Sukses

6 Alternatif Penanganan Jenazah yang Ramah Lingkungan

Ada beberapa praktik penguburan tradisional yang meninggalkan tapak karbon dalam ukuran besar, sehingga kurang baik bagi lingkungan.

Liputan6.com, London - Selama ini, ketika seseorang meninggal dunia, cara penanganan jasad kerabat yang meninggal tidak selalu ramah lingkungan.

Tubuh yang meluruh dalam peti mati atau tanah dapat menghasilkan gas metan dalam jumlah besar, padahal gas itu termasuk dalam gas rumah kaca (greenhouse gas, GHG) yang berbahaya.

Dalam beberapa kebiasaan, formaldehida -- dikenal luas sebagai formalin -- dipergunakan untuk mengawetkan jenasah untuk sementara waktu. Jelaslah ini bukan praktik penguburan yang berkelanjutan bagi Bumi.

Dikutip dari Business Insider pada Senin (31/10/2016) pagi, sebenarnya ada beberapa cara untuk mengenang kerabat yang meninggal dalam cara yang tidak terlalu membahayakan bagi planet ini:

1. Mengubah jasad menjadi tanaman

(Sumber Facebook/Capsula Mundi)

Anna Citelli and Raoul Bretzel, dua perancang dari Italia, mengembangkan suatu praktik pemakaman berkelanjutan bagi Bumi. Dengan cara mereka, jasad manusia dijadikan makanan bagi pohon.

Menggunakan Capsula Mundi, jasad manusia dikubur dalam posisi seperti janin dalam cangkang berbentuk telur yang akan terdegradasi secara biologis.

Saat cangkang berisi jasad dimasukkan dalam tanah, di atasnya akan ditaruh benih pohon. Tujuannya, ketika cangkang mulai meluruh, jasad itu menjadi mineral yang memberi makan kepada tanaman.

Bretzel dan Mundi berharap agar cara mereka dapat mengubah TPU menjadi "hutan suci".

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

2. Es Kering

(Sumber Flickr/Christopher)

Secara tradisional, para keluarga kerap mengawetkan jenazah orang terkasih dengan cara pembalseman agar proses peluruhan tidak segera berlangsung.

Pengawetan itu biasanya dilakukan menggunakan formaldehida -- dikenal luas sebagai formalin --suatu zat penyebab kanker. Tentunya kanker itu berdampak bukan kepada jenazahnya, tapi kepada petugas.

Sekarang ini sudah ada beberapa pihak yang menggunakan es kering, yaitu karbon dioksida beku. Dengan demikian, jenasah terawetkan lebih lama, walaupun es kering harus diganti setiap hari.

Karbon dioksida memang termasuk GHG, tapi jumlah gas yang dihasilkan terkait cara pengawetan ini cukup kecil dibandingkan keseluruhan emisi CO2.

3 dari 6 halaman

3. Rak Diubah Jadi Peti Mati

 

(Sumber William Warren)

William Warren mencetuskan gagasan untuk membuat perabot rumah tangga yang nantinya dapat diubah bentuk menjadi peti mati ketika kematian tiba.

Dengan demikian, penggunaan kayu berlangsung lebih lama, lagipula, seperti dalam situs web miliknya, "warna kayu akan menguat, permukaan akan matang selama beberapa tahun, dan perabot itu akan menjadi bagian diri seseorang."

Warren merancang lemari dan pertama kali memamerkannya dalam London Design Festival 2005. Seseorang yang tertarik dapat menanyakan langsung tentang pembuatan perabot sendiri.

Bukan hanya itu, keren juga bercerita kepada tamu ke rumah tentang keberadaan peti mati dalam ruangan.

4 dari 6 halaman

4. Hindari Batu Nisan

 

(Sumber Flickr/Sam Felder)

Jika tetap bersikukuh pada pemakaman tradisional, pastikan memakai cara alamiah untuk menandai kuburan sebagai cara yang baik demi keberlanjutan (sustainability).

Batu nisan dan mausoleum dibuat dari batu dan memerlukan banyak energi untuk membuatnya.

Pilihlah sebatang pohon atau batu belum diproses sebagai penanda agar meninggalkan kehidupan ini dengan tapak karbon yang lebih rendah.

5 dari 6 halaman

5. Melarutkan Jasad

Jasad yang dikremasi sepertinya menjadi cara terbaik untuk penguburan berkelanjutan, tapi, dalam banyak kasus, cara itu tidak ramah bagi lingkungan.

Sebagai contoh, di Inggris, kremasi turut andil dalam polusi merkuri, hingga angka 16 persen. Lagipula, seperti laporan The Atlantic, perlu bahan bakar setara 2 tangki SUV untuk kremasi satu jasad.

Sekarang ini, orang sudah mulai melongok 'kremasi hijau' yang dilakukan melalui hidrolisis alkalin.

Proses ini meluruhkan jenasah menjadi cairan, tapi akhirnya tubuh masih bisa dijadikan debu, walau dengan energi yang jauh lebih sedikit.

6 dari 6 halaman

6. Perhiasan dari Jasad Manusia

(Sumber Jessica Giacobbe)

Tidak tertarik dengan pemakaman berkelanjutan, tapi masih ingin meninggalkan kehidupan sambil meninggalkan kenang-kenangan? Ubahlah abu jenasah menjadi perhiasan.

Misalnya menjadi kalung kaca dari Grateful Glass yang memungkinkan abu jenasah kerabat yang dicintai diubah menjadi sesuatu yang indah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini