Sukses

Alergi dan Intoleransi Makanan, Lebih Bahaya Mana untuk Anak?

Alergi makanan dan intoleransi makanan sering dianggap sama karena memiliki gejala yang mirip. Apa saja perbedaan antara keduanya?

Liputan6.com, Jakarta Alergi makanan dan intoleransi makanan dipengaruhi oleh sistem yang berbeda dalam tubuh. Sistem kekebalan bertanggung jawab atas alergi makanan, sedangkan sistem pencernaan mempengaruhi intoleransi makanan.

Terlepas dari mekanisme tubuh dalam reaksi ini, alergi dan intoleransi makanan dapat memengaruhi pola makan, kesehatan, dan kualitas hidup seseorang.

Apa itu alergi dan intoleransi makanan, penyebab, dan gejala intoleransi makanan dan alergi makanan? Berikut penjelasan dan cara mengatasinya, melansir Verywell Health.

Apa Itu Alergi dan Intoleransi Makanan?

Reaksi alergi terhadap makanan terjadi ketika tubuh mengenali makanan tertentu (alergen) sebagai ancaman dan kemudian memproduksi antibodi penangkal ancaman yang disebut Immunoglobulin E (IgE).

Alergi makanan memengaruhi sekitar 2% hingga 10% populasi, dengan sebagian besar alergi makanan berkembang pada anak usia dini.

Intoleransi makanan adalah reaksi terhadap makanan yang terjadi pada sistem pencernaan. Sulit untuk menentukan perbedaan antara alergi makanan dan intoleransi makanan karena gejalanya terlihat dan terasa sangat mirip.

Intoleransi makanan jauh lebih umum daripada alergi makanan dan memengaruhi hingga 20% populasi dunia.

Perbedaan terbesar antara alergi makanan dan intoleransi makanan adalah sistem tubuh yang bertanggung jawab atas responsnya.

Sistem kekebalan bertanggung jawab atas proses yang menyebabkan alergi makanan, sedangkan sistem pencernaan bertanggung jawab atas respons intoleransi makanan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Punya Penyebab dan Gejala Yang Berbeda

Alergi makanan adalah hasil dari respons imun terhadap makanan tertentu. Ketika reaksi alergi terhadap makanan terjadi, sistem kekebalan secara khusus merespons protein makanan yang dikenali tubuh sebagai ancaman.

Dalam kasus alergi, protein makanan adalah molekul kecil yang menyusun makanan tertentu.

Intoleransi makanan, di sisi lain, disebabkan oleh komponen makanan non-protein. Salah satu contoh umum dari hal ini adalah intoleransi laktosa.

Laktosa adalah gula alami yang ditemukan dalam susu sapi. Orang dengan intoleransi terhadap laktosa tidak dapat memecah gula ini, yang biasanya menimbulkan gejala seperti sakit perut, kembung, diare, gas, dan mual.

Alergi Memiliki Konsekuensi Jauh Lebih Parah

Gejala intoleransi makanan sering kali tidak nyaman dan dapat membuat hari menjadi buruk jika Anda makan salah satu makanan pemicunya. Namun, alergi makanan dapat memiliki konsekuensi yang jauh lebih parah dan dalam waktu lama.

Seseorang dengan alergi makanan dapat mengalami reaksi kulit saat terpapar makanan pemicunya seperti sarang, rasa gatal, pembengkakan, eksim, muntah, dan diare.

Reaksi alergi yang paling parah terhadap makanan disebut anafilaksis, yang dapat menyebabkan kesulitan bernapas, kehilangan kesadaran, bahkan kematian jika tidak segera ditangani dengan epinefrin.

3 dari 4 halaman

Alergi dan Intoleransi Makanan Umum

Menurut American College of Allergy, Asthma, and Immunology (ACAAI), terdapat sembilan jenis makanan menyebabkan 90% alergi makanan yakni telur, susu, kacang kacangan, kacang pohon, ikan, kerang, gandum, kedelai, dan wijen.

Intoleransi atau kepekaan terhadap makanan sering masuk dalam kategori yang sama seperti yang tercantum di atas.

Salah satu penyebab intoleransi makanan yang tidak memicu alergi makanan adalah FODMAP (oligosakarida, disakarida, monosakarida, dan poliol yang dapat difermentasi). Makanan yang mengandung FODMAP tingkat tinggi dapat menyebabkan masalah perut bagi penderita intoleransi.

Intoleransi makanan umum lainnya termasuk sensitivitas gluten dan intoleransi histamin. Gluten adalah protein yang ditemukan dalam gandum dan sejenisnya.

4 dari 4 halaman

Penanganan Melalui Tes Diagnostik

Dalam penanganannya, perlu dilakukan tes diagnostik yang bisa berupa tes kulit, tes darah, atau keduanya.

Tes kulit dilakukan dalam pengaturan terkontrol di bawah pengawasan ahli alergi. Jenis tes kulit yang paling umum disebut "tes tusuk".

Selama tes ini, setetes kecil alergen yang mungkin ditusuk atau digoreskan ke kulit. Ahli alergi mencari reaksi dan biasanya dapat menentukan alergen dengan lebih cepat.

Sementara itu, biasanya dibutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan hasil tes darah karena perlu dianalisis. Analisis ini mencari IgE, antibodi penangkal ancaman yang khusus untuk alergi makanan.

Strategi Mengelola Alergi Makanan

Strategi paling efektif untuk mengelola alergi makanan adalah menghindari alergen makanan.

Dalam beberapa kasus, menghindari kelompok makanan diperlukan karena risiko reaktivitas silang, yang terjadi ketika tubuh mengenali susunan kimia dari dua makanan berbeda sebagai ancaman yang sama.

Penyedia layanan kesehatan akan meresepkan epinefrin untuk individu yang berisiko tinggi mengalami anafilaksis akibat makanan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.