Sukses

Waspada MIS-C, Anak Bergejala COVID-19 Harus Swab

Pada anak-anak di bawah 6 tahun akan kelihatan pernah terinfeksi COVID-19 dari antibodi COVID karena belum vaksinasi.

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini sejumlah orangtua tentu merasakan bagaimana anak-anak bergantian terkena batuk pilek maupun demam. Sayangnya, sangat sedikit orangtua yang memilih melakukan tes swab baik antigen atau PCR. Padahal swab salah satu cara untuk memastikan terinfeksi COVID-19 atau penyebab lainnya. 

Dr. Yogi Prawira, Sp.A(K), yang merupakan Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyadari kesadaran masyarakat untuk testing mulai turun. Tanpa disadari, anak-anak yang tidak pernah testing ini tidak akan ketahuan riwayatnya jika tiba-tiba terkena Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C).

MIS-C adalah sindrom peradangan multisistem pada anak-anak. Ini adalah kondisi di mana bagian tubuh yang berbeda dapat meradang, termasuk jantung, paru-paru, ginjal, otak, kulit, mata, atau organ pencernaan.

"Yang jadi masalah saat ini kesadaran untuk testing sudah mulai turun sehingga sering kali anak-anak, terus terang saat kami merawat, cukup banyak ya yang mengalami MIS-C. Kalau ditanya orangtuanya, 'Oh saya nggak tahu kalau anak saya pernah terinfeksi COVID-19.' Entah karena tadi menganggap gejalanya batuk pilek ringan biasa, jadi nggak usah dites," kata Yogi dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu. 

Lantas bagaimana dokter bisa mendiagnosis anak tersebut pernah terinfeksi COVID-19?

Pertama, kata Yogi, dokter melakukan contact tracing. Apabila anak tidak pernah dites maka tidak akan ketahuan pernah positif atau memang negatif. Jika seperti itu, dokter akan menanyakan apakah ada orang yang tinggal serumah pernah terinfeksi COVID-19? 

"Ataukah anaknya pernah kontak dengan teman sekolahnya yang ternyata positif PCR atau antigennya, jawabnya ada. Itu sudah satu clue," jelas Yogi.

Kemudian yang kedua, lanjut Yogi, beberapa anak ini diperiksakan antibodinya. Pada anak-anak di bawah 6 tahun akan kelihatan pernah terinfeksi COVID-19 dari antibodi COVID-nya karena belum vaksinasi.  

"Antibodi ini didapat dari dua cara, yakni vaksinasi dan infeksi alami. Ternyata banyak anak-anak di bawah enam tahun ini antibodinya pernah positif. Kan di Indonesia belum divaksin nih yang di bawah 6 tahun, tapi dia sudah pernah terinfeksi," jelas Yogi. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tetap Swab Anak

Kuncinya apa agar orangtua tidak kecolongan seperti ini? Menurut Yogi, orang tua harus memiliki kesadaran dan memperhatikan status anaknya. Ini artinya orangtua harus tahu jika anaknya terpapar COVID. 

"Kalau anak bergejala jangan tidak di-swab. Karena begitu kita tahu, oke anak saya positif maka saya pantau sekian lama. Kalau diliteratur 2-8 minggu untuk masa akut mengalami MIS-C, di atas 12 minggu masuk kategori Long Covid," tegas Yogi. 

 Apabilal orangtua ingin anak bersekolah offline, maka lengkapi vaksinasi bukan hanya vaksinasi dasar, tapi juga vaksinasi tambahan. Termasuk vaksinasi COVID-19.

"MIS-C bisa diturunkan risikonya dengan vaksinasi COVID-19. Bisa menurunkan risiko sampai 91-92 persen," kata Yogi.

Ia menyadari pada anak-anak yang sehat, tidak punya komorbid, pada saat terinfeksi COVID-19, biasanya akan sembuh dengan sendirinya. Namun tetap saja orang tua harus memantau 2-8 minggu setelahnya untuk kemungkinan MIS-C. 

 "Tapi yang menjadi issue dan concern kita adalah mengenai post-COVID-19 yakni MIS-C. Secara sederhana pada saat anak terinfeksi COVID banyak sembuh sendiri, tapi kemudian dalam hitungan 2 minggu kemudian, ada yang menyebutkan bisa sampai 12 minggu kemudian, dan beberapa melaporkan ternyata berbulan-bulan. Kemudian anak ini lebih rentan untuk mengalami peradangan hebat," jelasnya. 

 

 

3 dari 4 halaman

Waspadai Hal Ini

 

Apa saja yang perlu orangtua waspadai? Pertama, kata Yogi, orangtua harus waspada jika anak demam. Demamnya itu bisa 24-72 jam. Demamnya biasanya bandel.

Kemudian, perhatikan juga jika anak mengalami gejala di saluran cernanya, seperti muntah dan diare. Bahkan, beberapa anak ada yang mengalami gangguan di saluran kemih. Anak-anak ini mengalami penurunan produksi urine secara mendadak dengan waktu yang sangat singkat

"Kalau ayah bunda anaknya baru saja terpapar COVID dalam hitungan minggu sampai bulan kemudian gejala demam, keluhan saluran cerna, kita pantau produksi urinenya. Kan anaknya harusnya 4 jam sekali 6 jam sekali ada pipis, ternyata dia memanjang lebih 12 jam. Nggak ada urine atau jumlahnya sedikit itu sudah awareness bagaimana pun harus konsultasi," kata Yogi.

Kewaspadaan orangtua sangat diperlukan karena menurut Yogi terjadi peningkatan kasus yang tadinya anak-anak sehat saja, namun beberapa minggu kemudian muncul gejala postcovid. 

"Sebagian besar akan sembuh sendiri, namun justru laporan menyebutkan bahwa pada 2 hingga 8 minggu, ada sebagian kecil anak yang kemudian mengalami peradangan hebat

Untuk itu, kata kunci yang tepat dalam kondisi seperti ini adalah pencegahan. Yogi menyadari pencegahan ini juga tidak bisa individual, ada beberapa lapisan yang ikut berperan. Selain pemerintah, masyarakat juga saling bekerja sama.

 "Kalau Mama mau kirim sekolah kemudian melihat Kepala Sekolah, guru kalau ngomong masker diturunin, ini harus menjadi catatan karena anak peniru ulung. Atau yang nganterin sering kali kita lihat "Ooo outdoor tidak pakai masker." Rekomendasi terbaru dengan situasi yang belum jelas itu menggunakan masker itu wajib." 

"Dua hal yang tidak boleh dikurangi yaitu masker dan ventilasi. Kalau misalnya kita masih mencari apa sih prokes yang paling efektif, yaitu masker dan ventilasi.

Yogi menerangkan bahwa itu artinya ada saat masker anak-anak harus diturunkan untuk mengonsumsi makanan dan sebagainya, maka sekolah harus memperhatikan ventilasinya. Itu termasuk dalam pencegahan.

 

 

4 dari 4 halaman

Kasus MIS-C pada Anak

Selama ini data tentang anak yang terkena MIS-C memang belum lengkap, jika dipersentase pun terbilang kecil. Namun, Yogi selalu menekankan berbicara anak ini tak bisa berbicara tentang persentase.  

 "Ada yang bilang 2 dari 100.000 anak yang akan mengalami kejadian ini akan masuk ICU dan fatal, berarti kalau dalam persentase cuma 0,0 sekian. Tapi buat orang tua buat si anak, itu adalah 100 persen. Jadi kita jangan hanya bicara statistik." 

"Jangan hanya lihat angka-angka saja, tapi lihat di lapangan karena terus terang, pemahaman tentang COVID-19 tergantung seberapa banyak kita terpapar dengan kasus itu. Kebetulan saya di ICU anak, ketemunya yang berat-berat makanya saya lebih concern dalam masalah ini," ujarnya dengan tegas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini