Sukses

Ilmuwan Sebut COVID-19 Bukan Lagi Pandemi tapi Sudah Jadi Sindemi

Richard Horton, pemimpin redaksi jurnal ilmiah The Lancet menyebut bahwa saat ini, COVID-19 bukan lagi sebuah pandemi namun bisa dianggap sebagai sebuah sindemi

Liputan6.com, Jakarta Sudah hampir satu tahun COVID-19 melanda dunia dan menimbulkan krisis di segala bidang. Para peneliti masih terus melakukan studi untuk mempercepat mengakhiri pandemi ini.

Dalam editorialnya, ilmuwan yang merupakan pimpinan redaksi jurnal ilmiah The Lancet Richard Horton mengatakan bahwa sejauh yang dipelajari saat ini, COVID-19 tidaklah sederhana.

Dikutip dari tulisan yang dirilisnya 26 September lalu, Horton mengatakan bahwa dua kategori dari penyakit tersebut berinteraksi dalam populasi tertentu, infeksi virus SARS-CoV-2 dan berbagai penyakit tidak menular (PTM).

"Kondisi ini mengelompok dalam kelompok sosial sesuai dengan pola ketimpangan yang tertanam dalam masyarakat kita. Agregasi penyakit-penyakit ini, dengan latar belakang kesenjangan sosial dan ekonomi memperburuk efek samping dari setiap penyakit yang berbeda," tulis Horton, dikutip Jumat (13/11/2020).

"COVID-19 bukanlah pandemi. Ini adalah sindemi. Sifat sindemi dari ancaman yang kita hadapi berarti bahwa diperlukan pendekatan yang lebih bernuansa jika kita ingin melindungi kesehatan komunitas kita," katanya.

Gagasan tentang sindemi pertama kali dikandung oleh Merrill Singer, antropolog medis asal Amerika Serikat di tahun 1990-an.

Dalam tulisannya di 2017 bersama Emily Mendenhall dan kolega-koleganya, Singer berpendapat bahwa pendekatan sindemi mengungkapkan interaksi biologis dan sosial yang penting dalam prognosis, pengobatan, dan kebijakan kesehatan.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Menuntut Perhatian Jauh Lebih Besar pada PTM dan Ketidaksetaraan Ekonomi

Horton mengatakan, membatasi bahaya yang disebabkan oleh COVID-19 menuntut perhatian yang jauh lebih besar pada PTM dan ketidaksetaraan ekonomi daripada yang selama ini diakui.

"Sindemi bukan hanya komorbiditas. Sindemi dikarakterisasikan oleh interaksi biologis dan sosial di antara kondisi dan keadaan, interaksi yang meningkatkan kerentanan seseorang terhadap bahaya atau memperburuk hasil kesehatannya," kata Horton.

Dalam kasus COVID-19, menyerang PTM akan menjadi prasyarat agar pertahanan tersebut berhasil. Horton menyebutkan dalam laporan di NCD Countdown 2030, meski kematian dini akibat PTM menurun, namun laju perubahannya terlalu lambat.

"Jumlah total orang yang hidup dengan penyakit kronis terus bertambah. Mengatasi COVID-19 berarti mengatasi hipertensi, obesitas, diabetes, penyakit kardiovaskular dan pernapasan kronis, serta kanker," katanya.

Horton mengatakan, tidak peduli seberapa efektif pengobatan, perlindungan vaksin, atau pencarian solusi biomedis murni untuk COVID-19, semuanya akan gagal kecuali pemerintah menyusun kebijakan dan program untuk membalikkan kesenjangan yang besar.

 

 

3 dari 5 halaman

Salah Kaprah Soal Sindemi Global

Dalam tulisannya, Singer mengatakan bahwa pendekatan sindemi memberikan orientasi yang sangat berbeda terhadap pengobatan klinis dan kesehatan masyarakat, dengan menunjukkan bagaimana pendekatan terpadu untuk memahami dan mengobati penyakit, bisa jauh lebih berhasil daripada sekadar mengendalikan penyakit epidemi atau merawat pasien secara individual.

Namun, menurut Emily Mendenhall, dari Science, Technology, and International Affairs Program, Edmund A Walsh School of Foreign Service, Georgetown University, menyebut COVID-19 sebagai sindemi global adalah salah kaprah.

Dalam tulisannya di The Lancet pada 22 Oktober lalu, ia mengatakan bahwa konsel sindemi penting karena berfokus pada apa yang mendorong penyakit untuk mengelompok dan berinteraksi.

"Namun, apa yang mendorong virus corona berpindah melalui populasi di AS dan berinteraski dengan faktor biologis dan sosial, berbeda dari konteks lain," ujarnya.

"Kegagalan politik di AS telah mendorong morbiditas dan mortalitas COVID-19, dan ini tidak dapat dilepaskan dari warisan sejarah rasisme sistemik atau krisis kepemimpinan politik kita."

Mendenhall mengatakan, kepemimpinan politik Selandia Baru dalam menanggapi krisis bisa menjadi teladan. "COVID-19 bukanlah sindemi di sana."

"Dalam pengertian ini, sindemi memungkinkan kita mengenali bagaimana faktor politik dan sosial mendorong, mengabadikan, atau memperburuk kemunculan dan pengelompokan penyakit."

 

4 dari 5 halaman

Kehilangan Inti dari Konsep

Mendenhall mencontohkan, penanganan di Afrika sub-Sahara jauh lebih baik dibanding negara-negara seperti AS, Brasil, dan India.

"Beberapa orang berpendapat bahwa ini mencerminkan kerangka berpikir rasis bahwa konteks Afrika harus lebih menderita. Namun, banyak pemerintah Afrika bertindak lebih cepat dan percaya diri daripada negara-negara kaya."

"Oleh karena itu, kepemimpinan politik dalam konteks ini mencegah jumlah korban tewas yang luas, dibandingkan dengan konteks seperti Inggris dan AS, di mana kepemimpinan politik gagal."

Menurut Mendenhall, dengan menyebut COVID-19 sebagai sebuah sindemi global, kita telah kehilangan inti dari konsep tersebut sepenuhnya.

"Saya tidak menulis ini untuk menurunkan penggunaan istilah Horton, karena saya yakin COVID-19 adalah sindemi di negara saya (AS)," kata Mendenhall.

"Ini tepatnya karena kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti hipertensi, diabetes, gangguan pernapasan, rasisme sistemik, ketidakpercayaan pada sains dan kepemimpinan, dan sistem perawatan kesehatan yang terfragmentasi telah mendorong penyebaran dan berinteraksi dengan virus."

Menurut Mendenhall, kegagalan sinergis tersebut telah menyebabkan lebih banyak kematian dan kehancuran daripada konteks lainnya.

"Mengenali kegagalan negara-negara kaya sangat penting ketika kita memikikrkan di mana pengetahuan dan kekuasaan global, berada dalam bidang-bidang seperti kesehatan global. Kerangka sindemi memberi kita kesempatan untuk melakukan ini."

5 dari 5 halaman

Infografis Ancaman Kelaparan Global Akibat Pandemi Corona

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.