Sukses

Permasalahan Stunting Juga Masih Menjadi PR di Jawa Barat

Inilah kerumitan masalah stunting di Provinsi Jawa Barat

Liputan6.com, Jakarta - Penanganan stunting di masa pandemi COVID-19 kayak sekarang menghadapi tantangan baru, yaitu bagaimana di tengah kesibukan pemerintah mengatasi pandemi, program-program pencegahan stunting harus tetap menjadi prioritas. Bila tidak, kebutuhan nutrisi dan perkembangan anak-anak Indonesia jelas terdampak.

Hal itu mengemuka dalam webinar Aksi Bersama Dalam Upaya Pencegahan Stunting untuk Mencapai Target 14 Persen pada 2024 belum lama ini.

Pemerintah seperti yang diketahui telah menargetkan penurunan stunting hingga 14 persen pada 2024. Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, dr R Nina Susana Dewi SpPK (K)., Mkes. MMRS mengatakan bahwa stunting merupakan salah satu indikator prioritas dalam SDGs, yang mana pada 2030 targetnya adalah terbebas dari malanutrisi.

"Melalui penanggulangan stunting, human capital index Indonesia akan meningkat,” kata Nina.

Ketua TP PKK Provinsi Jawa Barat Atalia Praratya Ridwan Kamil, S.iP.,M.I.Kom menyampaikan bahwa berbicara tentang sektor kesehatan, masih tingginya permasalahan gizi dan tingginya stunting masih menjadi permasalahan di bidang kesehatan.

Atalia, mengatakan,"Saya khawatir fokus kita ke pandemi COVID-19 menjadi hal yang perlu dipersiapkan lebih matang untuk stunting ini karena kaitannya menjadi masa depan generasi bangsa dilupakan atau tidak optimal. Apalagi saat ini, saya sebagai penggerak PPK di masyarakat, tidak ada lagi posyandu disebabkan khawatir terjadinya penularan virus Corona.".

Menurut istri Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, ada beberapa posyandu belum tutup, yaitu posyandu keliling walaupun tidak optimal karena kondisi PPKM darurat Jawa-Bali.

Selain itu, Atalia juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat betapa pentingnya stunting ini.

"PR kita adalah capaian target kita sebesar 14 persen pada 2024, termasuk juga harus berkomitmen zero new stunting pada 2023. Sebagai seorang yang bergerak langsung dengan masyarakat, khususnya bahwa masih banyak anak stunting disembunyikan. Ada stigma di masyarakat bahwa stunting hanya berlaku di masyarakat yang ekonominya rendah atau di pedesaan saja," katanya.

"Bagaimana sosialisasi dan edukasi bisa disampaikan juga mengenai tingginya usia pernikahan anak, 26 persen di bawah 18 tahun, 40 persen pernikahan beresiko melahirkan anak stunting. Edukasi ini termasuk pola asuh, pola makan, dan sanitasi PR bagi kita semua harus dilakukan secara kolaboratif," katanya.  

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masalah Stunting di Indonesia

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dr. drg. Marion Siagian, M.Epid,  menyampaikan bahwa angka prevalensi stunting di Jawa Barat, berdasarkan survei status gizi dan balita pada 2019, adalah sebesar 26,2% dan ini masih tinggi.

"Dimana Lokus Provinsi Jawa Barat sebanyak 23 kab/kota untuk terus kita benahi agar bisa mencapai target nasional 14 persen dan untuk target Jawa Barat sebesar 19 persen," katanya.

Menurut Marion, stunting disebabkan faktor multidimensi sehingga penanganannya perlu dilakukan multisektor. Selain itu di antaranya dipengaruhi praktik pengasuhan yang kurang baik, terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Ante Natal Care (ANC) dan pembelajaran dini yang berkualitas, kurangnya akses ke makanan yang bergizi dan kurangnya kases air bersih dan sanitasi yang layak.

Strategi Jabar Zero Stunting melakukan satu “Gerakan Masif” untuk mewujudkan prevalensi stunting pada 2023 menjadi lebih kecil dari standar Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (stunting < 20%).

"Di antaranya kita sudah memiliki Pergub 107 tahun 2020 tentang penurunan stunting di Daerah Provinsi Jawa Barat. Selain itu ada juga kesepakatan bersama Pemprov Jabar dengan beberapa perusahan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup di Jawa Barat melalui pencegahan stunting dan malnutrisi," kata Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh Sugijanto.

"Untuk mencapai target penurunan stunting tersebut tidak bisa sendiri, tapi dibutuhkan kolaborasi multipihak. Yang paling penting adalah edukasi, karena kita butuh edukasi untuk merubah mindset, pola pikir dan juga gaya hidup masyarakat Indonesia. Melalui kampanye ‘Bersama Cegah Stunting’, kami mengintegrasikan berbagai program intervensi gizi spesifik dan sensitif pencegahan stunting Danone Indonesia untuk dapat diimplementasikan secara bersamaan,” Vera menambahkan.

Sejak 2019, lanjut Vera, Danone Indonesia bersama Pemprov Jabar telah melakukan kolaborasi dalam upaya penanganan stunting pada 14 kab/kota prioritas di provinsi Jawa Barat. Upaya tersebut mencakup pemberdayaan kapasitas tenaga kesehatan dan kader posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit dalam hal edukasi pencegahan stunting, pendataan, monitoring, skrining gizi hingga evaluasi.

 

3 dari 4 halaman

Mengatasi Stunting

Ketua Pokja Antropometri Kementerian Kesehatan dan Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi & Penyakit Metabolik RSCM, Prof. DR. Dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A (K), menyamakan persepsi dulu tentang definisi stunting.

“Menurut WHO 2020, kondisi stunting adalah ketika panjang atau tinggi badan anak berada dibawah 2 simpang baku yang diklasifikasikan sebagai stunted dalam grafik WHO 2006, yang disebabkan kekurangan gizi kronik. Kekurangan gizi kronik dapat merupakan akibat asupan nutrisi yang tidak memadai. Misalnya karena kemiskinan, penelantaran atau ketidaktahuan, dan peningkatan kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi akibat sering sakit misalnya diare kronik akibat sanitasi buruk, ISPA berulang akibat tidak diimunisasi, atau kondisi/penyakit tertentu yang memerlukan diet khusus misalnya bayi yang sangat prematur, alergi makanan, kelainan metabolisme bawaan, penyakit jantung bawaan, dan lainnya," katanya.

Tatalaksana stunting, lanjut Damayanti, tentu saja disesuaikan dengan penyebabnya. Sebenarnya perawakan pendek merupakan pertanda terjadinya masalah kekurangan gizi kronik yang lebih besar yaitu menurunnya kemampuan kognitif serta meningkatnya risiko Penyakit Tidak Menular (obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi dll) di usia dewasa.

Kedua hal ini yang menentukan kualitas SDM suatu bangsa. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa stunting dapat menurunkan IQ sampai 20 poin, penurunan kecerdasan ini masih mungkin dikoreksi sebelum usia 2 tahun, dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa kombinasi perbaikan asupan nutrisi yang disertai stimulasi dapat mengoreksi IQ yang sudah terlanjur turun sekitar 90 persen.

Tetapi jika pada usia 2 tahun tinggi badan masih di bawah -2 simpang baku maka akan sulit mengejar ketinggalan tersebut bahkan jika masih berada dibawah -3 simpang baku berisiko memerlukan pendidikan khusus.

"WHO menegaskan bahwa stunting sulit ditatalaksana tetapi pencegahan sangat dapat diupayakan,” katanya.

Lebih lanjut Damayanti menjelaskan bahwa beberapa penelitian menunjukkan kekurangan asupan protein hewani (sumber asam amino esensial yang lengkap dengan bioavailabilitas tinggi) dalam MPASI anak berusia 6-24 bulan merupakan penyebab tingginya angka kejadian stunting di 49 negara.

Sumber protein hewani adalah telur, ikan, ayam, daging sapi/kambing, susu termasuk pangan untuk Keperluan Medis Khusus.

Penelitian di Equador membuktikan bahwa konsumsi tambahan sebutir telur sehari selama 6 bulan dapat menurunkan stunting sekitar 47 persen. Selain itu penelitian yang dilakukan WHO juga menunjukkan bahwa intervensi segera pada seorang anak yang mengalami weight faltering (kenaikan berat badan per bulan dibawah standar) dapat mencegah stunting 34 persen di usia 1 tahun dan 24% diusia 2 tahun.

Damayanti menambahkan,“Berdasarkan bukti ilmiah diatas, dibuatlah strategi untuk menurunkan prevalensi stunting dan terpenting memberi kesempatan untuk mengoreksi kognitif sebelum 2 tahun dengan cara mensosialisasikan konsumsi protein hewani dalam MPASI anak 6-24 bulan dengan protein yang tersedia setempat dan terjangkau.".

Selanjutnya, untuk mendeteksi weight faltering dilakukan pemantauan pertumbuhan di Posyandu serta dilakukan rujukan berjenjang ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi yaitu Puskesmas atau RSUD untuk mencari penyebab serta menatalaksana dengan tepat dan segera. Suatu sistem yang sudah ada sejak tahun 1980-an yang perlu diaktifkan kembali.

"Strategi ini juga diujicobakan di Desa Bayumundu Pandeglang oleh Tim RSCM/FKUI dengan dukungan Kementerian Desa Tertinggal dan Transmigrasi berhasil menurunkan angka stunting 8,4 persen. Jika ini diterapkan di semua desa di Jawa Barat rasanya target yang dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat mungkin terpenuhi. Kerjasama lintas sektor antara pemerintah, tenaga kesehatan, akademisi, sektor swasta, hingga masyarakat akan sangat berperan dalam membentuk sumber daya manusia Indonesia di masa depan," katanya

4 dari 4 halaman

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.