Sukses

Diskriminasi Pencarian Kapal Selam Wisata Titan dan Kapal Imigran Yunani: Kaya Vs Miskin

Pencarian kapal selam wisata Titan dan kapal imigran yang tenggelam di perairan Yunani, menyingkap kenyataan pahit tentang perbedaan kelas dan etnis.

Liputan6.com, Athena - Pencarian kapal selam wisata Titan dan kapal imigran yang tenggelam di perairan Yunani, menyingkap kenyataan pahit tentang perbedaan kelas dan etnis.

Di satu kapal, lima orang tewas dalam perjalanan yang sangat mahal untuk melihat 'kehidupan sebelumnya', menengok bangkai kapal Titanic yang fenomenal.

Di sisi lain, 500 orang meninggal dalam perjalanan yang kumuh dan berbahaya, melarikan diri dari kemiskinan dan kekerasan untuk mencari 'kehidupan baru'.

Setelah kapal selam Titan dan awak di dalamnya hilang kontak, beberapa negara dan entitas swasta mengirim kapal, pesawat, dan drone bawah air. Peluang para korban untuk diselamatkan, kecil.

Sumber daya itu jauh lebih banyak dari upaya pencarian dan penyelamatan ratusan orang di atas kapal pukat ikan yang sangat penuh sesak di lepas pantai Yunani. Peluang para korban untuk diselamatkan, besar.

 

Kapal selam Titan juga menarik perhatian besar dari organisasi berita di seluruh dunia. Sorotan berita mereka jauh lebih banyak daripada kapal yang tenggelam di Mediterania dan kegagalan Penjaga Pantai Yunani untuk membantu para korban. Semua itu terlambat, sebelum akhirnya, kapal imigran itu pun terbalik.

Kecelakaan kapal selam, di lokasi kapal karam yang telah mempesona publik selama lebih dari satu abad, akan memikat orang apa pun yang terjadi. Tapi itu terjadi tepat setelah tragedi di Mediterania.

Kontras antara dua bencana, dan bagaimana mereka ditangani, telah memicu diskusi di seluruh dunia di mana beberapa orang melihat kenyataan pahit tentang diskriminasi kelas dan etnis, demikian seperti dikutip dari NY Times, (24/6/2023).

Di atas kapal Titan ada tiga pengusaha kaya - seorang kulit putih Amerika, seorang Inggris kulit putih dan seorang raja Pakistan-Inggris - bersama dengan putra miliarder berusia 19 tahun dan seorang penjelajah laut dalam Prancis kulit putih.

 

Sementara itu, sekitar 750 orang di atas kapal imigran adalah orang-orang dari Asia Selatan dan Timur Tengah, yang berusaha mencapai Eropa.

"Kami melihat bagaimana beberapa nyawa dihargai dan beberapa nyawa yang lain tidak," Judith Sunderland, penjabat wakil direktur untuk Eropa di kelompok Human Rights Watch, mengatakan dalam sebuah wawancara. Dan dalam melihat perlakuan terhadap migran, dia menambahkan, "Kita tidak bisa menghindari pembicaraan tentang rasisme dan xenofobia."

Dalam sebuah forum di Athena, Yunani, mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan, "fakta bahwa itu (kapal selam Titan) mendapat perhatian melebihi dari 700 orang (imigran) yang tenggelam, itu adalah situasi yang sangat tidak patut."

Sunderland menambahkan, "Tidak ada yang salah untuk melakukan segala upaya untuk menyelamatkan mereka (Titan). Yang aneh, tidak ada upaya serupa untuk menyelamatkan orang-orang kulit hitam dan coklat yang tenggelam di Mediterania. Sebaliknya, negara-negara Eropa melakukan segala yang mereka bisa untuk menghindari penyelamatan."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Faktor Lain yang Membuat Para Imigran yang Tenggelam Terabaikan

Status dan ras tidak diragukan lagi memainkan peran dalam bagaimana dunia menanggapi bencana, tetapi ada faktor-faktor lain juga.

Kisah-kisah upaya penyelamatan lain telah diikuti secara rinci oleh jutaan orang, bahkan ketika korban tidak kaya atau berkulit putih. Yang paling kentara, penyelamatan anak-anak tim sepakbola yang terjebak di dalam gua banjir di Thailand pada tahun 2018. Penderitaan mereka, seperti halnya penumpang kapal selam, membawa ketegangan berhari-hari.

Namun, insiden di perairan Yunani meninggalkan kesan janggal yang sangat santer. Hanya sedikit orang yang tahu tentang para migran sampai mereka meninggal. Yunani juga dituduh mengabaikan saran untuk memantau kondisi kapal sebelum itu berakhir celaka.

Menurut studi, orang menunjukkan lebih banyak belas kasih kepada korban individu yang dapat dilihat dengan detail yang jelas daripada massa orang yang tampaknya tidak berwajah.

Bertahun-tahun bencana kapal migran dengan korban yang tak terhitung jumlahnya tak banyak menarik perhatian ketimbang tragedi Titan yang korbannya jauh lebih sedikit namun sensasional. Pakar menyebutnya "kelelahan belas kasih." Kemauan politik untuk membantu peristiwa berulang seperti di Yunani, juga telah berkurang, bahkan terkesan diabaikan.

Tetapi, perbedaan keprihatinan yang nyata menunjukkan "adanya perlakuan yang tidak setara" kata Laleh Khalili, seorang profesor yang telah mengajar tentang politik internasional dan Timur Tengah di Inggris. Perbedaan itu, berbasis pada status ekonomi.

 

Orang-orang biasa, mereka yang ada di media sosial, mengatakan mereka tidak bisa mengumpulkan kekhawatiran tentang nasib orang-orang di kapal selam yang mampu membayar $ 250.000 masing-masing untuk sensasi. Ungkapan "rasakan itu, orang kaya" berkembang secara online.

Jessica Gall Myrick, seorang profesor komunikasi di Pennsylvania State University mengatakan, "Itu mencerminkan meningkatnya kemarahan dalam beberapa tahun terakhir pada ketidaksetaraan ekonomi, pada orang kaya itu sendiri dan pada perasaan yang berkembang bahwa ekonomi hanya bekerja untuk mereka yang berada di puncak."

 

Bagi para pembela hak asasi manusia, kemarahan mereka tidak ditujukan pada orang kaya tetapi pada pemerintah Eropa yang hati-nya terhadap migran telah membatu. Eropa tak sekedar abai membantu mereka yang bermasalah di laut, namun juga secara aktif menolak mereka, dan bahkan memperlakukan warga negara sendiri yang mencoba menyelamatkan migran sebagai penjahat.

Jurang antara dua tragedi itu terutama dicatat di Pakistan. Negara itu merupakan rumah bagi banyak dari mereka yang meninggal di kapal imigran; dan Shahzada Dawood, taipan di atas kapal Titan. Ini menyoroti kesenjangan ekstrem Pakistan antara jutaan orang yang hidup dalam kemiskinan dan orang ultrakaya, dan kegagalan banyak pemerintah selama bertahun-tahun untuk mengatasi pengangguran, inflasi dan kesengsaraan ekonomi lainnya.

"Tidak ada yang peduli dengan beberapa ratus orang" yang tenggelam di Mediterania, kata Arshad Khan, seorang mahasiswa ilmu politik di Universitas Karachi. "Tapi," tambahnya, "Amerika Serikat, Inggris dan semua kekuatan global sibuk menemukan pengusaha miliarder yang menghabiskan miliaran rupee untuk melihat puing-puing Titanic di laut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.