Sukses

Ratusan Ribu Orang Kerja Rodi Jadi Online Scammer di ASEAN

ASEAN disorot PBB akibat masalah online scam yang meroket.

Liputan6.com, Jakarta - Jelang KTT ASEAN 2023 yang akan digelar di Jakarta, pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan kurang sedap mengenai situasi pekerjaan di Asia Tenggara. Kawasan ASEAN ternyata menjadi sarang online scammer yang korbannya mencapai ratusan ribu orang.

Orang-orang Indonesia pun menjadi korban dari bisnis haram ini.

Para calon pekerja biasanya dijebak dengan iming-iming gaji tinggi dan disuruh terbang ke negara ASEAN lain, seperti Myanmar, Laos, atau Kamboja. Setelahnya, mereka malah disuruh kerja jadi online scammer dan diperlakukan dengan tidak manusiawi.

Berdasarkan laporan Kantor HAM PBB (OHCHR), masalah online scam serta penyelundupan manusia (human trafficking) meningkat sejak tahun 2021.

"Saat penulisan laporan ini, situasi masih berkembang: ratusan ribu orang dari seluruh kawasan dan di luarnya telah dipaksa melakukan kejahatan online," tulis laporan OHCHR.

Sejumlah kegiatan yang disorot OHCHR adalah ajakan investasi bernuansa cinta tapi ternyata tipu-tipu, pencucian uang, judi ilegal, dan penipuan kripto.

Korban kejahatan ini ada dua jenis: orang yang terjebak online scam tersebut dan orang-orang yang dipaksa menjadi scammer.

Bagi korban online scammer, OHCHR menyebut ada kerugian finansial. Bagi yang dipaksa jadi scammer, mereka jadi korban pelanggaran HAM.

"Banyak orang kehilangan tabungan hidup mereka, mengambil utang, dan menderita rasa malu dan stigma karena kena scam. Di sisi lain, ada individu-individu yang dipaksa bekerja di operasi scam ini dan menderita perlakukan tidak manusiawi merupakan korban dari pelanggaran HAM serius," jelas pihak OHCHR.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Proses Rekrut Online Scam

Dijelaskan oleh OHCHR bahwa para korban kerja rodi online scam itu direkrut melalui metode tipu-tipu. Para calon pekerja pun sampai dibelikan tiket untuk berangkat dan dokumennya dibantu.

"Para penyelundup mungkin juga membantu dengan transportasi, termasuk dalam beberapa kasus dengan dokumen yang diperlukan," tulis laporan OHCHR.

Korban-korban mengaku menemukan lowongan kerja di media sosial, mulai dari Facebook hingga aplikasi kencan Tinder. 

Terkadang, para korban tidak sadar mereka telah masuk ke negara lain, misal dari Thailand lalu dibawa Myanmar.

Ketika tiba, para calon pekerja itu biasanya dijemput oleh para penyelundup ke akomodasi sementara. Terkadang, mereka juga langsung dibawa ke gedung tempat tinggal (compound) tertutup untuk kemudian disuruh kerja. Mereka dipantau oleh penjaga bersenjata.

Barang-barang milik pekerja itu juga disita, seperti paspor. 

Selain ancaman kekerasan, utang juga dijadikan senjata oleh para perekrut itu. Mereka disuruh membayar macam-macam biaya, seperti biaya kedatangan, pelatihan, hingga denda karena kurang performa. 

Terkadang, utang itu akan ditagihkan kepada keluarga korban rekrutmen scam itu sebelum korban boleh dibiarkan pergi. Foto-foto korban dikirimkan kepada keluarga sebagai bukti.

"Dalam beberapa kesempatan, orang-orang mencoba kabur, termasuk dengan lompat dari compound atau berenang sepanjang sungai (misal dari Myanmar ke Thailand atau Kamboja ke Vietnam), namun upaya-upaya tersebut seringnya berakhir dengan tidak sukses, entah karena kematian atau hukuman berat saat ditangkap lagi," jelas OHCHR.

3 dari 4 halaman

Korban Kerja Paksa Bukan Kriminal

Pihak OHCHR menjelaskan bahwa masalah online scam ini memang isu yang kompleks. Ada tiga masalah yang menyulitkan penegakkan hukum:

1. Ada tantangan untuk mengadili aktor-aktor yang terlibat dalam kejahatan transnasional (lintas negara) yang terorganisir.

2. Ada tantangan dalam melindungi HAM di ranah digital.

3. Ada tantangan dalam mengakses operasi-operasi scam yang berlokasi di daerah yang pengawasannya lemah.

Salah satu contoh tantangan yang dialami Indonesia adalah nomor tiga. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi sempat menyorot masalah evakuasi para WNI yang dipaksa menjadi pekerja online scam di Myawaddy, Myanmar. Wilayah tersebut sulit dijangkau akibat gejolak konflik di Myanmar, serta posisi geografisnya di perbatasan Thailand dan Myanmar, sehingga jauh dari perwakilan diplomaik Indonesia. 

OHCHR juga menyorot masalah kurangnya pelatihan bagi pra petugas garis depan, seperti penjaga perbatasan, untuk mengidentifikasi korban-korban penyelundupan orang. Selain itu, ada pula masalah perbedaan bahasa. 

 

4 dari 4 halaman

Polri Selamatkan 2.497 korban TPPO Selama Dalam Dua Bulan Terakhir

Sebelumnya dilaporkan, Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO) Bareskrim Polri total menyelamatkan 2.497 korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sejak pertama kali dibentuk pada tanggal 5 Juni 2023.

"Satgas Pemberantasan TPPO yang dibentuk Presiden dan diketuai Kapolri telah melaksanakan penegakan hukum dengan menyelamatkan korban sebanyak 2.497 orang," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Sandi Nugroho di sela-sela kegiatan ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) ke-17 di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Senin (21/8). 

TPPO merupakan permasalahan yang menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo. Arahan Presiden telah ditindaklanjuti oleh Polri dengan mengerahkan Satgas TPPO untuk melakukan penanggulangan TPPO.

Tak hanya menyelamatkan korban, satgas tersebut telah melakukan penegakan hukum dengan adanya 771 laporan polisi. Polri juga telah menangkap tersangka sebanyak 924 orang.

"Hal itu merupakan bentuk keseriusan Polri dalam menindaklanjuti perintah Presiden dan sudah jadi kesepakatan untuk bisa dijadikan suatu pedoman bersama agar di kawasan ASEAN nantinya bebas TPPO," katanya menjelaskan.

Tak hanya menjadi permasalahan Indonesia, TPPO juga menjadi tanggung jawab negara-negara ASEAN sebagaimana kesepakatan bersama dalam KTT Ke-42 ASEAN pada bulan Mei 2023.

Oleh karena itu, dalam momen AMMTC di Labuan Bajo, Indonesia mendorong adanya hubungan kerja sama yang perlu ditingkatkan terkait kerja sama pencegahan TPPO, penegakan hukum, maupun bantuan bagi korban dan saksi yang terkait dengan TPPO.

Selanjutnya ada pula kerja sama peningkatan kapasitas pemangku kepentingan lainnya untuk menyamakan persepsi sehingga ke depan kejahatan TPPO bisa ditanggulangi dengan kerja sama yang baik.

"Kuncinya koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi," ucapnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.