

Pada Rabu (27/9/2023), ada penandatanganan Term Sheet antara Indonesia Investment Authority (INA), sebagai badan milik negara yang mengelola dana investasi dengan SK Plasma.

SK Plasma merupakan fraksionator dari Korea Selatan untuk menjalankan proyek fraksionasi plasma di Indonesia. Untuk menjalankan proyek tersebut, SK Plasma telah membentuk perusahaan lokal PT SKBio Core Indonesia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Jumlah Plasma Akan Ditingkatkan

Saat ini, Indonesia memiliki 18 Unit Pengelola Darah (UPD) PMI dan rumah sakit yang tersertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk menghasilkan plasma darah yang memenuhi persyaratan untuk produksi Produk Obat Derivat (PODP).

Jumlah UPD dan plasma yang dihasilkan akan terus ditingkatkan untuk mendukung project fraksionasi plasma.

PODP yang dimaksud antara lain Albumin, Intravenous immunoglobulin (IVIg), Faktor VIII, dan Faktor IX.

3 dari 4 halaman

Jalankan Fasilitas Fraksionasi Plasma

Demi mewujudkan kemandirian Produk Obat Derivat (PODP) produksi dalam negeri, Kemenkes RI telah menerbitkan Permenkes Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Darah. Regulasi ini dikeluarkan untuk membuka partisipasi industri farmasi swasta dalam mendukung pemerintah untuk produksi lokal PODP.

“Dalam hal ini, industri farmasi yang telah ditunjuk sebagai fasilitas fraksionasi plasma harus menjalankan fraksionasi plasma secara kontrak paling lambat 1 (satu) tahun sejak ditetapkan," lanjut Lucia Rizka Andalucia.

"Selain juga mendapatkan sertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Fasilitas Produksi PODP paling lambat 2 (dua) tahun setelah melaksanakan Fraksionasi Plasma secara kontrak."

Transfer Teknologi

Pada tahap awal, plasma yang memenuhi persyaratan keamanan dan kualitas dikirimkan ke fraksionator plasma luar negeri yang telah memiliki teknologi fraksionasi plasma untuk produksi PODP. Kemudian PODP tersebut dikirimkan kembali ke Indonesia untuk memenuhi pelayanan kesehatan.

Tahap selanjutnya, dilakukan transfer teknologi dari fraksionator plasma luar negeri sebagai pemilik teknologi kepada industri farmasi di Indonesia agar dapat produksi PODP di fasilitas fraksionasi plasma di dalam negeri.

4 dari 4 halaman

Kebutuhan Produk Darah Meningkat

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Penny K. Lukito pada Selasa (22/11/2023), menjelaskan bahwa kebutuhan produk darah terus meningkat, baik di Indonesia maupun global.

Kebutuhan produk plasma di Indonesia mencapai Rp1,15 Triliun (USD 733,2 juta), namun seluruh produk derivat plasma yang digunakan tersebut masih merupakan produk impor dengan nilai pembelian yang tinggi.

Berkaca dari pandemi COVID-19, Penny menggarisbawahi bahwa aspek kemandirian sangat diutamakan agar tidak bergantung dengan produk impor, termasuk pada plasma darah.

“Kemandirian produk darah dalam negeri sangat memerlukan bahan baku utama yang bersumber dari UTD yang telah bersertifikasi Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB)," ucapnya.

"Indonesia dengan penduduk sebanyak 275 juta jiwa sangat berpotensial memiliki sumber daya darah yang berlimpah dalam rangka memenuhi kebutuhan plasma darah. Tidak hanya untuk penggunaan dalam negeri, namun juga nantinya dapat ditujukan untuk keperluan ekspor."

Kurangi Impor Produk Darah

Ketua Umum PMI Jusuf Kalla menambahkan, terkait kapasitas industri farmasi dalam negeri yang harus sudah mumpuni dalam melakukan fraksionasi plasma.

“Hal ini sesuai instruksi presiden untuk mengurangi impor produk darah. Industri farmasi lokal sudah siap bekerja sama, dengan didukung oleh teknologi, tentunya sesuai dengan CPOB yang dipersyaratkan oleh BPOM," tambahnya.

"Namun untuk saat ini, kita masih terkendala hambatan yang harus melibatkan BUMN dalam prosesnya."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini