Sukses

Ultimatum NATO: Ada Konsekuensi Berat Jika Rusia Gunakan Nuklir di Ukraina

Pemimpin NATO ikut memberikan ultimatum jika Rusia memakai senjata nuklir.

Liputan6.com, Brussels - Sekjen NATO Jens Stoltenberg memberikan ultimatum kepada Rusia agar tidak sembarangan memakai senjata nuklir. Stoltenberg turut memastikan adanya konsekuensi bila Rusia benar-benar memakai nuklir di Ukraina. 

Peringatan tegas itu diberikan Stoltenberg pada konferensi pers, Kamis (13/10).

"Retorika nuklir Rusia adalah hal yang berbahaya dan gegabah. Dan mereka tahu jika mereka memakai nuklir terhadap ukraina, maka akan ada konsekuensi berat," ujar Sekjen NATO Jens Stoltenberg pada wawancara yang disiarkan C-SPAN.

Jens Stoltenberg turut menyatakan bahwa kecil kemungkinan NATO akan menggunakan senjata nuklir. NATO hanya menggunakan nuklir untuk deterrent demi menjaga aliansi. Ia memberi implikasi bahwa keadaan saat ini tidak mendorong NATO untuk menggunakan senjata nuklir..

"Keadaan-keadan yang bisa membuat NATO harus menggunakan senjata nuklir sangatlah jauh," ujar Stoltenberg.

Stoltenberg juga menyebut bahwa Rusia paham bahwa "perang nuklir tak akan bisa dimenangkan". Hal itu serupa seperti kandungan pernyataan bersama lima negara pemilik senjata nuklir pada Januari 2022.

Pada pernyataan itu, Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Inggris, Prancis, dan Rusia sepakat bahwa perang nuklir tak boleh terjadi serta tak akan bisa dimenangkan. Presiden Vladimir Putin juga ikut sepakat dengan pernyataan tersebut sebelum menginvasi Ukraina.

Kelima negara itu sepakat bahwa senjata nuklir yang masih ada hanya untuk tujuan pertahanan, menghalangi agresi, dan mencegah perang. Mereka juga berkomitmen untuk memperkuat keamanan nasional agar nuklir tidak digunakan, serta mencegah penyebaran senjata-senjata nuklir.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ancaman Serius Perang Nuklir Rusia Vs Ukraina, Indonesia Harus Siaga

Ancaman senjata nuklir semakin terdengar dari Rusia. Negara-negara G7 pun telah memperingatkan Rusia agar tidak mengambil langkah yang bisa memicu perang nuklir tersebut. 

"Kami menegaskan bahwa penggunaan senjata-senjata kimia, biologis, atau nuklir oleh Rusia akan menghadapi konsekuensi-konsekuensi keras," tulis pernyataan bersama G7. 

Lokasi Rusia dan Ukraina memang jauh dari Indonesia, namun pakar hubungan internasional mengingatkan agar Indonesia tidak lengah, sebab tak ada yang bisa memprediksi di mana jatuhnya bom nuklir tersebut.

Pakar hubungan internasional dan pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja juga menilai ancaman nuklir Presiden Rusia Vladimir Putin tidak gertak sambal. Ukraina pun sudah menyadari hal tersebut.

"Rusia serius. Sanksi untuk Rusia dari kubu Eropa dan AS pada Rusia juga serius. Ukraina juga serius mendorong-dorong terus agar kubu Eropa & AS mau all-out melakukan pre-emptive strike atas Rusia, artinya Ukraina meminta Eropa & AS untuk segera menyerang Rusia agar hilanglah potensi serangan nuklir dari Rusia. Ini mengerikan karena artinya Ukraina membuka undangan untuk menggunakan serangan nuklir," ujar Dinna Prapto Raharja kepada Liputan6.com, Kamis (13/10). 

Dinna menilai kondisi Eropa kini sedang galau sebab secara geografis posisi mereka masih terancam, namun pihak pemimpin Eropa masih belum mengendurkan ketegangan. 

Pada Kamis sore ini, ada juga tweet baru dari Presiden Prancis Emmanuel Macron yang berkata tidak ingin terjadi Perang Dunia, dan meminta Rusia pergi dari Ukraina.

"Kami tidak ingin Perang Dunia. Kami membantu Ukraina untuk melawan di tanah airnya, tak pernah menyerang Rusia. Vladimir Putin harus menghentikan perang ini dan menghormati integritas wilayah Ukraina," tulis Presiden Macron via Twitter.

3 dari 4 halaman

Bahas di G20

Lebih lanjut, Dinna berkata Indonesia juga harus waspada. Jarak yang jauh dari pusat perang tidak menjadi jaminan akan aman dari nuklir. 

Dampak perang nuklir pada era sekarang diprediksi lebih fatal ketimbang Perang Dunia II. 

"Bahaya perang nuklir di era ini: belum tentu menyerang hanya satu titik di satu wilayah, tidak ada jaminan hanya akan terjadi di Eropa. Selain itu ketika pecah perang nuklir, kegiatan ekonomi global akan terhenti. Ini sama mematikannya buat banyak orang, khususnya di negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia," jelas Dinna. 

"Kalau sampai perang nuklir ya mengerikan. Pasti korbannya sangat banyak karena jumlah penduduk dunia saat ini lebih banyak daripada saat PD II dan kita tidak pernah tahu lokasi serangan di mana," ia menambahkan.

Menurut situs atomic archive, total korban jiwa dari bom atom di Hiroshima mencapai 66 ribu, sementara 39 ribu orang tewas di Nagasaki.

Menjelang KTT G20 di Bali, duta besar Rusia dan Ukraina di Indonesia sama-sama ragu bisa ada perdamaian di forum tersebut. Meski demikian, Dinna Prapto Raharja mendukung apabila isu nuklir dibahas di G20.

"Bahaya perang nuklir yang makin nyata harus dibahas di G20," pungkasnya.

4 dari 4 halaman

Menlu Retno Terus Tekankan Kerja Sama

 KTT G20 yang diselenggarakan di Indonesia pada November mendatang, diakui oleh Menlu Retno bertepatan dengan banyaknya momen krisis dunia. 

Menlu Retno mengatakan bahwa presidensi Indonesia di G20 tahun ini merupakan presidensi yang paling sulit di mana dunia sedang menghadapi multiple crisis. Hal ini disebabkan oleh sejumlah masalah seperti pandemi yang belum tuntas, perang di Ukraina, tensi geopolitik menajam, dan juga terjadinya krisis pangan, energi, dan keuangan.

"Dalam kondisi yang extraordinary tingkat kesulitannya ini, maka dalam pembahasan diperlukan inovasi atau cara-cara baru agar pembahasan tidak terhenti," ujar Menlu Retno dalam press briefieng di Kementerian Luar Negeri, Kamis (13/10).

Ia juga mengatakan bahwa proses negosiasinya tentu akan lebih sulit dari biasanya. 

"Sudah akan pasti diskusi dalam KTT, sebagaimana terjadi pada pertemuan G20 tingkat menteri dan bahkan pertemuan multilateral lain, akan penuh dinamika. Itu sudah pasti akan terjadi," paparnya.

"Dalam kondisi normal saja, negosiasi di G20 tidak pernah mudah, apalagi dalam kondisi saat ini di mana posisi negara benar-benar terdapat gap yang cukup lebar antara satu posisi dengan posisi yang lain. Sehingga dapat dibayangkan tingkat kesulitan saat ini seperti apa. Itu adalah faktanya," jelas Menlu Retno lagi. 

Meski demikian, ia terus mendorong adanya kerja sama dan mengantisipasi perbedaan yang memecah belah. 

"Saya sekali lagi ingin menyampaikan, perbedaan dan rivalitas merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam hubungan antar negara. It is inevitable," kata Menlu Retno. 

"Diperlukan wisdom dan tanggung jawab agar perbedaan dan rivalitas itu tidak menghancurkan bangunan-bangunan kerja sama yang bermanfaat bagi umat manusia. Jangan sampai perbedaan dan rivalitas menghancurkan dunia dan umat manusia," tegasnya kemudian. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.