Sukses

COVID-19 Mengganas tapi Angka Kematian Anak di 2020 Justru Turun, Kok Bisa?

Siapa sangka bahwa pandemi COVID-19 justru menurunkan angka kematian pada anak di sepanjang 2020.

Liputan6.com, New York - Jumlah kasus kematian di dunia terus meningkat seiring meluasnya penyebaran Virus Corona. Selama 2020, Organisasi kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 1,8 juta orang meninggal akibat COVID-19.

Menariknya, berdasarkan data dari Human Mortality Database, sebuah proyek penelitian yang dijalankan tim demografi global, ada satu kelompok signifikan yang justru mengalami penurunan tingkat kematian dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu anak-anak.

Dikutip dari laman Time pada Rabu, 20 Januari 2021, para ahli demografi, dokter anak, dan pakar kesehatan masyarakat, mengatakan, mungkin saja lockdown atau penguncian wilayah, serta sejumlah karantina telah mencegah anak-anak terpapar virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan menurunkan potensi kematian.

Tetapi mereka juga menyebut jika program vaksinasi COVID-19 rendah dan perawatan prenatal berkurang, angka kematian anak di masa depan kemungkinan akan meningkat.

Basis data yang dikelola bersama oleh Universitas California, Berkeley, Institut Max Planck untuk Penelitian Demografis di Rostock, Jerman, dan Institut Studi Demografi Prancis di Aubervilliers, Prancis, rutin menerbitkan angka kematian untuk 38 negara setiap minggu.

Dalam tiap minggu, mereka selalu melaporkan jumlah kematian yang melebihi batas normal di sebagian besar negara tersebut.

Namun, ketika data dipecah berdasarkan usia, data menunjukkan bahwa lebih sedikit anak di bawah usia 15 yang meninggal pada 2020 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Contohnya di Amerika Serikat (AS), sekitar 26.000 kematian anak tercatat di sepanjang 2020. Angka tersebut mengalami penurunan sekitar sembilan persen dari rata-rata tiga tahun sebelumnya.

"Satu hal yang terjadi adalah kematian telah menurun untuk kelompok umur nol ke 14 tahun. Jika Anda membandingkan 2019 dengan tahun-tahun sebelumnya, Anda juga akan melihat defisit," ujar Direktur Asosiasi Database Kematian Manusia, Magali Barbieri.

 

Simak Video Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kok Bisa?

Seorang dokter anak di New York, Dr Perri E Klass, mencoba menjelaskan penyebab menurunnya angka kematian anak. Menurutnya, kebijakan lockdown, karantina, dan jarak sosial, mampu menjaga anak-anak lebih aman dari bahaya fisik dan biologis.

Selain itu, efek pandemi COVID-19 yang membuat masyarakat jarang bepergian menggunakan kendaraan, menurunkan potensi kecelakaan, yang terkadang bisa menyebabkan kematian pada anak.

"Jika data itu bertahan, dan jika benar bahwa angka kematian pada 2020 turun, kemungkinan besar itu terjadi di sekitar masalah keselamatan, dan orang-orang yang bergerak lebih sedikit dan lebih sedikit orang yang mengemudi," ujar Klass.

Penyebab kematian anak tertinggi setelah dilahirkan di AS, berdasarkan data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) pada 2018, adalah cedera yang tidak disengaja, seperti tenggelam, kecelakaan mobil, kematian pejalan kaki, dan mati lemas setelah kecelakaan.

Penyebab kematian di tahun-tahun sebelumnya yang biasa menimpa anak di usia 2 sampai 8, seperti difteri, sepsis, demam berdarah, dan polio disebut Klass jarang terjadi di 2020.

"Kami berada dalam posisi historis yang istimewa, kecuali tragedi yang mengerikan, anak-anak hidup untuk tumbuh," ujar Klass.

 

3 dari 4 halaman

Penurunan Sebanyak 2 Persen

Departemen Perhubungan AS lewat laporannya juga mengatakan ada penurunan 2 persen dalam angka kecelakaan lalu lintas selama paruh pertama 2020 dibandingkan dengan periode waktu yang sama pada 2019.

Meski untuk data kematian anak akibat tenggelam sulit didapat, tapi berdasarkan statistik yang dihimpun Total Aquatic Programming, sebuah konsultan akuatik yang menghitung jumlah korban tenggelam sejak 2008, menghitung lebih sedikit anak yang tenggelam pada 2020 dibandingkan dengan 2019.

Beberapa wilayah seperti Texas, Florida, dan Arizona, juga menunjukkan angka yang sama atau sedikit penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk kematian anak akibat tenggelam.

Selain mengurangi tingkat cedera, Klass menjelaskan bahwa pandemi Virus Corona juga memungkinkan mencegah anak-anak sakit parah.

Para peneliti juga menemukan bahwa influenza, virus pernapasan syncytial, dan virus pernapasan umum lainnya mati dengan cepat setelah adanya lockdown dan karantina wilayah. 

Padahal, kata Klass, influenza dan pneumonia adalah penyebab utama kematian balita pada musim semi yang lalu.

Klass menyebut bahwa protokol kesehatan seperti memakai masker dan rajin mencuci tangan tidak hanya menangkal COVID-19, tapi juga virus lainnya.

4 dari 4 halaman

Apakah Itu Kabar Baik?

Meski kasus kematian anak mengalami penurunan angka karena pandemi COVID-19, nyatanya ini juga berpotensi pada angka kematian di tahun-tahun berikutnya.

Misalnya, di Amerika Serikat tercatat ada lonjakan permintaan untuk kolam renang pribadi, setelah masyarakat takut untuk ke kolam renang umum. Hal tersebut berpotensi meningkatkan angka kematian anak akibat tenggelam di kolam renang.

Selain itu, penutupan sekolah berdampak pada ditangguhkannya kampanye imunisasi di banyak negara. Sehingga berpotensi anak-anak lebih mudah tertular penyakit di masa depan.

Berkurangnya akses ke perawatan prenatal selama lockdown atau karantina wilayah, juga dapat berdampak pada kesehatan janin.

Penyebab stres seperti hilangnya pendapatan dan isolasi sosial juga dapat memiliki efek yang bertahan lama.

“Seseorang tidak dapat mengesampingkan fakta bahwa konsekuensi ekonomi dan sosial dari pandemi pada wanita usia subur dan anak-anak mereka berdampak buruk pada kesehatan mereka,” ujar Barbieri. Seorang peneliti yang penelitiannya menyatakan bahwa kematian anak dari keluarga miskin meningkat saat krisis ekonomi di AS tahun 2008.

Pada akhirnya, peneliti menyebut angka kematian secara global akan meningkat di beberapa tahun ke depan, terutama di negara-negara berkembang. Infrastruktur perawatan kesehatan belum optimal.

“Secara potensial, kasus seperti kelahiran prematur dan kelainan bawaan mungkin benar-benar meningkat, setelah kami memiliki semua datanya,” ujar profesor di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg, Li Liu.

Penulis: Rizki Febianto

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.