Sukses

Cerita Pakar RS di Wuhan: Plasma Darah untuk Pasien COVID-19 Sangat Aman

Pakar RS di Wuhan berbagi pengalaman, terapi plasma darah untuk pasien COVID-19 sangat aman diterapkan.

Liputan6.com, Jakarta Terapi plasma darah terbukti menjanjikan bagi kesembuhan pasien COVID-19. Plasma konvalesen dari pasien COVID-19 yang sudah sembuh ditransfusikan kepada pasien COVID-19 yang masih dalam perawatan. Kondisi pasien COVID-19 kritis dan berat menjadi sasaran pemberian plasma konvalesen.

Xiaobei Chen dari Departemen Penyakit Menular, Renmin Hospital of Wuhan, Tiongkok berbagi pengalaman pemberian plasma konvalesen pada pasien yang dirawat di rumah sakit tempatnya bertugas. Pasien COVID-19 yang mendapat terapi plasma konvalesen semakin membaik dari hari ke hari.

 

“Pada awal terapi plasma darah diberikan kepada 30 pasien COVID-19, itu sangat aman,” tutur Chen sembari tersenyum saat membuka percakapan dalam sesi The 2nd Video Conference Discussion Between Chinese and Indonesian Experts on ‘Current Treatment and Protocol for COVID-19’ yang diikuti Health Liputan6.com beberapa hari lalu.

“Dari pengalaman memberikan plasma konvalesen, kami tidak menemukan kondisi pasien  makin buruk. Malahan pasien semakin baik kondisinya. Melihat itu, kami memastikan bahwa terapi plasma darah konvalesen dapat digunakan sebagai terapi untuk pasien COVID-19.”

 

Plasma darah konvalesen untuk membentuk, membangun, dan memproduksi antibodi dalam tubuh. Pada pasien COVID-19, terutama kondisi kritis atau berat, tubuh akan sulit membangun antibodi sendiri. Dengan demikian, plasma konvalesen ibarat suntikan yang akan merangsang terbentuknya antibodi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Uji Coba di Sejumlah Negara

Efektivitas plasma darah konvalesen terhadap pasien COVID-19, lanjut Chen, sudah masuk dalam  pedoman penanganan COVID-19 di Tongkok. Pada akhir Januari 2020, rumah sakit di seluruh Tiongkok mulai menggunakan plasma darah sebagai pengobatan untuk pasien COVID-19. Shenzhen Third People's Hospital di Kota Shenzhen termasuk yang pertama memulai pemberian plasma konvalesen.

Uji coba pemberian serum plasma darah kepada 5 pasien COVID-19 yang berada dalam kondisi kritis. Hasilnya, seluruh pasien berhasil pulih. Pasien lainnya menunjukkan, kondisi stabil. Hingga 6 April 2020, Tiongkok telah melangsungkan 19 uji klinis plasma konvalesen.

Menilik Tiongkok yang pertama kali menjadi lokasi menyeruaknya kasus COVID-19, sejumlah negara di dunia yang terdampak penyakit serupa ikut menerapkan terapi plasma darah. Amerika Serikat memulai proyek besar-besaran meneliti terapi plasma darah. Lebih dari 1.500 rumah sakit dilibatkan, sekitar 600 pasien telah menerima pengobatan. Hasil pemberian plasma darah, tidak menimbulkan efek samping.

Pemerintah Inggris tengah gencar mengumpulkan plasma konvalesen. Pengumpulan plasma darah akan ditingkatkan dari April hingga Mei 2020. Target plasma darah yang terkumpul sampai 10 ribu unit plasma darah yang dikirim ke National Health Service Inggris setiap pekan. Jumlah ini diampu cukup merawat 5.000 pasien COVID-19 setiap minggunya.

Italia dengan kasus kematian 29.958 orang per 9 Mei 2020 juga menerapkan terapi plasma konvalesen dalam pengobatan pasien COVID-19. Uji coba transfusi plasma darah dilakukan di rumah sakit, lebih dari 20 wilayah di Italia. Uji coba pun sudah berlangsung di Lombardy, pusat wabah COVID-19 Italia. Agar pasien COVID-19 lekas pulih, Indonesia juga sedang uji coba plasma konvalesen sejak pertengahan April 2020.

Menteri Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang P. S. Brodjonegoro menerangkan, penelitian plasma darah sudah mulai dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta.

Efektivitas plasma darah sukses meski masih memerlukan riset dalam skala besar. Kemenristek/BRIN bersama dengan Kementerian Kesehatan akan melakukan riset yang lebih besar dan melibatkan banyak rumah sakit di berbagai daerah di Indonesia.

“Sehingga tidak hanya di Jakarta, untuk mengembangkan convalescent plasma. Misalnya, di Malang, Yogyakarta, Surabaya, Solo maupun tempat-tempat lainnya," terang Bambang di Graha BNPB, Jakarta, Minggu (3/5/2020).

 

3 dari 6 halaman

Dosis Pemberian Plasma Darah

Pemberian plasma darah konvalesen ada dosis tertentu. Chen menyampaikan, ia dan timnya memberikan dosis 200 ml hingga 500 ml plasma konvalesen kepada setiap pasien.

 

“Tapi (pemberian plasma darah) dilakukan secara bertahap. Pada hari pertama, misalnya, diberikan dulu 200 ml. Lalu diobservasi selama 1 hari. Dilihat apakah ada progress (kemajuan) efeknya,” ujarnya.

“Kemudian diberikan lagi plasma darah untuk kedua kali (atau tahapan selanjutnya). Totalnya hanya 500 ml. Ya, tidak lebih dari itu (dosisnya).”

 

Adanya batasan sampai 500 ml plasma darah dinilai sudah cukup membentuk antibodi pada tubuh pasien COVID-19 yang kritis. Dalam jangka waktu pemberian plasma konvalesen selama 1 sampai 2 minggu, pasien mulai membaik. Kadar immunoglobulin (IgG), jenis antibodi yang terbentuk dalam darah juga meningkat.

“Dilihat dari pasien-pasien saya, setelah mereka menerima transfusi plasma darah. IgG -nya terbentuk dan meningkat. Intinya, terapi plasma darahnya efektif. Secara umum, 1 sampai 2 minggu, kondisi pasien sudah membaik,” Chen menambahkan. 

 

4 dari 6 halaman

Sulit Memproduksi Antibodi Sendiri

IgG sebagai antibodi alami untuk pasien COVID-19 dapat terbentuk dengan sendirinya selama pasien menerima perawatan. Namun, ada kategori pasien COVID-19 tertentu yang sulit memproduksi antibodi sendiri. Pasien COVID-19 yang punya riwayat penyakit berat, seperti kanker dan paru-paru termasuk sulit membangun antibodi.

 

“Saya pikir beberapa pasien susah untuk memproduksi antibodi sendiri. Apalagi jika mereka punya (riwayat) kanker dan menjalani imunoterapi. Oleh karena itu, kami menggunakan terapi plasma darah untuk membangun antibodi mereka,” Chen menegaskan.

“Secara umum, kami menyarankan pemberian plasma darah untuk pasien yang sulit memproduksi antibodi sendiri. Selain kanker, pasien COVID-19 dengan riwayat diabetes melitus juga sulit membentuk antibodi.”

 

Jurnal berjudul Critical patients with coronavirus disease 2019: Risk factors and outcome nomogram memaparkan, studi kasus terhadap 82 pasien COVID-19 di Wuhan berstatus kondisi kritis. Penelitian yang dilakukan Chen dan tim pada 1 Februari dan 24 Februari 2020 menggambarkan, pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit komorbid punya antibodi yang rendah.

Beberapa penyakit komorbid yang akan memperparah kondisi pasien COVID-19 sekaligus makin menurunkan antibodi di antaranya, hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, paru-paru obstruktif, dan penyakit ginjal.

“Bagaimanapun juga pasien dengan penyakit komorbid lanjut usia (lansia), lebih dari 70 tahun, kondisinya akan semakin buruk jika dia terserang virus Corona. Ini karena kekebalan tubuh mereka lemah,” tulis Chen dalam jurnal yang dipublikasikan di Journal of Infections pada 13 April 2020.

“Kesimpulannya, selama pandemi COVID-19, lansia di atas 70 tahun dengan penyakit komorbid juga akan berisiko tinggi mengalami kegagalan fungsi organ, sehingga membuat kondisi mereka semakin kritis.”

 

5 dari 6 halaman

Perbaikan Gejala dan Fungsi Organ

Chen menyampaikan, pasien positif COVID-19 dalam kondisi kritis dengan penyakit komorbid dapat terbantu dengan terapi plasma darah konvalesen. Pasien positif COVID-19 punya IgG yang selalu rendah. Setelah diberi transfusi plasma darah, antibodi mereka terbentuk cepat. Perlahan-lahan, kondisi pasien membaik. 

Kolaborasi penelitian para pakar dari sejumlah rumah sakit di Tiongkok memaparkan,  efektivitas plasma darah konvalesen pada pasien COVID-19. Hasil penelitian dari jurnal berjudul Effectiveness of convalescent plasma therapy in severe COVID-19 patients menunjukkan kemajuan signifikan. Pertama, perbaikan gejala klinis pada pasien.

Semua gejala 10 pasien, misal demam, batuk, sesak napas, dan nyeri dada menghilang atau sebagian besar membaik dalam 1 hari sampai 3 hari setelah transfusi plasma darah. Kedua, pengurangan lesi paru pada pemeriksaan CT scan. Pada pasien usia 50 tahun, yang diberi 200 ml plasma darah mulai ada penyerapan bertahap lesi paru-paru. Fungsi paru semakin baik.

Ketiga, perbaikan hasil laboratorium (darah) dan fungsi paru. Kadar limfositopenia (limfosit rendah) yang terjadi saat pasien positif COVID-19 cenderung membaik setelah transfusi plasma darah. 7 dari 10 pasien menunjukkan, peningkatan jumlah limfosit.

“Kami mengamati kecenderungan penurunan parameter yang mengindikasikan peradangan dan/atau disfungsi hati. Ada pemulihan fungsi paru-paru,” tulis peneliti Kai Duan dan tim.

Keempat, peningkatan titer antibodi penawar (level antibodi aman dari infeksi penyakit) dan hilangnya SARS-CoV-2 RNA. Titer antibodi penawar dari 5 pasien meningkat dan 4 pasien tetap pada tingkat yang sama setelah transfusi plasma konvalesen. Virus RNA SARS-CoV-2 menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi pada tiga pasien pada hari kedua, 3 pasien pada hari ketiga, dan satu pasien pada hari keenam setelah terapi plasma darah.

Penelitian di atas dilakukan terhadap 10 pasien COVID-19 dalam kondisi kritis dan berat dari 23 Januari sampai 19 Februari 2020. Pasien dalam penelitian ini tersebar di Wuhan Jinyintan Hospital, Jiangxia District Hospital of Integrative Traditional Chinese and Western Medicine, Wuhan, dan First People’s Hospital of Jiangxia District, Wuhan.  Penelitian disetujui Ethics Committee of the China National Biotec Group Co., Ltd dan dipublikasikan pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) pada 6 April 2020.

 

6 dari 6 halaman

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini