Sukses

Narges Mohammadi dari Iran Menang Nobel Perdamaian 2023, Dianggap Bela Hak Perempuan

Narges Mohammadi, advokat hak perempuan Iran yang sedang dipenjara di negaranya, meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2023 pada Jumat.

Liputan6.com, Jakarta - Narges Mohammadi yang merupakan advokat hak perempuan di Iran meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2023 pada Jumat (6/10). Padahal, ia sedang menjalani hukumannya dipenjara.

"Komite Nobel Norwegia telah memutuskan untuk menganugerahkan Nobel Perdamaian 2023 kepada Narges Mohammadi untuk perjuangannya melawan penindasan terhadap perempuan di Iran dan perjuangannya untuk mempromosikan HAM dan kemerdekaan untuk semua," kata komite tersebut dalam pernyataannya.

Mohammadi adalah salah seorang aktivis HAM terkemuka di Iran yang telah berkampanye untuk hak perempuan dan penghapusan hukuman mati, dikutip dari laman Antara News, Jumat (6/10/2023).

Saat ini dia sedang menjalani berbagai vonis di penjara Evin di Tehran dengan total jumlah masa tahanan 12 tahun penjara, menurut organisasi HAM Front Line Defenders. Mohammadi telah beberapa kali dipenjara dengan vonis hukuman termasuk menyebarkan propaganda melawan negara.

Mohammadi merupakan wakil ketua dari Defenders of Human Rights Center, organisasi nonpemerintah yang dipimpin oleh Shirin Ebadi, peraih Nobel Perdamaian 2003.

Mohammadi merupakan perempuan ke-19 yang meraih penghargaan berusia 122 tahun tersebut dan merupakan perempuan pertama setelah Maria Ressa dari Filipina meraih penghargaan itu pada 2021 bersama dengan jurnalis Rusia Smitry Muratov.

Hadiah Nobel Perdamaian adalah sebesar 11 juta crowns Swedia (sekitar Rp15,6 miliar) dan akan diserahkan di Oslo pada 10 Desember yakni tanggal peringatan kematian pelaku industri Alfred Nobel yang memulai pemberian penghargaan melalui wasiatnya di tahun 1895.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Nobel Perdamaian 2022: Pejuang HAM di Rusia, Ukraina, dan Belarusia Menang

Sebelumnya, Komite Nobel menghadiahkan Nobel Perdamaian 2022 kepada para pejuang HAM di Eropa Timur. Pemenang terdiri atas satu individu dan dua kelompok HAM. 

Uniknya, tiga pemenang ini berasal dari negara yang saling bertetangga, dan juga terlibat perang: Rusia, Ukraina, dan Belarusia.

Mereka adalah Ales Bialiatski yang merupakan pejuang HAM di Belarusia, organisasi Memorial dari Rusia, dan Center for Civil Liberties di Ukraina. Para pemenang dinilai berhasil mewariskan semangat Alfred Nobel untuk mendukung perdamaian dunia.

Pihak Nobel berkata tiga orang itu adalah perwakilan masyarakat sipil dari negara masing-masing. Mereka disorot karena mendukung hak untuk mengkritisi penguasa dan hak fundamental masyarakat. 

"Mereka telah membuat usaha-usaha luar biasa untuk mendokumentasikan kejahatan perang, pelanggaran HAM, dan penyalahgunaan kekuasaan. Bersama-sama, mereka mendemonstrasikan signifikansi untuk masyarakat sipil demi perdamaian dan demokrasi," ujar Ketua Komite Nobel, Berit Reiss-Andersen, dalam tayangan live di YouTube, Jumat (7/10/2022). 

 

3 dari 4 halaman

Perjuangan Pembela HAM

Ales Bialiatski adalah pendiri dari organisasi Viansa. Ia disebut menggunakan hidupnya untuk berjuang untuk demokrasi dan perdamaian di negaranya. 

"Pemerintah telah berkali-kali berusaha membungkam Bialiatski. Ia dipenjara dari 2011 ke 2014, setelah adanya demonstrasi besar melawan rezim di 2020, ia kembali ditahan. Ia masih ditahan tanpa pengadilan," ujar Reiss-Andersen. 

Rezim yang dilawan Bialiatski adalah rezim Presiden Alexander Lukashenko yang berkuasa sejak 1994, dan merupakan sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin. Belarusia juga merupakan salah satu rute yang digunakan Rusia untuk menjajah Ukraina pada Februari 2022.

4 dari 4 halaman

Memorial dan Center for Civil Liberties

Pihak Nobel memperkenalkan Memorial sebagai organisasi yang membantu mencari keadilan bagi korban rezim komunis Soviet. Salah satu pendiri memorial adalah pemenang Nobel Perdamaian, yakni Andrei Sakharov. 

Setelah rezim Uni Soviet runtuh, Memorial masih terus memantau masalah HAM di Rusia, dan menjadi sumber yang terpercaya. 

"Selain mendirikan pusat dokumentasi pada korban era Stalinis, Memorial mengumpulkan dan mensistemisasi informasi dari penindasan politik dan pelanggaran HAM di Rusia," ujar Reiss-Andersen. 

Selain itu, pihak Nobel juga menyorot bahwa aksi sipil di Rusia kerap diancam-ancam, hingga dihilangkan. Salah satu aktivis Memorial, Natalia Estemirova, juga pernah dibunuh saat melakukan investigasi di Chechnya.

Pemerintah Rusia menutup paksa Memorial di akhir 2021. Namun, pihak Nobel berkata aktivis Memorial masih belum menyerah. 

Sementara, Center for Civil Liberties dipuji karena mendukung perdamaian di Ukraina. Meski baru dibangun pada 2017, organisasi ini juga aktif di tengah invasi Rusia.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Center for Civil Liberties telah bertindak untuk mendokumentasi kejahatan-kejahatan perang Rusia kepada warga sipil Rusia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.