Sukses

Buntut Pandemi COVID-19, Gangguan Tidur pada Remaja Mengalami Peningkatan

Selama pandemi COVID-19, gangguan tidur pada remaja ternyata mengalami peningkatan. Alhasil, kesehatan mentalnya ikut terdampak.

Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 banyak membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk pada remaja. Salah satunya dampaknya berkaitan dengan gangguan tidur, yang ternyata mengalami peningkatan selama pandemi berlangsung.

Dokter spesialis anak, Prof Dr dr Rini Sekartini mengungkapkan bahwa banyak survei yang menunjukkan gangguan tidur pada remaja memang mengalami peningkatan, khususnya selama pandemi COVID-19.

"Kita harus aware kalau bukan balita saja yang mengalami gangguan tidur. Ternyata anak remaja juga punya gangguan tidur terutama selama masa pandemi COVID-19. Dari banyak survei yang dilakukan ternyata gangguan tidurnya meningkat (pada remaja)," ujar Rini dalam acara Tanya IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) ditulis Sabtu, (26/11/2022).

Rini mengungkapkan, setelah mengalami gangguan tidur dan harus kembali menjalani aktivitas secara offline, banyak remaja yang akhirnya kewalahan untuk memutar kembali pola tidurnya.

Terlebih, seringkali gangguan tidur pada remaja tidak terdeteksi. Hal ini lantaran banyak remaja yang sudah tidur terpisah dari orangtuanya. Sehingga pola tidurnya tidak lagi cukup terpantau seperti saat anak-anak.

"Remaja diharapkan pola tidurnya sudah mandiri. Tapi justru dengan kemandiriannya ini, gangguan tidur yang dialami tidak terdeteksi dan orangtua kemudian baru tahu, baru ngeh kalau anaknya ada gangguan tidur," kata Rini.

"Jadi kita harus memperhatikan lagi pola tidur pada remaja, yang faktor lingkungannya sangat banyak yang mempengaruhi. Baik dari lifestyle, lingkungan kamar tidur, demikian juga pengaruh dari lingkungan pertemanan," tambahnya.  

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Idealnya Tidur 8 Jam Saat Malam Hari

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana. Selaras dengan Rini, Vera pun mengakui adanya peningkatan gangguan tidur pada remaja di saat pandemi COVID-19.

Menurut Vera, hal tersebut memang terjadi karena adanya pelonggaran batasan dimana segala aktivitas nampak bisa dilakukan kapanpun. Sehingga terjadilah perubahan aktivitas yang berdampak pada perubahan waktu tidur.  

"Selama pandemi kemarin, meningkat tuh gangguan tidurnya karena kita di rumah, jadi longgar batasannya. Apa saja bisa dilakukan kapan pun. Jadi terjadi perubahan aktivitas. Klien saya ada yang tidur jam 3 pagi, karena tidak harus bangun pagi kan. Jadi cuma bangun, kucek-kucek mata, buka laptop deh masuk sekolah," kata Vera. 

Rini mengungkapkan bahwa kategori usia remaja sendiri biasanya terbagi menjadi tiga yakni remaja awal (10-12 tahun), menengah (13-15 tahun), dan akhir (16-18 tahun). Namun jumlah waktu tidur pada ketiga kategori remaja tersebut tetap sama.

"Kalau pada remaja, pola tidur jumlah waktunya sama. Remaja awal maupun akhir itu minimal harusnya delapan jam. Tapi kalau kita tanya, banyak orangtua yang anaknya enggak ada yang pernah tidur delapan jam terutama tidur malam, bukan dijumlahkan," ujar Rini.

3 dari 4 halaman

Dampak Tidur pada Kesehatan Mental

Lebih lanjut Vera mengungkapkan bahwa tidur seringkali menjadi suatu hal yang di underestimate. Padahal dampaknya besar pada kesehatan mental seseorang dan lagi-lagi seringkali hal ini banyak tidak disadari.

"Seringkali itu (tidur) di nomor sekiankan. Jadi banyak kasus yang datang, remaja keluhannya adalah cemas, depresi, self harm, suicidal, dan sejenis itu. Kalau dirunut, itu memang tidurnya terganggu. Tidurnya kurang berkualitas," kata Vera.

"Ibaratnya, bagaimana sih badan kita mau berfungsi secara optimal kalau misalnya kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Bahkan saya baca, kalau remaja yang tidurnya kurang dari delapan jam memang meningkatkan risiko self harm, suicidal behavior, dan suicidal thought itu," sambungnya.

Vera menjelaskan, saat seseorang tidak tidur dengan cukup, fungsi lain dari tubuh yang bersangkutan akan ikut terganggu. Dari sanalah emosi seseorang bisa mengalami gangguan dan menciptakan dampak-dampak lanjutannya.

"Kalau memang tidurnya kurang, tentu saja itu memengaruhi fungsi lainnya. Seperti berpikir dan pengendalian emosi. Jadi untuk mengendalikan emosinya, bukan anaknya diajak meditasi atau yoga, tapi cukupkan dulu tidurnya. Sesuaikan dengan usianya," ujar Vera.

4 dari 4 halaman

Kurang Tidur, Potensi Gangguan Psikologis Lebih Tinggi

Persoalan kurang tidur sendiri telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian. Salah satunya oleh sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS ONE.

Para peneliti menemukan bahwa orang yang sering aktif di malam hari memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami gangguan psikologis. Hal tersebut lantaran seseorang yang memiliki ritme sirkadian berbeda yakni lebih aktif pada malam hari memiliki strategi koping yang berbeda terhadap stressor.

Studi tersebut menekankan dampak besar ritme sirkadian terhadap kesehatan dan fungsi manusia. Ritme sirkadian merupakan sebutan dari sebuah proses internal atau alami tubuh yang mengatur irama kehidupan termasuk siklus tidur-bangun manusia dalam 24 jam.

Hal selaras pun sempat dibahas dalam sebuah studi yang dipublikasikan dalam National Library of Medicine. Para peneliti menemukan bahwa para pekerja dengan shift malam 40 persen lebih mungkin mengalami depresi.

Begitupun sebaliknya, gangguan terkait ritme sirkadian juga sering terjadi pada mereka yang memiliki depresi. Misalnya, mengalami perubahan pola tidur, ritme suhu tubuh, hingga ritme hormon.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.