Sukses

15 Dampak Tak Terduga dari Perubahan Iklim, Produksi Kopi di Indonesia Bisa Menurun 50 Persen?

Artikel ini mengungkapkan 15 dampak tak terduga dari perubahan iklim yang berpotensi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspek yang dibahas adalah potensi penurunan produksi kopi di Indonesia hingga 50 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim bukan lagi sekadar isu global yang dapat dipandang sebelah mata. Peristiwa cuaca ekstrem dan kepunahan massal adalah beberapa dampak paling serius dari perubahan iklim, tetapi dunia yang semakin panas ini juga memiliki dampak lain yang tidak kalah signifikan untuk Bumi kita.

Dunia tengah menyaksikan pergeseran dramatis akibat perubahan iklim yang semakin nyata. Di tengah guncangan dampak perubahan iklim di seluruh dunia, Indonesia, sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia, tidak luput dari imbasnya.

Selain dari ancaman langsung terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati, perubahan iklim juga membawa konsekuensi tak terduga terhadap industri kopi di Indonesia.

Sebagai salah satu penghasil kopi terbesar di dunia, negeri ini tidak hanya menyumbang bagi pasar global, tetapi juga menjadi penopang ekonomi lokal. Namun, apakah kita benar-benar mengerti sejauh mana kerentanan produksi kopi di Indonesia ketika menghadapi dampak perubahan iklim?

Mulai dari fenomena perubahan jenis kelamin pada kadal hingga penurunan produksi kopi di Indonesia, berikut adalah 15 dampak paling tak terduga dari pemanasan global. Merangkum dari Live Science, Sabtu (16/9/2023):

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Meningkatnya Home Run Bisbol hingga Banyaknya Kasus Gigitan Anjing

1. Home run bisbol meningkat

Ilustrasi Main Baseball/Kredit:Pixabay by KeithJJ

Kenaikan suhu tampaknya berdampak pada peningkatan home run dalam Major League Baseball.

Dalam sebuah riset yang dipublikasikan pada tanggal 7 April dalam jurnal Bulletin of the American Meteorological Society, para peneliti menyimpulkan bahwa karena udara yang lebih hangat memiliki kepadatan yang lebih rendah, bola bisbol dapat terbang lebih jauh setelah dipukul.

Mereka menemukan bahwa selama periode 2010 hingga 2019, lebih dari 500 home run, yang mewakili 1% dari total home run, dapat disebabkan oleh suhu panas yang luar biasa akibat pemanasan global. Mereka juga memprediksi bahwa home run dapat menjadi 10% lebih wajar pada tahun 2100 jika dibandingkan dengan rata-rata antara tahun 2010 dan 2019.

Para ilmuwan mengatakan bahwa memainkan lebih banyak permainan di malam hari ketika suhu lebih dingin dapat membantu mengurangi dampaknya terhadap olahraga ini.

2. Katak yang menyusut bersuara dengan nada yang lebih tinggi

Salah satu katak terkecil terbaru di atas koin. (BJ Sidu)

Dengan bertambahnya suhu di Bumi, katak coquí jantan (Eleutherodactylus coqui) di Puerto Rico kini menghasilkan suara parau dengan nada yang lebih tinggi.

Dalam sebuah penelitian yang dipresentasikan pada 8 Mei dalam 84th Meeting of the Acoustical Society of America, para peneliti mengungkapkan bagaimana peningkatan suhu menyebabkan amfibi ini mengalami penyusutan, sehingga menaikkan nada dari suara parau mereka.

Katak coquí jantan bersuara untuk menandai wilayah dan mengusir saingan. Para ilmuwan menemukan bahwa katak-katak yang tinggal dekat dengan dasar gunung, tempat suhu lebih hangat, mengeluarkan suara parau dengan nada yang lebih tinggi dibandingkan dengan katak yang lebih besar yang hidup di ketinggian lebih tinggi dan lebih dingin.

Ketika para peneliti kembali ke lereng yang sama dua puluh tahun kemudian, ketika suhu global telah meningkat, mereka menemukan bahwa katak-katak tersebut bersuara dengan nada yang lebih tinggi, tak peduli di mana mereka berada di gunung.

3. Turbulensi pesawat akan semakin parah

Turbulensi pesawat Etihad. (Adinda/Liputan6.com)

Perubahan iklim mengakibatkan guncangan dalam penerbangan menjadi lebih besar karena pergeseran aliran udara.

Dalam penelitian yang dipublikasikan pada 8 Juni dalam jurnal Geophysical Research Letters, ilmuwan membandingkan data iklim dari tahun 1979 hingga 2020 dengan data turbulensi udara di wilayah Atlantik Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat turbulensi parah yang disebabkan oleh tabrakan aliran udara dengan kecepatan berbeda, telah meningkat sebanyak 55% dari 17,7 jam pada tahun 1979 menjadi 27,4 jam pada tahun 2020.

Sementara tingkat turbulensi sedang juga mengalami kenaikan sebesar 37% selama periode yang sama. Para peneliti menyimpulkan bahwa perubahan iklim kemungkinan besar menjadi penyebab dari peningkatan ini karena udara yang lebih panas mengakibatkan kecepatan serta arah angin berubah menjadi lebih kuat.

4. Kehilangan jam tidur

Ilustrasi Tidur/https://unsplash.com/Zohre Nemati

Hingga tahun 2010, manusia sudah mengalami kekurangan tidur sekitar 44 jam setiap tahun akibat suhu panas di malam hari terkait dengan pemanasan global. Menurut penelitian, diperkirakan jumlah ini dapat meningkat menjadi 58 jam kehilangan tidur setiap tahun pada tahun 2100 dalam skenario emisi karbon tinggi.

Dalam penelitian yang diterbitkan pada Mei 2022 dalam jurnal One Earth, ilmuwan membandingkan data tidur yang tercatat menggunakan gelang pelacak tidur dari 48.000 orang di 68 negara, dan hasilnya menunjukkan bahwa orang-orang tidur lebih larut dan bangun lebih awal saat malam lebih panas.

5. Kasus gigitan anjing meningkat

Pertolongan pertama saat digigit anjing (Sumber: Pixabay)

Selain manusia yang cenderung melakukan tindak kejahatan kekerasan saat cuaca memanas, sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan pada 15 Juni dalam jurnal Scientific Reports mengungkapkan bahwa tingkat agresi anjing juga meningkat seiring dengan kenaikan suhu.

Tim peneliti menganalisis data mengenai 69.525 kasus gigitan anjing di delapan kota Amerika Serikat, termasuk Dallas, Houston, Baltimore, Baton Rouge, Chicago, Louisville, Los Angeles, dan Kota New York. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 11% dalam jumlah gigitan anjing pada hari-hari dengan radiasi UV tinggi dan peningkatan sebesar 4% ketika suhu tinggi.

3 dari 4 halaman

Banyaknya Petir Api hingga Redupnya Bumi

6. Lebih banyak petir api

Ilustrasi sambaran petir. (Sumber Pixabay)

Dampak dari pemanasan global akan mempengaruhi pola petir di seluruh dunia, dengan potensi peningkatan risiko kebakaran hutan.

Peneliti dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan pada 10 Februari dalam jurnal Nature Communications mengkaji "petir arus berkelanjutan panjang,” jenis petir yang dikenal sebagai penyebab utama kebakaran akibat petir.

Mereka memperkirakan bahwa insiden petir semacam ini dapat meningkat sekitar 10% setiap kali suhu naik sebesar 1,8 derajat Fahrenheit atau 1 derajat Celsius. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan sebanyak 40% dalam lonjakan petir menjelang akhir abad di bawah proyeksi perubahan iklim dalam skenario terburuk.

7. Penurunan tingkat kelahiran

Ilustrasi bayi baru lahir. (dok. Omar Lopez/Unsplash)

Peningkatan suhu udara terkait dengan penurunan tingkat kelahiran.

Peneliti menemukan dalam studi yang diterbitkan tahun 2018 di jurnal Demography bahwa ketika suhu rata-rata melebihi 80 derajat Fahrenheit (26,7 derajat Celsius), terjadi penurunan sekitar 0,4% dalam tingkat kelahiran, dibandingkan dengan hari-hari dengan suhu antara 60 derajat Fahrenheit (15,6 derajat Celsius) dan 70 derajat Fahrenheit (21,1 derajat Celsius).

Para ilmuwan tidak berpendapat bahwa ini disebabkan oleh menurunnya dorongan seksual, melainkan mereka percaya bahwa suhu tinggi dapat mempengaruhi fertilitas. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa kondisi panas dapat mempengaruhi kemampuan bergerak sperma.

8. Perubahan jenis kelamin pada kadal

<p>Central Bearded Dragon. (photo/dok.Wikipedia)</p>

Kenaikan suhu menyebabkan jenis kadal central bearded dragons (Pogona vitticeps) di Australia mengalami perubahan jenis kelamin.

Pada beberapa reptil, jenis kelamin dipengaruhi oleh suhu di mana telur mereka terpapar selama proses perkembangan. Suhu yang lebih tinggi terkait dengan jumlah betina yang lebih banyak.

Sebuah studi pada tahun 2015 yang dipublikasikan di jurnal Nature menggambarkan bagaimana dari 131 ekor kadal yang ditangkap di alam liar, 11 di antaranya memiliki kromosom jenis kelamin jantan tetapi kondisi inkubasi dengan suhu yang lebih tinggi menyebabkan mereka mengembangkan anatomi betina, sehingga kadal yang mengalami inversi jenis kelamin dan mampu bertelur.

9. Alergi yang memburuk karena musim semi

Ilustrasi Alergi Credit: pexels.com/AndreaPiacquadio

Kenaikan suhu menyebabkan musim semi muncul lebih awal dan berlangsung lebih lama. Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah serbuk sari di udara, yang membuat hidup sedikit lebih sulit bagi penderita alergi.

Dalam penelitian yang diterbitkan tahun 2021 di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, para ilmuwan menemukan bahwa musim bersin-bersin menjadi lebih panjang di Amerika Utara, meningkat sekitar 20 hari antara tahun 1990 dan 2018.

Mereka juga menemukan bahwa tingkat serbuk sari meningkat sekitar 21% dalam periode yang sama. Tim peneliti menyatakan bahwa perubahan ini kemungkinan disebabkan oleh pemanasan global dan telah memperburuk masalah alergi.

10. Redupnya Bumi, dampak pemanasan laut terhadap pantulan cahaya matahari

ilustrasi bumi. (NASA)

Dalam sebuah riset yang dipublikasikan dalam jurnal Geophysical Research Letters pada tahun 2021, ilmuwan melakukan analisis terhadap jumlah sinar matahari yang dipantulkan dari Bumi ke bulan antara tahun 1998 hingga 2017.

Hasil temuan menunjukkan bahwa terjadi penurunan kecerahan di Bumi. Hal ini disebabkan oleh pemanasan laut yang telah mengurangi jumlah awan rendah di atas Samudra Pasifik timur yang dapat memantulkan cahaya, sehingga mengakibatkan berkurangnya pantulan sinar matahari dari Bumi.

Konsekuensinya, terjadi penangkapan energi cahaya yang lebih banyak di Bumi, yang berpotensi meningkatkan pemanasan global lebih lanjut.

4 dari 4 halaman

Meletusnya Gunung Berapi hingga Cepatnya Pertumbuhan Pohon

11. Potensi meletusnya gunung berapi akibat pemanasan global

Ilustrasi Bencana Gunung Meletus Credit: pexels.com/Erickson

Sebagian besar gunung berapi di Bumi terlindungi oleh lapisan es. Namun, seiring dengan lebih banyak mencairnya es akibat pemanasan global, air yang dilepaskan dapat tercampur dengan batuan panas dan magma di bawahnya, yang kemudian akan menyebabkan intensitas ledakan.

Pelelehan es mengurangi tekanan pada magma, memungkinkan pembentukan gelembung lebih banyak di dalamnya. Magma yang bergelembung kemudian memberikan tekanan lebih besar pada kerak Bumi di atasnya, hingga cairan leleh meledak melalui retakan di kerak.

Temuan ini diperkuat oleh penelitian yang diterbitkan pada tahun 2017 dalam jurnal Geology, di mana para peneliti menemukan bahwa antara sekitar 4.500 hingga 5.500 tahun yang lalu, jumlah letusan gunung berapi di Islandia turun secara signifikan ketika iklim menjadi lebih dingin, dibandingkan dengan periode-periode yang lebih panas.

12. Produksi kopi menurun, salah satunya di Indonesia

Kebun kopi/Istimewa.

Menurut penelitian yang diterbitkan pada 26 Januari dalam jurnal PLOS One, diperkirakan bahwa pada tahun 2050, perubahan iklim berpotensi mengurangi setengah dari lahan yang dapat digunakan untuk perkebunan kopi.

Dengan melakukan pemodelan terhadap tiga skenario iklim berbeda yang membatasi pemanasan global pada 2.7 derajat Fahrenheit (1.5 derajat Celsius), 4.3 derajat Fahrenheit (2.4 derajat Celsius), atau 7.2 derajat Fahrenheit (4 derajat Celsius), para ilmuwan menemukan bahwa jumlah wilayah yang sangat cocok untuk perkebunan kopi, seperti wilayah di Brasil, Vietnam, Indonesia, dan Kolombia, dapat mengalami penurunan hingga 50%.

13. Kambing yang mengecil

<p>Kambing di pegunungan Alpen. (Photo: Wikipedia)</p>

Kambing-kambing di Alpen Italia mengalami pengecilan ukuran seiring dengan meningkatnya suhu di Bumi ini.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Zoology pada tahun 2014, para peneliti menganalisis massa tubuh dari anak chamois Alpen (Rupicapra rupicapra) yang tinggal di pegunungan antara tahun 1979 dan 2010, dan menemukan bahwa mereka mengalami penyusutan sekitar 25%.

Selama masa penelitian, suhu di wilayah tersebut meningkat sekitar 5.4 derajat Fahrenheit hingga 7.2 derajat Fahrenheit (3 derajat Celsius hingga 4 derajat Celsius). Para ilmuwan menyimpulkan bahwa ukuran tubuh hewan-hewan ini tampaknya mengalami penurunan karena chamois menghabiskan lebih banyak waktu untuk beristirahat dan lebih sedikit waktu untuk makan selama suhu memanas.

14. Tantangan pelestarian mumi yang rusak akibat perubahan iklim

Gambar selebaran yang dirilis oleh Kementerian Pariwisata dan Purbakala Mesir pada 17 Februari 2021 menunjukkan pemindaian 3D dari kepala mumi raja Mesir kuno Seqenenre Taa II. Firaun Seqenenre Taa II dijuluki

Setelah bertahan dengan baik selama lebih dari 7.000 tahun di Gurun Atacama, beberapa mumi tertua di dunia mulai mengalami degradasi ketika disimpan di sebuah museum.

Mumi-mumi ini disiapkan oleh kelompok pemburu pengumpul yang dikenal sebagai Chinchirro. Menurut laporan oleh Harvard John A. Paulson School for Engineering and Applied Sciences, meningkatnya tingkat kelembaban akibat perubahan iklim diduga memicu pertumbuhan bakteri yang mencerna mumi-mumi tersebut, sehingga beberapa di antaranya berubah menjadi semacam lendir hitam.

Dengan melakukan pengujian pada sampel mumi di laboratorium, para ilmuwan dapat mengidentifikasi tingkat kelembaban di museum yang akan paling efektif dalam menjaga kelestarian benda-benda sejarah tersebut.

15. Pertumbuhan pohon menjadi lebih cepat

Ilustrasi pohon, hutan. (Photo by Arnaud Mesureur on Unsplash)

Tingkat karbon dioksida yang meningkat di atmosfer telah merangsang pertumbuhan pohon menjadi lebih cepat di Eropa Tengah.

Dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada tahun 2014, disebutkan bahwa pohon cemara Norwegia (Picea abies) dan pohon beech Eropa (Fagus sylvatica) tumbuh lebih dari dua kali lipat lebih cepat pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 1960, seiring dengan meningkatnya kadar karbon dioksida.

Gas rumah kaca ini merupakan elemen kunci dalam fotosintesis, yaitu proses di mana tanaman menggunakan energi cahaya untuk menghasilkan gula dan oksigen. Gula ini selanjutnya dapat digabungkan dengan oksigen dalam proses respirasi untuk melepaskan energi guna melakukan pertumbuhan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini