Sukses

HEADLINE: Kematian Akibat COVID-19 Lampaui 100 Ribu Jiwa dan BOR ICU Masih Tinggi, Badai Belum Berlalu Kawan

Selama Juli 2021, angka kematian akibat COVID-19 mencapai 30 ribu. Memasuki Agustus, akumulasinya melebihi 100 ribu orang yang meninggal karena terpapar virus SARS-CoV-2.

Liputan6.com, Jakarta Belum ada tanda-tanda pagebluk COVID-19 terkendali di Indonesia. Meski sudah terjadi penurunan kasus harian yang terkonfirmasi positif, angka kematian akibat COVID-19 masih tinggi.

Dalam sehari, ada seribuan, bahkan pernah dua ribu orang yang meninggal karena terinfeksi virus SARS-CoV-2 di satu bulan terakhir. Jika diakumulasikan dari awal pandemi hingga 6 Agustus 2021, tercatat 104.101 orang meninggal karena COVID-19

Kekhawatiran jumlah orang yang meninggal karena COVID-19 masih ada melihat munculnya tren kenaikan kasus di luar Jawa dan Bali. Beberapa provinsi memperlihatkan kenaikan jumlah pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.

"Kasus harian di Pulau Jawa juga semakin menurun. Tetapi kita sekarang ini sedang siaga, waspada penuh bahwa terjadi peningkatan (kasus) di Bali dan luar Jawa," kata Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, usai meninjau RS Darurat Wisma Atlet Jakarta, Jumat (6/8/2021). 

Moeldoko menyampaikan bahwa kasus COVID-19 di Bali dan luar Pulau Jawa pada dua minggu lalu berada di angka 13.000 per hari. Namun, pemerintah mencatat kasus COVID-19 di Bali dan luar Pulau Jawa mencapai 16.000 per hari pada Jumat kemarin.

"Dan ini sudah diwanti-wanti oleh bapak Presiden untuk semuanya mewaspadai situasi ini," katanya.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 8 halaman

Kasus Kematian COVID-19 Juli pada Usia Produktif

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan COVID-19, angka kematian COVID-19 justru naik lima kali lipat pada usia produktif. Angka ini membandingkan antara data kematian Juni dengan Juli 2021.

Kenaikan kematian COVID-19 tersebut disumbang dua kelompok usia produktif, yakni umur 31-45 tahun dan 46-59 tahun.

"Kita lihat data kenaikan kematian COVID-19 tertinggi bulan Juni versus Juli 2021 ya. Yang terjadi adalah kematian bukan lagi usia di atas 60 tahun, tapi terjadi pada kelompok usia 46-59, yang awalnya 2.500 naik jadi 13.000 kasus," kata Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas COVID-19 Dewi Nur Aisyah saat dialog Evaluasi Angka Kepatuhan dan Kematian COVID-19 di Indonesia, Rabu (4/8/2021).

"Sekitar 5 kali lipat kenaikannya. Kemudian distribusi kematian usia 31-45 tahun, yang awalnya hanya 964 jadi 5.159 kematian. Ini kenaikannya lebih dari 5 kali lipat tingginya dibanding bulan Juni," Dewi melanjutkan.

Untuk kematian di atas usia 60 tahun, menurut Dewi memang ada peningkatan. Namun, kenaikannya masih di bawah kelompok usia 31-45 tahun dan 46-59 tahun (total akumulatif kedua kelompok produktif).

Pada Juni 2021, kematian COVID-19 pada kelompok lansia (di atas 60 tahun) berada di angka 4.046, lalu meningkat 14.889 kasus.

Tidak Dapat Penanganan Segera

Varian Delta disebut-sebut memengaruhi angka kematian. Namun, Juru Bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito mengatakan kematian pasien COVID-19 (karena varian virus Corona), termasuk usia produktif dapat terjadi bila tidak segera ditangani.

"Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), varian Delta yang sudah ditemukan di hampir 132 negara di dunia telah menyebabkan kenaikan kasus COVID-19 sebesar 80 persen selama 4 minggu terakhir," kata Wiku.

"Secara fakta, kematian pada pasien COVID-19 dapat meningkat peluangnya jika terlambat ditangani atau dirujuk maupun kepemilikan (punya) riwayat komorbid."

3 dari 8 halaman

Penyakit Komorbid Terbanyak pada Kasus Kematian COVID-19

Angka kematian COVID-19 pada usia produktif naik drastis periode Juli 2021. Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, kematian COVID-19 pada umumnya dengan penyakit komorbid hipertensi dan diabetes.

"Umumnya hipertensi dan diabetes ya," ujar Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Jumat, 6 Agustus 2021.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia secara keseluruhan (tidak merinci rentang kelompok usia) hingga 27 Juli 2021 pukul 16.00 WIB, daftar penyakit komorbid pada pasien COVID-19 kasus meninggal adalah:

4 dari 8 halaman

Kasus Kematian Didominasi yang Belum Divaksin COVID-19

Berdasarkan data Kemenkes tercatat sebagian besar pasien meninggal akibat COVID-19 merupakan mereka yang belum divaksin.

"Laporan terakhir angka kematian akibat infeksi COVID pada beberapa saat ini, 90 persen sampai 94 persen adalah mereka yang belum divaksinasi," ungkap Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), dr Dante Saksono Harbuwono di Jakarta, Minggu (25/7/21).

Dengan melakukan vaksinasi, maka imunitas tubuh akan kuat. Sehingga, bila nanti terpapar akan mengurangi keparahan dan risiko meninggal.

"Dengan adanya vaksinasi akan memberikan respon imun tubuh yang lebih baik. Baik itu apabila belum terinfeksi maupun setelah terinfeksi," pungkasnya.

5 dari 8 halaman

Kenaikan Jumlah Pasien COVID-19 di Provinsi Luar Jawa

Bila menilik data per 3 Agustus 2021, bed occupancy rate (BOR) atau keterisian ranjang rumah sakit secara nasional adalah 56,81 persen. Namun, bila dilihat secara provinsi ada beberapa yang memperlihatkan rumah sakit mulai penuh dengan pasien COVID-19.

Sebut saja Kalimantan Timur dengan BOR 78 persen lalu Kalimatan Selatan (75 persen). Kemudian Sumatera Barat, Riau, Sulawesi Tengah juga sama-sama memiliki tingkat keterisian ranjang untuk pasien COVID-19 sebesar 74 persen.

"Untuk daerah luar Pulau Jawa harus berhati-hati karena memang BOR naik. Karena kenaikan kasus sedikit saja bisa menimbulkan kerusuhan karena tidak memiliki tempat tidur pasien COVID-19 yang cukup" kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr Lia Gardenia Partakusuma.

PERSI juga mendapat laporan bahwa ada beberapa provinsi yang alami lonjakan mulai wanti-wanti agar tidak terjadi krisis logistik. Mereka tidak ingin alami kesulitan mencari alat pelindung diri, obat-obatan, oksigen medis seperti yang terjadi di Pulau Jawa.

"NTT bilang (RS) mereka sudah mulai penuh, Sumatera Utara juga sudah siap-siap logistik. Lalu, Sumatera Barat dan Kalimantan Timur sempat menyampaikan sedang menyiapkan ancang-ancang agar didukung bila nanti kewalahan dalam hal logistik," kata Lia kepada Health-Liputan6.com via telepon.

6 dari 8 halaman

BOR ICU Masih Tinggi

Berbicara BOR itu ada dua jenis. Pertama untuk rawat inap pasien COVID-19, lalu kedua ICU untuk pasien COVID-19 dengan gejala berat atau kritis.

Memang, BOR rawat inap pasien COVID-19 saat ini sudah sedikit berkurang tapi BOR ICU masih tinggi termasuk di Pulau Jawa.

"Di Jakarta dan Jatim BOR ICU masih 70-an persen. Jakarta Pusat malah 80 persen. Ada juga yang 87 persen BOR ICU di Kalimantan Timur dan 84 persen di Bangka Belitung," kata Lia.

Hal ini menunjukkan bahwa belum ada penurunan BOR di ICU COVID-19 yang bermakna. Meski ruang rawat inap biasa COVID-19 mulai lega, IGD rumah sakit masih diisi tumpukan pasien yang antre untuk mendapatkan perawatan di ICU COVID-19. Itu artinya, mereka dengan kondisi gejala COVID-19 yang berat.

"Jadi, banyak yang bertanya kan, ini kasus turun tapi angka kematiannya kok masih tinggi? Ya karena BOR ICU belum turun."

Contoh seperti di Riau dengan tingkat keterisian ruangan ICU COVID-19 di atas 90 persen. "Belum turun sampai sekarang, 90 persen lebih itu sama saja artinya tidak ada lagi ruang ICU," kata juru bicara Satgas COVID-19 di Riau, dr Indra Yovi, Kamis siang.

Penambahan ICU COVID-19 menurut Lia juga tidak mudah dilakukan. Hal ini mengingat ICU ini merupakan ruangan khusus dengan alat khusus termasuk ventilator yang sulit didapat. Belum lagi, tenaga kesehatan yang bekerja di ICU harus terlatih sehingga tidak semua dokter bisa ditempatkan di sini. Mereka yang ada di ICU terlatih untuk memantau cairan, peralatan, dan hal-hal lain yang kompleks.

"Kemampuan bukan cuma soal ruangan, tapi juga alat dan sumber daya manusia, apalagi kini sekitar 10 persen tenaga kesehatan sakit," kata Lia.

7 dari 8 halaman

Kunci Tekan Kematian COVID-19

Guna menekan kasus kematian akibat COVID-19, Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi mengingatkan kembali soal protokol kesehatan (prokes) yang ketat.

"Kuncinya, prokes ketat dan deteksi dini. Segera testing, kalau (hasilnya) positif (COVID-19), segera isolasi sembari menunggu jadwalnya vaksinasi (bila belum divaksin)," ujar Nadia kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Jumat (6/8/2021).

Strategi testing bertujuan menemukan kasus COVID-19 sedini mungkin. Peningkatan penemuan kasus berarti dapat memetakan lokasi-lokasi yang memiliki transmisi aktif dan klaster yang ada di masyarakat.

"Hal ini juga penting untuk dapat menyelamatkan kelompok-kelompok rentan agar tidak terjadi keparahan, bahkan kematian," terang Nadia 

Dalam penanganan pandemi demi mencegah keparahan dan kematian, pemantauan pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri (isoman) menjadi salah satu upaya. Pasien juga harus selalu memantau kesehatan.

Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Ganip Warsito mengatakan, peruntukan isolasi mandiri ditujukan bagi para pasien yang termasuk dalam golongan tanpa gejala dan bergejala ringan. Untuk usia di atas 45 tahun dan kondisi rumah dan lingkungan mendukung untuk isolasi mandiri di rumah mendapat pengawasan dari puskesmas.

"Bagi pasien dengan gelaja ringan, usia di atas 45 dan memiliki komorbid dapat melakukan isolasi secara terpusat dengan mendapatkan monitoring dari para tenaga kesehatan," kata Ganip saat Rapat Koordinasi Penanganan COVID-19 bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur beserta jajaran unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Aula Kantor Walikota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (4/8/2021). 

"Terakhir, bagi pasien dengan gejala menengah dan berat dapat dirujuk ke rumah sakit untuk menunjang penanganan lebih lanjut."

Upaya penanganan pasien COVID-19 di atas harus dibenahi dan disepakati oleh semua pihak.

“Karena dari pengalaman penanganan di Jawa dan Bali, fatality kerap terjadi karena pemburukan. Pasien dibawa ke rumah sakit ketika sudah kritis. Kenapa? Mungkin saat isoman tidak ada monitoring,” sambung Ganip melalui keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com.

“Ini yang harus kita sepakati, mana yang boleh isoman, mana yang boleh isolasi terpusat, dan mana yang dirujuk ke rumah sakit."

8 dari 8 halaman

Kontrol Penyakit Komorbid dan Cegah Jatuh Sakit COVID-19 yang Berat

Mengingat jumlah ICU COVID-19 yang terbatas jumlahnya, PERSI sudah mengingaktan kepada rumah sakit agar mengontrol pasien COVID-19 yang datang dengan gejala ringan.

"Jadi kalau datang awalnya gejala ringan lalu diminta pulang oleh rumah sakit, jangan sampai sesampainya di rumah berubah jadi sedang atau berat. Perlu menjaga kesehatan tubuh seperti menjaga asupan makanan, istirahat cukup, dan gaya hidup dijaga," kata Lia.

Lalu, ia juga berpesan kepada orang dengan penyakit komorbid seperti tekanan darah tinggi atau diabetes untuk rutin memeriksakan kesehatanya. 

"Terserah bisa dengan datang langsung ke dokter untuk kontrol atau telemedicine," kata Lia.

Pastikan penyakit komorbid terkontrol. Sehingga bilapun suatu saat kena COVID-19 tidak akan berubah menjadi berat.

"Kalau tidak terkontrol, begitu kena COVID-19 susah sembuhnya," kata Lia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.