Sukses

Kisah Interaksi Damai Pertama Sekaligus Terakhir dengan Suku Misterius di Pulau Sentinel Utara

Ini kisah tentang interaksi damai pertama dan terakhir antara manusia modern dengan suku misterius di Pulau Sentinel Utara.

Liputan6.com, New Delhi - Hampir selama 20 tahun, upaya menjalin koneksi dengan suku misterius di Pulau Sentinel Utara tidak pernah berhasil dilakukan. Namun, pengecualian untuk momen yang terjadi pada 4 Januari 1991, ketika untuk pertama kali --sekaligus terakhir-- tim ekspedisi dari dari India berhasil berinteraksi dengan beberapa orang dari komunitas paling tertutup di dunia itu.

Triloknath Pandit, seorang antroplog terkemuka asal India memberanikan diri bersama timnya untuk mendekati Pulau Sentinel Utara, dengan membawa beberapa "perlengkapan hadiah" berupa beberapa hasil Bumi, yang kemungkinan bisa dijadikan daya tawar untuk berbicara dengan suku misterius di sana.

Dikutip dari Atlasandboots.com pada Jumat (23/11/2018), benda-benda tersebut dibawa berdasarkan hasil telaah bersama tentang catatan sejarah interaksi antara penjelajah Barat dengan masyarakat di Dunia Baru.

Telaah tersebut dilakukan bersama dengan beberapa ahli terkait bersama timnya serta perwakilan pemerintah India.

Dana ekspedisi diambil sebagian dari tabungan pribadi TN Pandit --nama pena sang ilmuwan-- serta gabungan dari bantuan pemerintah dan beberapa sponsor.

Dalam sebuah wawancara setelah ekspedisi berakhir, Pandit berujar: "Mereka secara sukarela maju untuk menemui kami, dan itu tidak bisa dipercaya. Mereka harus mengambil keputusan bahwa waktunya telah tiba. Itu tidak mungkin terjadi secara mendadak."

"Ada perasaan sedih juga, saya merasakannya. Dan muncul perasaan bahwa pada skala yang lebih besar dari sejarah manusia, orang-orang ini yang bertahan dengan caranya sendiri, pada akhirnya harus menyerah. Ini seperti suatu era dalam sejarah hilang," lanjutnya seraya menyebut pengalaman itu sebagai hal yang pahit.

Pandhit meceritakan bahwa selama timnya merekam video momen bersejarah itu, dirinya berada sangat dekat dengan orang-orang yang berjalan dengan ragu ke arah kapal.

"Dengan perasaan was-was, mereka masuk ke air pantai, berjalan pelan untuk mengambil barang-barang yang kami lemparkan. Kami semua terus menunjukkan wajah antusias, dan beberapa tim saya mencoba mencairkan suasana dengan menari-nari dan bergumam tidak jelas. Mereka tampaknya tertarik. Panah mereka diturunkan, tidak lagi mengarah pada kami," ceritanya panjang lebar.

Dokumentasi rapi yang dimiliki oleh Pandhit berhasil memukau publik dunia, yang menyebutnya sebagai salah satu pencapaian terbaik dalam ilmu antropologi.

Atas hal tersebut pula, pada September 1991, pemerintah India menambahkan zona eksklusif sejauh lima kilometer di sekitar Pulau Sentinel Utara, yang merupakan amandemen ketentuan Perlindungan Suku Aborigin di Andaman dan Nikobar (ANPATR) terbitan tahun 1956.

Pembentukan zona ini dianggap sebagai cara proaktif untuk mencegah nelayan, pemburu dan wisatawan dari mengunjungi pulau itu, meski beberapa ahli tetap skeptis.

Beberapa tokoh pemerhati lingkungan, termasuk para ahli antropologi seperti Pandit, menyebut amandemen tersebut hanya terlihat fantastis di permukaan. Mereka menuding bahwa bisa saja pengecualian terjadi oleh lembaga pemerintah, ataupun mereka yang memiliki kekuatan tertentu untuk menedesak kehidupan asli setempat.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Belajar dari Pengalaman Kelam Suku Jarawa

Bisa dikatakan, tidak ada lagi yang bisa berinteraksi lebih dekat dengan penduduk asli Pulau Setinel Utara selain TN Pandit. Beberapa ekspedisi yang dilakukan setelahnya selalu berujung pada serangan yang dilakukan oleh kelompok primitif setempat.

Hal itu, juga bersama desakan dari dunia internasional terhadap pelestarian suku aborigin, membuat pemerintah India menghentikan izin kunjungan ke Sentinel Utara, sejak 1996.

Larangan tersebut juga menyusul temuan fatal terhadap penerimaan pengaruh modern oleh Suku Jarawa, dalam ekspedisi serupa beberapa tahun sebelumnya.

Suku primitif di selatan Kepulauan Andaman itu mulai terbuka terhadap kedatangan orang asing sejak pertengahan 1980-an, meski belum bisa dipahami betul tentang cara komunikasinya.

Sejak kontak yang kian intensif dengan manusia modern pada awal 1990-an, beberapa masalah mulai muncul di komunitas Jarawa. Epidemi campak adalah hal yang paling meresahkan kala itu, di mana menurut beberapa ahli merupakan penularan virus yang baru di sana.

Lebih memilukannya lagi, beberapa orang Jarawa juga mendapat pengaruh buruk dari alkoholisme dan eksploitasi seksual.

Saat ini, komunitas Jarawa yang berjumlah sekitar 250-an jiwa masih tetap memegang sebagian besar gaya hidup primitif, di tengah beberapa pengaruh modern yang masuk. Mereka pun tidak lagi sepenuhnya tertutup, dan berkenan untuk menerima kunjungan orang asing, meski dengan penagwasan ketat.

Namun, dunia internasional ingin agar pengalaman buruk yang menimpa Suku Jarawa tidak terulang pada komunitas primitif lainnya. Atas desakan banyak pihak, pemerintah India pun menetapkan larangan keras untuk berkunjung ke pulau-pulau primitif, demi menjaga keasliannya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.