Sukses

Haus Sentuhan Kasih Sayang dan Pelukan Selama Pandemi? Rupanya Ada Peran Gen di Sana

Liputan6.com, Jakarta Selama pandemi COVID-19, interaksi sosial yang melibatkan fisik dengan orang-orang tersayang banyak berkurang. Sentuhan seperti jabat tangan, kecupan di pipi atau dahi, hingga pelukan sebisa mungkin dihindari demi menghindari risiko penularan COVID-19.

Kurangnya sentuhan fisik selama lockdown COVID-19 bisa jadi berdampak pada kesehatan mental, menurut sebuah studi baru. Para ahli sosial menemukan, bagi beberapa orang, kerinduan atau kebutuhan akan sentuhan dipengaruhi oleh beragam faktor, termasuk gen.

"Ada hal yang spesial mengenai sentuhan, yang menurut saya terkait dengan fakta bahwa kita sebagai manusia, terlahir dalam kondisi ketidakmatangan, bahwa kita tidak mampu mengurus kebutuhan sendiri," ujar Kory Floyd, profesor dari University of Arizona, melansir laman New York Post.

Floyd yang risetnya dipublikasikan dalam Communication Monographs lebih lanjut mengatakan, "Pada bayi, sentuhan setara dengan bertahan hidup. Jika kita tidak memiliki orang yang menyentuh kita dan membantu memenuhi kebutuhan kita, maka kita tidak bisa bertahan hidup."

Individu yang tinggal sendiri atau yang membatasi interaksi antarpersonal selama pandemi bisa jadi menderita "skin hunger" atau haus sentuhan, Floyd menjelaskan.

Menurut Floyd, seperti kelaparan pada umumnya yang mengingatkan bahwa kita tidak mendapat cukup makanan, kelaparan akan sentuhan kulit juga penanda bahaw kita tidak mendapat cukup sentuhan dalam hidup.

"Banyak orang yang akhir-akhir ini menyadari bahwa mereka rindu mendapat pelukan, rindu sentuhan, dan mungkin itulah satu hal yang belum bisa digantikan oleh teknologi," ujarnya.

 

 

 

Saksikan Juga Video Menarik Berikut

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Berlaku bagi Pria

Studi baru Floyd meneliti perilaku afeksi yang terkait genetik berperan besar pada wanita, namun tidak demikian pada pria. Pada wanita, 45 persen afeksi digerakkan oleh faktor keturunan, dan 55 persen dari lingkungan, seperti pengalaman pribadi dan media. Sementara, pria tampaknya afeksi bergantung pada lingkungan. Para peneliti mengakui temuan ini mengejutkan.

"Pertanyaan yang mendorong penelitian ini yaitu: Mengenali bahwa beberapa orang memiliki afeksi lebih dibandingkan orang lainnya, apa yang menyebabkan perbedaan itu, dan apakah salah satu perbedaan itu karena genetik?" tulis Floyd dalam studi yang melihat dampak afeksi terhadap stres dan fungsi fisiologi.

Floyd menambahkan, studi semacam itu memberi ruang untuk membicarakan kemungkinan bahwa sejumlah ciri perilaku dan sosial yang  secara otomatis dipelajari juga mungkin memiliki komponen genetik.

Dalam studinya, Floyd menggunakan individu kembar sebagai dasar studi. Seperti meminta orang untuk mengukur kadar perilaku dan kebutuhan afeksi pribadi mereka.

Sejumlah 464 pasangan yang kembar yang berpartisipasi dalam studi, dibesarkan dalam keluarga yang sama. Dari para partisipan itu, para peneliti bisa mengandalkan bahwa lingkungan tempat mereka bertumbuh tetap sama, hal itu mengungkap perbedaan gen mereka.

Pasangan kembar identik wanita memiliki nilai yang lebih serupa dibandingkan pasangan wanita kembar fraternal (non-identik). Ini mengindikasikan bahwa DNA menjadi faktor yang berkontribusi terhadap ekspresi afeksi mereka.

"Ketika kami mengukur tendensi afeksi orang dan penerimaan afeksi dari orang lain, kami hampir tanpa kecuali menemukan bahwa skor wanita lebih tinggi dibanding pria," tulis Floyd.

3 dari 3 halaman

Wanita Lebih Adaptif

Ia menyimpulkan, dalam hal evolusioner, sifat afeksi mungkin lebih adaptif bagi wanita. Ada spekulasi bahwa perilaku afeksi lebih merupakan bentuk dukungan kesehatan bagi wanita ketimbang bagi pria, dan itu lebih membantu wanita mengelola efek stres. Itu sebabnya wanita lebih mungkin mewarisi sifat itu secara genetik, dibandingkan sebagai produk lingkungan.

Medski emikian, persentase yang dimuat dalam studi bukanlah gambaran langsung dari setiap individu, melainkan hanya sebagai gambaran umum ketika berbicara mengenai peran gen.

"Gen kita secara sederhana berpengaruh terhadap beberepa perilaku, itu tak berarti secara otomatis kita akan melakukan perilaku itu," ujar Floyd. "Dan itu pun tentunya tak berarti bahwa kita tak memiliki kontrol terhadap hal itu."

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.