Sukses

PM Israel Benjamin Netanyahu Kaget Dikecam Negara-Negara Arab

Kunjungan kontroversial menteri Israel ke Al-Aqsa memberikan dampak ke ranah diplomatik.

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu batal berkunjung ke Uni Emirat Arab. Pembatalan ini terjadi setelah muncul protes berbagai negara terkait kunjungan Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir ke Al Aqsa.

Kunjungan Ben-Gvir disebut provokatif. Sejumlah negara yang protes termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, hingga Yordania.

Dilaporkan Arab News, Jumat (6/1/2023), PM Benjamin Netanyahu disebut kaget atas reaksi keras dari negara-negara Arab atas kunjungan Ben-Gvir.

Sebuah pernyataan juga telah dirilis oleh Netanyahu bahwa ia menghormati status quo di Al Aqsa dan tak berniat mengubahnya.

Di tengah kontroversi ini, Netanyahu batal berkunjung ke Uni Emirat Arab pada 8 Januari 2023 mendatang. Namun, ada kemungkinan Netanyahu akan tetap datang ke UEA, meski tanggalnya masih menunggu dari pihak UEA.

Uni Emirat Arab juga diketahui minta Dewan Keamanan PBB untuk menggelar pertemuan untuk membahas tindakan Israel. Republik Rakyat China mendukung langkah tersebut.

Akademisi dari Universitas Hebrew di Yerusalem, Ronni Shaked, menyebut PM Benjamin Netanyahu tidak bersikap sensitif terhadap isu Al-Aqsa bagi warga Arab dan Muslim. 

Shaked berkata bahwa PM Netanyahu memang kaget dengan reaksi-reaksi dari negara Arab, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Aksi Ben-Gvir dinilai bisa memperpendek usia pemerintahan Netanyahu. 

Namun, Netanyahu tetap dinilai bersalah karena mengizinkan Ben-Gvir pergi ke Al-Aqsa.

"Masalahnya bukan Ben-Gvir, yang dikenal karena ide-idenya yang ekstrimis, tetapi sosok yang memberikannya izin untuk mengunjungi Al Aqsa, yakni Netanyahu," jelas Shaked.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Setelah Dipenjara 40 Tahun Akibat Membunuh Tentara Israel, Karim Younis Akhirnya Bebas

Sebelumnya dilaporkan, salah satu tahanan Palestina terlama di Israel, Karim Younis, dibebaskan pada Kamis (5/1/2023). Pria berusia 66 tahun itu dibebaskan setelah dipenjara selama 40 tahun karena menculik dan membunuh seorang tentara Israel.

Karim Younis disambut oleh ratusan pendukungnya saat tiba di kampung halamannya di utara Desa Ara.

"40 tahun yang penuh dengan cerita... Saya sangat bangga menjadi salah satu yang berkorban untuk Palestina dan kami siap berkorban lebih banyak demi kepentingan Palestina," ungkap Karim Younis seperti dikutip dari VOA.

Karim Younis dibui karena membunuh tentara Israel bernama Avraham Bromberg di Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel pada tahun 1983.

Sementara sebagian besar tahanan Palestina di penjara-penjara Israel berasal dari Tepi Barat yang diduduki, fakta berbeda ada pada Karim Younis. Ia merupakan Palestina yang berkewarganegaraan Israel.

Menjelang pembebasan Karim Younis, Menteri Dalam Negeri Israel Aryeh Deri mengatakan bahwa kewarganegaraan Karim Younis harus dicabut, langkah yang disebutnya akan menjadi "pesan penting bagi mereka yang telah menjadi simbol aksi teroris".

3 dari 4 halaman

Tak Boleh Dirayakan

Sebelum pembebasan Karim Younis, intelijen militer Israel mengunjungi keluarganya dan meminta mereka untuk tidak merayakan apapun. Namun, pihak keluarga dan penduduk Desa Ara dilaporkan mengabaikan instruksi tersebut.

Karim Younis mengisahkan bahwa petugas datang ke selnya pada dini hari dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan dibebaskan.

"Saya ingin mandi dan bersiap-siap, tetapi mereka mencegah saya," katanya seperti dikutip dari Al Jazeera.

Setelah dibebaskan, Karim Younis mengunjungi makam ibunya yang meninggal delapan bulan lalu. Foto-foto dirinya di makam sang ibu banyak dibagikan oleh media lokal dan internasional.

Saat ini terdapat sekitar 4.700 tahanan Palestina di penjara-penjara Israel, termasuk di antaranya 150 anak-anak dan 835 orang yang ditahan tanpa pengadilan atau dakwaan.

4 dari 4 halaman

Tahun 2022 yang Kelam

Data Middle East Eye mengungkapkan bahwa tahun 2022 mencatatkan jumlah tertinggi pembunuhan warga Palestina oleh pasukan Israel sejak Intifadah II. Sedikitnya 220 orang dilaporkan tewas, termasuk di antaranya 48 anak-anak.

Meningkatnya kekerasan oleh pasukan Israel telah memicu kekhawatiran dari komunitas internasional. Pada awal Desember 2022, para ahli PBB telah mengutuk Israel atas rekor kekerasan tersebut sekaligus memperingatkan pada tahun 2023 bukan tidak mungkin jumlah korban akan bertambah.

"Kecuali pasukan Israel meninggalkan pola pikir pemukim yang dominan dan memperlakukan warga Palestina di wilayah pendudukan sebagai orang yang dilindungi, catatan buruk Israel di Tepi Barat yang diduduki kemungkinan akan semakin memburuk pada tahun 2023," ungkap para ahli PBB.

Analisis Middle East Eye menyebutkan bahwa mayoritas warga Palestina kemungkinan besar tidak bersenjata saat dibunuh. Dalam 95 kasus, warga Palestina ditembak oleh tentara Israel selama penggerebekan atau saat berpartisipasi dalam demonstrasi antipendudukan.

Militer Israel, yang jarang menyelidiki pembunuhan warga Palestina oleh pasukannya, menuai kritik keras dari kelompok hak asasi manusia (HAM) atas kebijakan "menembak untuk membunuh" bahkan saat warga Palestina tidak menimbulkan bahaya bagi mereka.

Laporan baru-baru ini oleh kelompok HAM Israel, Yesh Din, mengungkapkan bahwa kurang dari satu persen tentara Israel yang melukai warga Palestina pada rentang 2017-2021 pernah didakwa melakukan kejahatan.

"Otoritas penegak hukum militer secara sistematis menghindari penyelidikan dan penuntutan tentara yang merugikan warga Palestina," kata kelompok itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.