Sukses

Kelambanan Penghitungan Suara Disesalkan

Sistem virtual private network yang digunakan KPU ibarat busway. Semua orang bisa menggunakan jaringan ini, baik sengaja maupun tidak sengaja. Jadi mungkin saja ada hacker di dalamnya.

Liputan6.com, Jakarta: Penghitungan suara Pemilu 2004 dinilai lamban. Pada Pemilu 1999 total dana yang dikeluarkan hanya Rp 600 miliar, tapi bisa menghitung sembilan juta suara pada hari pertama. Sekarang, dengan dana Rp 200 miliar untuk Teknologi Informasi (IT) saja, suara yang masuk di hari pertama hanya sejuta. "Kalau saya menjadi staf IT KPU seharusnya malu," ujar Donny Budi Utoyo, Koordinator ICT Watch saat berdialog dengan reporter SCTV Indy Rachmawati, Kamis (8/4) pagi.

Donny heran bila kecepatan suara yang dihimpun lebih cepat pada Pemilu 1999 dibanding 2004. Padahal, saat itu peralatan yang digunakan semimanual. Menurut Dony, hal ini terjadi karena sejak awal KPU tak mau mendengar kritik dari masyarakat. "Kami lihat semuanya serba dadakan. Dari rekrutmen sampai penyiapan SDM di daerah. Kalau semuanya dadakan, apakah hasilnya bisa menunjang suatu keputusan. Ini yang kami tanyakan sejak awal," kata Donny.

Menurut Donny, KPU tak bisa selamanya menyalahkan daerah sebagai penyebab lambannya penghitungan suara. Sebab, saat menyiapkan perangkatnya, termasuk tenaga operator, waktu yang digunakan KPU sangat pendek. Tak lebih dari sebulan. "Jadi kita bisa tahu kualitasnya sejak awal," ujar Donny menambahkan. Apalagi, operator itu dibayar Rp 100 ribu per hari.

Donny mengaku heran dengan penjelasan KPU yang menyatakan adanya kesalahan saat pemasukan data. Sebab, tak semua orang bisa memasukkan data. Hanya orang-orang yang mempunyai password yang bisa memasukkan data. Jadi jika ada kesalahan, bisa dilacak dengan mudah. Donny menduga, kesimpangsiuran data terjadi karena KPU tak mampu menerima seluruh akses yang menuju ke pusat tabulasi suara dalam waktu bersamaan. "Sebaiknya jangan sentralistik," kata Donny. Ahli telematika ini menyarankan sebaiknya suara para pemilih dihimpun terlebih dulu di daerah. Tidak seperti sekarang, di mana suara dari seluruh kecamatan langsung dikoneksikan ke pusat.

Dia mengibaratkan virtual private network yang digunakan KPU sebagai busway. Menurut Donny, semua orang bisa menggunakan jaringan ini, baik sengaja maupun tidak sengaja. "Jadi mungkin saja ada hacker di sana," kata Donny. Namun, dia lebih melihat kelambanan pengumpulan suara karena persoalan sistem informasi, sumber daya manusia, dan manajemen pengelolaan sistem ini menjadi penyebab.

Donny mengaku terkejut dengan langkah KPU yang menutup akses publik. Soalnya KPU membatasi media mengakses servernya untuk mengambil data secara realtime. Asumsi Donny, KPU khawatir anomali yang terjadi di penghitungan suara secara realtime dapat diakses oleh masyarakat. Sehingga ada kesan KPU menutup-nutupi dan takut ketahuan ada yang tidak beres pada sistemnya. "Sekarang gunakan saja jalan darurat kayak tahun 1999. Jadi kembali lewat telepon, faksimile, dan lain-lain," ujar Donny menyarankan.(ULF)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini