Sukses

Krisis Pangan, Kim Jong-un Ancam Hukum Warga Korut yang Buang Makanan

Korea Utara baru-baru ini mengalami bencana banjir, hal itu menyebabkan hasil pertanian gagal dan negara mengalami kekurangan pangan. Kim Jong-un mengancam warganya yang membuang makanan.

Liputan6.com, Pyongyang - [Kim Jong-un ](4400844 "" ) mengancam warga Korea Utara dengan hukuman jika mereka menyia-nyiakan makanan, karena negara itu sedang berjuang untuk memberi makan penduduknya setelah banjir tahun ini.

Sebuah arahan baru dari Kim Jong-un melalui Komite Sentral Partai Buruh Korut mengatakan bahwa 'Hukuman Keras' menanti mereka yang gagal melindungi ekonomi sosialis dan kesejahteraan rekan-rekan mereka dengan membuang-buang makanan.

Dikutip dari Daily Mail, Kamis (12/11/2020), hal ini dilakukan setelah adanya tiga topan berturut-turut pada Agustus dan September yang menghancurkan lahan pertanian dan tanaman. Di saat yang sama negara tengah terdampak ekonomi dari krisis COVID-19 dan sanksi ekonomi.

"Pada awal bulan ini, Komite Sentral memerintahkan penduduk untuk secara aktif berpartisipasi dalam menyelesaikan krisis pangan tahun ini sebagai bagian dari perjuangan penghematan pangan," imbuh seorang sumber kepada Radio Free Asia, sebuah media yang disponsori pemerintah AS.

Perintah itu menekankan bahwa perjuangan tidak hanya menyelesaikan masalah bagaimana rakyat akan makan. Namun, ini juga adalah masalah dalam melindungi sistem sosialis. Kim Jong-un juga memperingatkan bahwa pihak berwenang akan meningkatkan tindakan keras dan hukuman atas tindakan apa pun yang terkait dengan limbah makanan. 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Korea Utara sedang Berjuang untuk Mencukupi Kebutuhan Pangan

Sumber pertama menyebutkan bahwa Provinsi Hamgyong Utara melaporkan ada penurunan yang signifikan dalam produksi grain atau biji padi-padian, bahkan di tahun biasa pun Korea Utara berjuang untuk mencukupi panen guna memberikan makan rakyat.

Sejak Januari, semua perdagangan dengan dunia luar dihentikan karena pandemi, termasuk perbatasan darat di utara dengan China. Hal itu dapat dilihat ketika warga korut melihat perayaan Tahun Baru yang biasanya dirayakan dengan melimpahnya makanan di meja makan keluarga.

Komite Sentral telah memerintahkan untuk tidak mengatur meja upacara dengan makanan yang terbuat dari biji-bijian. Pemerintah Kim menyarankan hanya buah dan sayuran yang harus disajikan, sementara para tamu hanya boleh diberi mie, kue beras dan roti.

Sumber kedua, dari pedesaan Provinsi Ryanggang, mengatakan bahwa para pengawas ditempatkan di jalan di luar pusat kota untuk memeriksa mobil yang lewat, gerobak dan bahkan barang bawaan yang dibawa di punggung orang. Hal itu dilakukan untuk memastikan mereka tidak mengangkut grain.

3 dari 3 halaman

Harga Bahan Pangan Meningkat dan Mengancam Daya Beli Penduduk

Harga makanan di pasar meningkat karena grain atau biji padi-padian dilarang dan hal ini mengancam penduduk.

Pada bulan Mei, para ahli memperkirakan bahwa Korea Utara mengalami kekurangan pangan sekitar 860.000 ton dari 5,5 juta yang dibutuhkan untuk memberi makan rakyatnya. Perkiraan itu dibuat sebelum terjadinya banjir yang diyakini telah menghancurkan 200.000 ton tanaman.

Sumber pemerintah Korea Selatan mengatakan kepada surat kabar Jepang The Asahi Shimbun bahwa China telah menyumbangkan antara 500.000 dan 600.000 ton makanan bersama dengan pupuk tahun ini. Mereka juga mengirim 600.000 ton jagung dan biji-bijian lainnya antara Juni dan Agustus.

sebagai informasi, kelaparan adalah ancaman konstan di negara terpencil yang mengalami periode kelaparan massal di tahun 1990-an yang secara resmi dikenang sebagai 'The Arduous March'.

Krisis ekonomi umum dari tahun 1994 hingga 1998 yang diakibatkan oleh penarikan dukungan Soviet diperparah oleh banjir dan kekeringan. Diperkirakan dari 22 juta penduduknya sebanyak 3,5 juta warga Korea Utara meninggal karena kelaparan, yang memuncak pada tahun 1997.

Tahun itu, menteri pertanian negara itu, So Kwan-hui, dituduh memata-matai Washington dan menyabotase pertanian negara itu. Dia dieksekusi oleh regu tembak. Pada 2011, sebuah laporan AS menyatakan bahwa kematian berlebih dari 1993 hingga 2000 adalah antara 500.000 dan 600.000 jiwa. Perkiraan lain mengatakan bahwa 240.000 orang meninggal akibat 'The Arduous March'.

 

Reporter: Ruben Irwandi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.