Sukses

Bukan Mimpi Basah, Tanda Remaja Laki-Laki Pubertas Lebih Dulu Terlihat dari Perubahan Seks Sekunder

Tanda pubertas pada remaja laki-laki bukan mimpi basah semata. Orangtua bisa melihat perubahan seks sekunder yang ditandai hal berikut ini

Liputan6.com, Jakarta Perubahan fisik pada remaja perempuan dan laki-laki biasanya merupakan tanda pubertas. Hal ini ditandai dengan perubahan seks primer dan seks sekunder. 

Menurut Dokter Obgyn Yassin Yanuar, perubahan seks primer itu seperti menstruasi sedangkan perubahan seks sekunder ditandai dengan perubahan di sejumlah bagian tubuh sepereti misalnya pertumbuhan payudara, rambut pubis atau kemaluan dan ketiak.

"Tanda pubertas pada remaja yang utama bisa dilihat pacu tumbuh atau penambahan tinggi badan yang cepat, perubahan komposisi tubuh, perkembangan seks sekunder, perkembangan organ reproduksi, perubahan sistem sirkulasi dan sistem respirasi yang berhubungan dengan kekuatan dan stamina tubuh lalu menstruasi," katanya dalam Webinar Hers Protex - Rahasia Talks: Super Parents Kit, Sabtu (15/4/2023).

Menurut Yassin, perkembangan seks sekunder ini juga biasanya menimbulkan gangguan hormon yang ditandai dengan munculnya komedo, jerawat serta perubahan mood pada remaja perempuan jelang masa menstruasi atau PMS (Pramenstruasi).

Sedangkan pada remaja laki-laki, tanda pubertas pada remaja laki-laki bukan mimpi basah semata.

Seperti disampaikan psikolog Roslina Verauli, orangtua bisa melihat perubahan seks sekunder yang ditandai dengan buah zakar dan penis yang bertambah besar, tumbuhnya jakun, kumis serta bulu halus di sekitar kemaluan dan ketiak dan pertumbuhan tinggi badan.

"Bukan mimpi basah, pada anak laki-laki pertumbuhan seks sekunder biasanya di 12 tahun. Ada perubahan otak, hormonal hingga anatomi," katanya.

Vera mengungkapkan, masa pubertas ini menandakan remaja perempuan dan laki-laki siap bereproduksi namun belum tentu keduanya siap jadi ibu atau ayah.

"Ada kesiapan (dalam berhubungan seks) yang perlu ditinjau, termasuk kematangan emosi dan perencanaan masa depan," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perkembangan Otak Remaja

Menurut Vera--sapaan akrab Roslina Verauli, pada perkembangan otak remaja ada jaringan sosial emosional yang belum matang. Hal inilah yang memicu tindakan berisiko pada remaja.

"Tidak heran sikap remaja meledak-ledak atau kerap melakukan aksi berisiko, salah ambil keputusan, salah bergaul atau melakukan aktvitas seksual tanpa rencana," katanya.

Ia juga mengungkapkan, cara berpikir remaja yang cenderung egosentris. "Remaja itu merasa center itu diri mereka sendiri. Kalau misalnya ada satu jerawat di pipi saja, mereka akan menata rambutnya seolah dunia memperhatikan jerawatnya. Begitu pun ketika mereka menyukai lawan jenisnya, mereka akan menganggap pacaran ini paling hebat, soulmate. Padahal masih cinta monyet."

Vera mengatakan, proses kematangan emosional seseorang itu berkembang bertahap dan dianggap mature di usia 20 tahun. 

"Remaja itu belum mampu mengendalikan dirinya. Apalagi saat menstruasi atau PMS, remaja putri jadi emosional. Dampaknya apa? Ketika orangtua mengatakan sesuatu, ia bisa tersinggung, marah, ngambek. Untuk itu, mereka butuh dukungan orangtua untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan hormonal," jelasnya.

3 dari 3 halaman

Peran Orangtua Mencegah Aktivitas Seksual di Usia Dini

Adalah tugas orangtua memberikan pendidikan seksual dan memperjelas gender agar anak-anak dapat membuat keputusan yang tepat pada dirinya, kata Vera.

"Usia 20 tahun ke atas, mereka siap menentukan. Anak perlu tahu, aktivitas seksual safe setelah pernikahan," katanya.

Orangtua juga perlu menegaskan batasan dan aturan untuk membantu anak bisa membedakan mana bentuk kasih sayang atau paksaan. 

"Remaja butuh naksir, tapi belum tentu butuh pacaran. Mereka itu butuh pemenuhan kebutuhan emosional. Untuk itu, perlu orangtua terkoneksi dengan remaja. Orangtua bisa mengawali dengan obrolan ringan lebih dulu. Lalu bisa cerita sehari-hari atau menunjukkan film atau fakta yang terjadi di sekitar. Sampai pada level anak mulai curhat. Didengarkan, bukan dipertanyakan agar anak tidak jadi insecure dan komunikasi orangtua-anak tidak jadi negatif dan menghindar," kata Vera.

Orangtua juga diharapkan dapat menunjukkan bentuk kasih sayang pada remaja agar bisa membedakan keputusan sehat tentang seksualitasnya.

"Kalau ada yang kurang ajar, bad touch, anak jadi tahu, oh yang orangtua kasih itu sentuhan kasih sayang. Sebab seringkali remaja putri jadi objek seksual, seperti imbal jasa. Misalnya ditraktir nonton atau sekadar hukuman karena mantannya tidak mau berhubungan seksual atau ego dalam berkompetisi dengan teman-temannya, remaja putri jadi korbannya. Hati-hati dalam membangun relasi dengan remaja. Untuk itu, connecting dulu baru correcting," jelasnya.

"Anak yang mampu berfungsi secara optimal di kehidupannya biasanya adalah anak yang merasa diterima dan dicintai orangtuanya tanpa syarat. Parent yang supporting sehingga anak mampu menghadapi stres, i can handle, i can control myself. Inilah ciri anak yang sehat mentalnya," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.