Sukses

Terapi Ginjal Cuci Darah Lewat Perut Sulit Berkembang di RI

Penyebab terapi cuci darah lewat perut untuk pasien ginjal sulit berkembang, padahal jika dihitung biayanya relatif lebih murah.

Liputan6.com, Jakarta Terapi ginjal dengan metode cuci darah lewat perut (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis/CAPD) rupanya sulit berkembang di Indonesia. Padahal, terapi ini menjadi salah satu pilihan terbaik, terlebih Indonesia yang memiliki banyak pulau.

Menurut dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal hipertensi, Zulkhair Ali, peritoneal dialysis sebenarnya cukup bagus untuk diterapkan secara mandiri. Namun, sampai saat ini pasien penyakit ginjal yang menggunakan terapi tersebut masih rendah.

"Sampai saat ini, pasien-pasien peritoneal dialysis itu masih sangat rendah. Kalau pasien hemodialisis (cuci darah dengan mesin) saja, jumlahnya bisa sampai ratusan ribu," beber Zulkhair saat Temu Media Hari Ginjal Sedunia Tahun 2022 pada Kamis, 17 Maret 2022.

Permasalahan CAPD sampai sulit berkembang di Indonesia, karena penerimaan pasien masih relatif rendah. Pasien-pasien kita terbiasa ditolong, jarang mau mandiri. Lalu enggan direpotkan harus ganti cairan 3-4 kali sehari."

Pada metode CAPD, pasien diharuskan untuk menjalani operasi pemasangan kateter ke dalam rongga perut terlebih dahulu. Cuci darah bisa dilakukan segera setelah kateter terpasang.

Pasien penyakit ginjal akan diajari cara melakukan pertukaran cairan dengan benar serta cara untuk menghindari infeksi. Setelah 1-2 minggu menjalani CAPD dengan bantuan perawat, biasanya pasien sudah dapat melakukannya sendiri di rumah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sanitasi yang Rendah dan Risiko Infeksi

Penyebab lain yang membuat metode cuci darah lewat perut sulit berkembang juga berkaitan dengan sanitasi dan risiko infeksi. Apalagi terapi ini bisa dilakukan sebanyak 3-6 kali dalam sehari dan cairan yang keluar harus dibuang ke toilet atau kamar mandi.

"Disadari bahwa sanitasi rumah-rumah pasien kita juga relatif rendah, sehingga kemungkinan infeksi juga cukup besar. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah partisipasi dari rumah sakit dan tenaga kesehatan," lanjut Zulkhair Ali.

"Ini sudah diterapkan oleh Kementerian Kesehatan bahwa ada indikator mutu rumah sakit dan ahli, tapi pemasangan alatnya juga masih kurang."

Walau ada sejumlah risiko, metode CAPD harus ditingkatkan. Pertama, karena tidak menggunakan sarana dan prasarana yang canggih dan bisa dilakukan di rumah. Kedua, biayanya relatif lebih murah dan bisa menyebar jauh sampai ke pelosok desa.

"Kalau kita lihat di Maluku, fasilitas layanan untuk cuci darah ada satu. Bayangkan, dengan begitu banyak pulau, maka CAPD saat ini akan menjadi pilihan yang terbaik. Pasien juga bisa langsung kerja (melanjutkan aktivitas)," pungkas Zulkhair yang juga perwakilan Pengurus Besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).

3 dari 3 halaman

Infografis 3 Keajaiban Cuci Tangan Saat Pandemi Covid-19

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.