Sukses

Rencana Selandia Baru Tarik Senjata Api Diprediksi Telan Biaya Rp 2,8 Triliun

Rencana penarikan senjata api di Selandia Baru diprediksi menelan biaya hingga Rp 2,8 triliun.

Liputan6.com, Wellington - Pemerintah Selandia Baru merencanakan pembelian kembali senjata api semi-otomatis pasca-teror penembakan di Christchurch, yang menewaskan 50 orang.

Rencana tersebut diprediksi menelan biaya hingga NZ$ 300 juta (setara Rp 2,8 triliun) kata wakil perdana menteri Winston Peters, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (2/4/2019).

Perdana Menteri Jacinda Ardern sebelumnya mengatakan bahwa skema itu akan menelan biaya antara 100 juta dolar Selandia Baru hingga 200 juta dolar Selandia Baru, tetapi Peters mengatakan kepada Radio NZ pada hari Selasa bahwa lebih baik untuk "bersiap menghadapi yang terburuk".

"Bisa jadi biayanya mencapai 300 juta dolar Selandia Baru untuk mengatur apa yang salah, bukan begitu?" katanya.

Peters mengatakan hal itu ketika menteri kepolisian Stuart Nash memperkenalkan perubahan aturan kepemilikan senjata api yang diusulkan ke parlemen pada Senin malam, untuk kemudian diperdebatkan pada hari Selasa.

"Memiliki senjata api adalah hak istimewa, bukan hak publik di negara ini," kata Nash kepada anggota parlemen.

Termasuk dalam langkah-langkah yang diusulkan tersebut adalah tenggat waktu September bagi warga Selandia Baru yang memiliki senjata api ilegal, untuk segera mengembalikannya kepada polisi.

Pemerintah akan memperkenalkan undang-undang yang melarang sebagian besar senapan semi-otomatis pada akhir pekan depan, empat minggu sejak seorang teroris melepaskan tembakan di Masjid Al Noor dan Linwood City Mosque, keduanya berada di Christchurch.

Undang-undang tersebut mencakup hukuman sebagai berikut:

  • Penjara dua tahun jika kedapatan menjual atau memiliki bagian senjata api yang terlarang.
  • Penjara lima tahun karena memiliki senjata terlarang secara utuh.
  • Penjara hingga tujuh tahun karena menunjukkan senjata terlarang pada orang lain.

"Serangan itu memperlihatkan kelemahan yang cukup besar dalam hukum kita. Senjata api, majalah terkait, dan bagian-bagian yang digunakan oleh teroris dibeli secara sah dan dimodifikasi menjadi MSSA (senjata semi-otomatis gaya militer) karena celah hukum," kata Nash.

Dia mengatakan penyalahgunaan senjata semi-otomatis "telah meninggalkan warisan nasional terhadap bahaya, kesakitan dan kesedihan".

Setelah Selasa, publik Selandia Baru akan memiliki waktu satu minggu untuk menyampaikan masukan terhadap RUU terkait hingga disahkan pada akhir pekan depan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Senjata yang Dirancang untuk Membunuh Orang

RUU yang diusulkan akan melarang senapan semi-otomatis standar dan semi-otomatis gaya militer, namun dengan pengecualian terhadap beberapa senjata api kecil, seperti senapan kaliber 22 dan senapan yang hanya menampung maksimal lima butir peluru.

Kebijakan itu juga akan melarang jual beli bagian senjata yang bisa mengubah senapan menjadi lebih bertenaga. Tidak ketinggalan, aturan terkait juga memuat skema pembelian kembali senjata dari masyarakat Selandia Baru.

Nash mengatakan, mereka yang bergegas membeli senjata ketika PM Ardern mengumumkan undang-undang baru itu sebagai golongan masyarakat yang "bodoh".

"Jika Anda cukup bodoh untuk membeli (senjata) setelah undang-undang terkait direncanakan, maka Anda tidak akan diberi kompensasi untuk itu," katanya, menambahkan bahwa penarikan dilakukan tanpa pandang bulu.

Nash membantah tudingan bahwa pemerintah bergerak terlalu cepat, dengan mengatakan: "Semua orang yang saya ajak bicara, baik mereka pemburu, petani, dan lain-lain, mengatakan Anda tidak memerlukan senjata semi-otomatis gaya militer, atau senjata serbu ... Ini adalah senjata yang dirancang untuk membunuh orang."

Di lain pihak, wakil PM Peters mengatakan bahwa langkah selanjutnya dalam pelaksanaan RUU itu, termasuk memantau penjualan online terkait dan mendata daftar senjata yang beredar. Semuanya diperkirakan selesai pada akhir 2019.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.