Sukses

Sedikit Dokter Bedah Jantung Dikirim ke Daerah, Apa Keluhannya?

Dokter bedah jantung yang bertugas di daerah terbilang sedikit.

Liputan6.com, Jakarta - Persebaran dokter bedah jantung atau yang dikenal dengan sebutan dokter bedah torak kardiak dan vaskular (BTKV) di daerah tergolong sedikit. Bahkan tidak semua provinsi di Indonesia yang memiliki dokter bedah jantung.

Lantas, keluhan apa yang dialami dokter bedah jantung untuk penugasan di daerah? Dokter bedah jantung anak, Pribadi Wiranda Busro mengakui, ada beberapa keluhan yang dialami dokter BTKV yang sudah dikirim ke daerah.

Laporan keluhan masuk sebenarnya setahun sebelum ini. Salah satu keluhan berhubungan dengan dukungan dari pemerintah daerah (pemda) setempat terhadap rumah sakit, tempat dokter BTKV bertugas.

“Yang dikeluhkan sebelum setahun ini ya, itu support (dukungan) dari pemda setempat. Ketika mereka kembali ke daerah, belum ditunjang oleh fasilitas yang ada,” beber Wiranda saat sesi wawancara khusus yang diikuti Health Liputan6.com di Pusat Jantung Nasional RS Harapan Kita Jakarta, ditulis Selasa (31/1/2023).

“Karena kan operasi jantung butuh mesin bypass. Jadi datang ke rumah sakit itu belum ada mesin bypass, ya gimana mau operasi? Walau gimana kan mereka butuh hidup juga. Kalau enggak ada pasiennya, ya enggak bisa.”

Mesin bypass digunakan untuk operasi bypass jantung. Tindakan ini adalah prosedur mengatasi penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah arteri koroner pada mereka yang mengidap penyakit jantung koroner.

Saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah berupaya melakukan pemerataan dokter spesialis, khususnya bedah jantung di daerah. Artinya, kasus bedah jantung tidak harus semua dirujuk ke rumah sakit rujukan nasional, melainkan ada yang bisa dikerjakan di rumah sakit setempat.

“Tapi sekarang ini karena Kemenkes nge-push (mendorong) sehingga sekarang peminatnya membludak banyak. Yang udah masuk ke sini (RS Jantung Harapan Kita) 1 banding 3 lah. Sekarang, daftarnya 34 (pasien), yang kami terima cuma 10 (pasien),” ucap Wiranda.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mendidik Calon Dokter Bedah Jantung

Ketersediaan dokter bedah jantung, diakui Pribadi Wiranda Busro memang masih minim. Baru ada 165 dokter bedah jantung yang ada di Indonesia. Pertanyaan pun menyeruak, apakah pendidikan dokter spesialisnya terbilang sulit?

Bagi Wiranda, pendidikan dokter bedah jantung tidak dipersulit. Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), mereka mendapatkan pendidikan yang setara, tanpa ada perbedaan antara senior dan junior.

Selama menempuh pendidikan, Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) juga tidak boleh ada perundungan (bullying).  

 

Bullying tidak boleh sama sekali di UI dan saya tergolong tipe yang melihat PPDS bukanlah objek, tapi mereka punya keluarga. Justru kami menghargai mereka, kalau mereka jaga (praktik) mesti istirahat sebagainya dan memang ada diperbolehkan cuti. Cuti hak asasi manusia ya,” terang Wiranda.

“Ada yang nikah, hamil punya anak mau cuti, boleh. Kalau kita mendidik mereka, suatu waktu kita juga membutuhkan mereka kan.”

 

Di RS Jantung Harapan Kita, PPDS juga digaji. Meski jumlahnya tidak banyak, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kami mengambil kesetaraan dan di RS Jantung Harapan Kita, PPDS digaji,” sambung Wiranda. 

Berdasarkan data Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia (HBTKVI), persebaran dokter BTKV di Indonesia lebih banyak terpusat di Jawa dan Sumatera.

Apabila melihat persebarannya, wilayah Indonesia bagian timur, yakni Maluku dan Papua, tidak terdapat dokter bedah jantung. Wilayah Nusa Tenggara, baru ada di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Di Kalimantan dan Sulawesi, persebaran dokter bedah jantung juga tidak merata ada di tiap provinsi. Di Kalimantan hanya menyebar Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sedangkan Sulawesi di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.

3 dari 3 halaman

Fokus pada Penyakit Jantung

Kembali disampaikan oleh Pribadi Wiranda Busro, Kemenkes berfokus pada penanganan penyakit kronis yang sebabkan kematian tertinggi di Indonesia. Salah satunya, penyakit jantung menempati posisi pertama di Indonesia dengan jumlah kasus 12,9 juta (data tahun 2022).

 

“Kelihatannya program dari Pemerintah, Kementerian Kesehatan mulai bisa dikerjakan dengan melihat angka kematiannya tinggi, ya jantung. Jadi fokus jantung, kan dulu Menkes (Budi Gunadi Sadikin) sibuk (urus) COVID,” lanjutnya.

“Sehingga sekarang di push dengan pendekatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga. Itu pentingnya upaya mendukung dari pemdanya.”

 

Demi mendukung pemerataan pelayanan jantung di daerah, RS Jantung Harapan Kita sebagai rujukan nasional dan pengampu membantu dari sisi tenaga keahlian. Namun, tetap harus dibutuhkan dukungan dari pemda, termasuk dana.

“Karena kami sebagai pengampu atau pengampu Rumah Sakit Jejaring, kami butuh support. Cuma kami bisa bantu tenaga keahlian dan sebagainya, tetapi support yang lainnya itu harus dibantu oleh pemda,” imbuh Wiranda.

“Dan kelihatan sih Kementerian Keuangan bilang soal dana. Dengan kata lain, sekarang ini sudah bergerak ke sana (pemerataan layanan jantung).”

Dengan adanya upaya pemerataan layanan jantung, Wiranda berharap masyarakat dapat mendapatkan layanan secepat mungkin, tanpa harus dirujuk jauh. Selain itu, peningkatan layanan BPJS Kesehatan untuk menjamin penyakit jantung dapat lebih baik lagi.

Insya Allah, mudah-mudahan pelayanan jantung lebih baik lagi di anak maupun dewasa. Dan saya merasa sendiri BPJS itu bagus. Alhamdulillah, itu bagus sekali,  jadi kalau sakit jantung, Insya Allah di cover (ditanggung),” harapnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.