Sukses

Polusi Udara di Lahore Makin Parah, Anak-anak Pakistan Kini Alami Gangguan Pernapasan

Di ruang gawat darurat anak di rumah sakit umum Lahore, orang tua yang menggendong anak-anak mereka yang sakit mengantri untuk mendapatkan perawatan.

Liputan6.com, Lahore - Di ruang gawat darurat anak di rumah sakit umum Lahore, orang tua yang menggendong anak-anak mereka yang sakit mengantri untuk mendapatkan perawatan.

Anak-anak tersebut sakit lantaran telah terjadi krisis polusi udara di kota terpadat kedua di Pakistan.

“Kami merasa terganggu atas situasi ini,” kata Mohamad Qadeer, sambil mendekatkan alat nebulisasi ke hidung putrinya yang berusia tiga tahun.

Dia dan adik perempuannya yang berusia satu tahun, Inaaya, termasuk di antara ribuan anak yang menderita masalah kesehatan terkait polusi, dikutip dari laman Straitstimes, Senin (11/12/2023).

Pejabat kesehatan memperkirakan setidaknya ada peningkatan 50 persen pada pasien anak-anak, karena masalah pernafasan yang diperburuk oleh kualitas udara yang buruk dalam sebulan terakhir.

Lahore, yang secara historis dikenal sebagai kota taman, kini dipenuhi kabut asap yang menjadikannya sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada tahun 2022.

Ketika suhu lebih dingin mulai terjadi pada bulan November, tingkat kualitas udara meningkat. Dua puluh empat dari 30 hari terakhir memiliki kualitas udara yang “berbahaya” atau “sangat tidak sehat”, menurut laporan dari Swiss IQAir.

“Kondisi ini menjadi jauh lebih buruk dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan berdampak pada kesehatan anak-anak,” kata Dr Maria Iftikhar, petugas pendaftaran senior di departemen pediatrik Rumah Sakit Sir Ganga Ram.

Kota berpenduduk 11 juta jiwa yang dianggap sebagai ibu kota budaya Pakistan itu telah diselimuti kabut tebal yang sebagian menghalangi sinar matahari dan menyelimuti jalan-jalan dengan kabut di malam hari.

Masalah polusi menjadi lebih parah pada bulan-bulan yang lebih dingin, karena pembalikan suhu mencegah naiknya lapisan udara hangat dan memerangkap polutan lebih dekat ke daratan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Orang Tua Batasi Aktivitas Anak di Luar Ruangan

Mohamad dan istrinya, Shazma, telah berusaha menjaga keamanan dua anaknya, Rameen dan Inaaya dengan menggunakan masker dan membatasi waktu di luar ruangan.

Namun setelah berhari-hari menderita batuk dan demam, anak-anak tersebut berhenti makan.

“Kami tidak bisa tidur selama tiga malam,” kata Ms Shazma.

“Insya Allah (Insya Allah), kondisi mereka akan segera membaik,” kata Shazma.

Badan Anak-anak PBB mengatakan bahwa secara global, polusi udara luar ruangan berkontribusi terhadap 154.000 kematian anak-anak berusia di bawah lima tahun pada tahun 2019.

Di Pakistan, penyakit ini merupakan salah satu dari lima penyebab kematian terbesar di antara seluruh penduduk, dan anak-anak merupakan kelompok yang paling terkena dampaknya, begitu pula orang lanjut usia.

“Anak-anak secara fisiologis lebih rentan terhadap polusi udara dibandingkan orang dewasa karena otak, paru-paru, dan organ lainnya masih berkembang,” kata UNICEF, seraya menambahkan bahwa anak-anak bernapas dua kali lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga meningkatkan paparan polusi udara.

“Pemerintah harus mengambil tindakan tegas karena anak-anak kecil menderita,” kata seorang ibu lainnya bernama Shazia, sambil menggendong putranya yang berusia sembilan bulan.

3 dari 3 halaman

Kondisi Siaga di Pakistan

Ia dan anaknya menghabiskan empat hari di bangsal Rumah Sakit Sir Ganga Ram karena infeksi dada.

Tempat tidur tersebut digunakan bersama oleh bayi berusia satu bulan, Noor, yang menderita pneumonia.

Menteri Kesehatan provinsi Javed Akram mengatakan, rumah sakit dalam keadaan siaga tinggi, dengan menyediakan tempat tidur dan ventilator untuk kasus-kasus darurat tambahan.

Lockdown parsial telah dilakukan sejak awal November serta kampanye untuk mempromosikan penggunaan masker.

Dr Akram mengatakan pembakaran tanaman, yang dilakukan oleh petani untuk membuang sisa-sisa tanaman padi untuk dijadikan gandum, merupakan penyebab utama masalah ini, bersamaan dengan rendahnya kualitas bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan, serta aktivitas konstruksi dan industri.

Tanpa investasi yang sangat mahal dalam peralatan khusus bagi petani, pembakaran tidak dapat sepenuhnya diatasi tanpa membahayakan ketahanan pangan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.