Sukses

HEADLINE: Penanganan Gempa Dahsyat Magnitudo 6,8 di Maroko, Pelajaran untuk Indonesia?

Gempa Maroko magnitudo 6,8 pada Jumat 8 September 2023 telah menewaskan lebih dari 2.900 orang dan melukai lebih dari 5.550 lainnya. Menilik kedalamannya, gempa Maroko tergolong gempa kerak dangkal.

Liputan6.com, Jakarta - Di Algou, desa kecil di Pegunungan Atlas, jeritan terdengar dari reruntuhan sesaat setelah gempa magnitudo 6,8 mengguncang Maroko pada Jumat (8/9/2023), sekitar pukul 23.11 waktu setempat. Namun, seiring berlalunya waktu dan tim penyelamat yang tidak kunjung datang, jeritan pun berganti keheningan.

Tiga hari kemudian, petugas pemadam kebakaran Spanyol yang merupakan tim profesional pertama yang mencapai komunitas terdampak gempa Maroko berharap banyak agar waktu mereka cukup. Pilu, harapan tidak berpihak kepada mereka.

Kenyataan suram itu diperkuat oleh reaksi anjing-anjing bernama Igor dan Teddy, yang telah dilatih untuk menggonggong ketika menemukan tanda-tanda kehidupan. Lagi-lagi, keheningan memekakkan telinga.

"Tidak ada yang bisa kami lakukan di sini," kata petugas pemadam kebakaran Spanyol, Juan Lopez, seperti dilansir BBC, Kamis (14/9).

Ini kali kedua Juan Lopez ikut menangani gempa. Pertamanya adalah gempa Turki.

Respons internasional yang signifikan pasca gempa Turki, menurutnya, memberi andil dalam mewujudkan keajaiban demi keajaiban dalam proses penyelamatan mereka yang terjebak di reruntuhan. Bahkan, hingga beberapa hari kemudian.

"Di Maroko, rumah-rumah dibangun dari batu. Di Turki, rumah-rumah dibuat dari baja dan jauh lebih kuat. Kami tidak akan menemukan siapapun di sini," ujarnya, sementara rekan-rekannya menganggukkan kepala tanda setuju.

Tim Spanyol pun kemudian pindah ke desa berikutnya: Ait Hmid.

Terdapat gundukan batu bata dan batu-batuan, yang ternyata dulunya adalah sebuah rumah bagi 28 orang. Dari jumlah itu, hanya tujuh orang yang selamat.

Salah satu penghuninya, Omar Ait Mahdi, melemparkan pandangan kosong. Istrinya berada di rumah sakit, sementara kedua putrinya, Hanane (17) dan Khadijah (14) belum ditemukan.

Namun, pada akhirnya ketika jasad dua buah hatinya ditemukan, Omar Ait Mahdi dengan suara pelan mengatakan, "Saya ingin dunia menolong saya. Saya ingin dunia menolong saya. Saya kehilangan anak-anak saya, rumah saya, semua milik saya."

Kerabat Omar Ait Mahdi, Hamid, datang menghibur, meski dia sendiri menangis.

"Kami sangat membutuhkan bantuan. Dan kami membutuhkannya dari siapapun yang bersedia memberikannya," ungkap Hamid.

Dikutip dari NBC News, hingga berita ini diturunkan, total korban tewas gempa Maroko telah melampaui 2.900 orang. Adapun korban luka lebih dari 5.550 orang. PBB memperkirakan 300.000 orang terdampak gempa Maroko.

Pusat gempa Maroko sendiri berada di Pegunungan Atlas dengan kedalaman 26 km. Dengan kata lain, gempa Maroko tergolong gempa kerak dangkal, yang menimbulkan efek goncangan dan kehancuran lebih dahsyat dibanding gempa dalam.

"Gempa (Maroko) ini terjadi di wilayah jalur sumber gempa sesar aktif yang sudah terpetakan, namun demikian zona ini dikenal dengan riwayat kegempaan yang relatif rendah," kata Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono melalui pernyataan tertulisnya.

Ahli Geologi khusus gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Astyko Pamumpuni yang dihubungi Liputan6.com pada Rabu (13/9) mengatakan bahwa gempa Maroko adalah pelajaran penting kesekian kalinya, khususnya bagi Indonesia.

"Secara umum, Indonesia lebih mungkin daripada Maroko untuk potensi bahaya gempa. Kejadian gempa di Indonesia secara sejarah dan data kegempaan jauh lebih banyak dibandingkan Maroko," jelas Astyko. "Sumber gempa di Indonesia juga sudah banyak dipetakan. Meskipun masih terus dilakukan pemutakhiran, tetapi sudah cukup baik dan bisa kita jadikan acuan atau dasar pengurangan risiko."

Astyko menambahkan, "Gempa Maroko secara umum bukan gempa besar seperti halnya gempa Aceh, gempa Tohoku, misalnya. Magnitudo gempa Maroko masih tergolong menengah. Namun, karena Maroko jarang mengalami atau merasakan gempa, sepertinya jadi tidak siaga dan tidak siap menghadapi kejadian gempa atau bahkan tidak mengira akan terjadi gempa cukup besar. Oleh karenanya, bangunan yang ada sepertinya tidak didesain untuk tahan gempa."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Siaga Gempa

Lebih lanjut Astyko menuturkan bahwa gempa memiliki siklus atau perulangan yang tidak sebentar. Bisa ratusan tahun bahkan puluhan ribu tahun.

"Tidak ada kejadian gempa dalam 100 tahun terakhir bukan berarti bebas gempa. Jadi, perulangan kejadian gempa umumnya di luar rentang waktu hidup manusia modern maka pernyataan 'Saya sudah lama tinggal di sini, tidak pernah ada gempa' yang sering kita dengar, tidak valid," tegasnya.

"Contoh nyata di Indonesia adalah gempa Laut Flores akhir 2021. Sebelumnya, tidak diketahui adanya sumber gempa di lokasi tersebut. Namun, terjadi gempa dengan magnitudo cukup besar. Untuk itu, kita yang tinggal di Indonesia semestinya harus siap dengan gempa."

Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansah menilai bahwa selama ini antisipasi Indonesia terhadap gempa relatif lemah. Dia memberi contoh gempa Cianjur.

"Seharusnya, titik yang rentan gempa harus ada infrastruktur atau alat yang disediakan, termasuk masyarakatnya harus terus diedukasi," kata Trubus saat dihubungi Liputan6.com, Rabu.

"Di Cianjur masyarakat hampir minim pengetahuannya. Padahal di situ memang daerah rawan gempa. Bahkan, mereka yang di sekolah, murid-murid yang di sekolah banyak yang jadi korban gempa."

Trubus membandingkan kesiapan warga Cianjur di Jawa Barat dengan masyarakat yang tinggal di Jawa Timur. Menurutnya, mereka yang ada di Jawa Timur relatif siap terkait gempa.

"Masyarakat di Jawa Timur bisa antisipasi mau ke mana dia larinya karena pemerintah daerahnya itu mau mengedukasi terus menerus," ujar Trubus.

Ada dua poin yang menjadi catatan utama Trubus. Pertama, dari sisi kebijakan yang menurutnya kurang konsisten, berkesinambungan, dan kolaborasi antara pemerintah daerah dan pusat yang kurang solid.

Poin kedua, pola pikir masyarakat yang menganggap gempa sebagai musibah.

"Jadi, pengetahuan dan literasinya sangat minim," ungkap dia.

Terkait dengan struktur bangunan, Trubus mengakui bahwa hampir semua bangunan di Indonesia tidak tahan gempa. Kondisi itu disebutnya mencerminkan kebijakan yang tidak sinkron dan berkesinambungan, memperparah kesadaran masyarakat dalam mempersiapkan diri menghadapi gempa.

"Padahal Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik dan rawan gempa. Tapi kebijakannya tidak berkesinambungan karena hanya dianggap sebagai urusan kementerian tertentu saja," tutur Trubus. "Tidak ada upaya bagaimana melibatkan seluruh komponen masyarakat."

Selain itu, Trubus turut menyoroti soal distribusi logistik pasca bencana.

"Sumbangan makanan dan bantuan selama inikan carut-marut, tidak terpusat, dan tidak tepat sasaran. Banyak juga gempa yang dijadikan ajang untuk kepentingan politik. Ini yang paling mencolok di Cianjur kemarin," katanya.

 

3 dari 4 halaman

Maroko Selektif Menerima Bantuan

Seismolog Richard Walker dari Universitas Oxford menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan gempa Maroko begitu mematikan.

"Gempa terjadi di wilayah yang jumlah penduduknya relatif besar dan jenis bangunannya rentan terhadap guncangan gempa. Jadi, konstruksi bangunannya khas pedesaan yang menggunakan bata tanpa penguatan," jelasnya, seperti dilansir VOA Indonesia.

"Satu fakta penting juga adalah bahwa gempa terjadi pada malam hari, lewat pukul 11 malam waktu setempat, ketika orang-orang berada di rumah dan sudah tidur. Jadi, banyak orang terjebak di dalam reruntuhan."

Segera setelah tersiar kabar gempa mengguncang Maroko, tawaran bantuan dari penjuru dunia berdatangan. Namun, pemerintah Maroko memilih selektif menerima bantuan.

Kementerian Dalam Negeri Maroko dalam pernyataannya pada Minggu (10/9) mengumumkan bahwa pihaknya telah merespons tawaran dukungan dari empat negara sahabat, yaitu Spanyol, Qatar, Inggris, dan Uni Emirat Arab.

Pertanyaan pun mengemuka, kenapa Maroko tidak menerima tawaran negara atau pihak lainnya? Faktanya, Prancis menyiagakan bantuan, Aljazair yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Maroko juga demikian. Sama halnya pula dengan Amerika Serikat, Tunisia, Turki, dan Taiwan.

Merespons soal itu, otoritas Maroko seperti dikutip dari BBC mengatakan bahwa pihaknya ingin mempertahankan kendali dan tidak ingin mengambil risiko situasi yang berpotensi menimbulkan kekacauan jika puluhan negara dan organisasi datang membantu.

"Kurangnya koordinasi dalam kasus-kasus seperti itu akan menjadi kontraproduktif," tegas otoritas Maroko.

Direktur Regional Timur Tengah dan Afrika Utara untuk Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) Hossam Elsharkawi mengungkapkan bahwa dia enggan mengkritik Maroko pada saat sulit seperti ini. Namun, dia berkeyakinan bahwa bantuan asing pasti dibutuhkan.

"Kami punya pengalaman selama 30 tahun dalam skenario seperti ini, kami tahu pedomannya. Mereka membutuhkan bantuan internasional," ungkap Elsharkawi.

"Respons lokal telah melakukan pekerjaan yang luar biasa hingga saat ini, namun mereka sudah kelelahan dan butuh bantuan tambahan."

4 dari 4 halaman

Kabar Warga Negara Indonesia Pasca Gempa Maroko

Sutarwindargo selaku Fungsi Penerangan Sosial Budaya KBRI Rabat dalam program Liputan6 Update pada Rabu mengonfirmasi bahwa tidak ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban gempa Maroko.

"Dari data yang masuk, tidak ada WNI yang menjadi korban meninggal dunia dan kami berharap tidak ada. Kami dengan WNI cukup terbuka karena kebanyakan WNI di sini adalah pelajar dan mahasiswa yang bergabung dalam PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Jadi, setiap kota yang ada pelajar dan mahasiswa Indonesia selalu ada koordinator, sehingga cepat sekali dalam hal pengumpulan data, seperti apakah ada yang menjadi korban dan lain-lain," jelas Sutarwindargo.

"Koordinator di masing-masing kota itu segera melapor ke pihak kami dan sampai sejauh ini kami nyatakan belum ada dan semoga tidak ada yang menjadi korban, dan tidak ada rumah atau properti yang mengalami kerusakan juga. Jadi, semuanya masih tinggal di tempat dan masih bisa melakukan aktivitasnya sehari-hari semua, kebetulan semuanya jauh dari pusat gempa."

Terdapat sekitar 500 WNI di Maroko.

"Dengan perkiraan pelajar yang bisa kami pastikan karena mereka tergabung dalam organisasi PPI, jadi kami bisa mendata jumlah mereka sekitar 250 dan memang sudah separuh lebih. Kemudian sisanya adalah pekerja maupun WNI yang menikah dengan orang Maroko ataupun orang asing yang tinggal di Maroko," tutur Sutarwindargo.

Sutarwindargo menyatakan bahwa WNI yang memutuhkan bantuan dapat menghubungi hotline KBRI Maroko.

"Jadi, WNI yang membutuhkan bantuan dari KBRI bisa menghubungi kami dengan hotline KBRI Rabat +212 661095995 yang terbuka 24 jam," imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini