Sukses

Jangan Salahkan Pelaku Anak Bom Surabaya, Mereka Hanya Alat Terorisme

Keterlibatan anak-anak dalam aksi teror bom Surabaya bukanlah murni karena keinginan mereka, namun salah orangtuanya.

Liputan6.com, Jakarta Dilibatkannya anak-anak dalam aksi teror bom Surabaya sesungguhnya bukanlah kesalahan mereka. Hal ini ditegaskan oleh psikolog Alva Paramitha.

"Saya yakin anak-anak itu tidak tahu apa yang mereka lakukan. Anak-anak ini sayangnya menjadi alat," ujar Alva. Praktisi Bach Flower Remedies ini mengatakan, kepolosan anak- anak membuat para teroris menggunakan mereka sebagai pelaku.

"Mereka ini menjadi alat oleh teroris karena dianggap, anak-anak kan belum tentu mengerti. Dijadikan alat seperti itu," katanya ketika dihubungi Health Liputan6.com pada Senin (14/5/2013).

Menurut Alva, memang saat ini banyak aksi teror yang menggunakan perempuan dan anak-anak.

"Karena mungkin mereka menjadi kelompok yang tidak mudah dicurigai," kata psikolog yang berkantor di Global Sevilla School, Jakarta Timur, menambahkan.

Dalam kasus seperti bom Surabaya, Alva mengatakan bahwa orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab.

Selain orangtua dan masyarakat, lingkungan sekolah juga menjadi pihak yang harus bisa memberikan pengertian pada anak tentang bahaya terorisme, serta dampaknya.

"Di lembaga sekolah juga harus mulai digalakkan. Misalnya (kejadian bom Surabaya ini) tidak mengatasnamakan kejadian tertentu, atau satu agama tertentu. Diharapkan tidak menuju ke sana," ujar Alva.

Simak juga video menarik berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masyarakat harus pintar memilh berita

Di satu sisi, agar tidak menimbulkan ketakutan berlebih pada masyarakat, kita juga harus bisa memilah-milah pemberitaan yang beredar.

"Butuh kedewasaan, ada kontrol yang harus dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi berita mana yang benar dan yang tidak," ujar Alva.

Dia mengatakan, saat ini terorisme tidak lagi sekadar muncul di dunia nyata, namun juga di media sosial.

"Jadi memang dibutuhkan kedewasaan untuk melihat itu. Tidak main sebar, perlu konfirmasi lebih dulu. Tujuan teroris kan menyebarkan ketakutan dan kepanikan. Kalau kita bicara tentang traumatis, kan awalnya dari ketakutan itu," ujar Alva.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.