Sukses

Aturan Jangan CPR bagi Penyandang Disabilitas di Inggris Tuai Kontroversi

Perintah 'jangan resusitasi', yang dikenal sebagai DNACPR, ditawarkan kepada keluarga anak-anak dengan autisme dan ketidakmampuan belajar lainnya di tengah kekhawatiran kasus Covid-19 kembali melonjak.

Liputan6.com, Jakarta Salah satu upaya Inggris untuk melindungi sistem kesehatan nasionalnya (NHS) agar tidak kewalahan selama pandemi Covid-19 yaitu menawari setiap keluarga yang memiliki anak di bawah umur penyandang disabilitas untuk tidak diresusitasi jika jantung mereka berhenti berdetak.

Dikutip dari The Telegraph pada 27 Desember 2021, perintah 'jangan resusitasi jantung paru', yang dikenal sebagai DNACPR, ditawarkan kepada keluarga anak-anak dengan autisme dan ketidakmampuan belajar lainnya di tengah kekhawatiran kasus Covid-19 kembali melonjak.

Namun pilihan ini ternyata menuai kontroversi bagi orangtua dari anak penyandang disabilitas. Salah satunya, ibu dari anak laki-laki berusia 16 tahun dengan Down Syndrome yang mengatakan bahwa seorang karyawan klinik menawarinya pilihan DNACPR untuk putranya selama pemeriksaan.

"Ini adalah pertanyaan yang aneh. Meskipun ia hanya mengikuti prosedur dan sangat sopan tentang itu, tapi sangat menjengkelkan," kata sang ibu, warga Kent, Karen Woollard.

Seorang ibu dari anak laki-laki berusia 16 tahun dengan autisme juga mengatakan putranya ditawari DNACPR saat datang untuk jadwal pemeriksaan. Awalnya ia setuju karena tidak mengerti pertanyaannya. Padahal putranya tersebut adalah anak yang ceria dan sehat, bahkan telah memenangkan medali emas di kompetisi renang, kata ibunya, Debbie Corns. Namun akhirnya ia pingsan dan menganggap dokter mendevaluasi hidupnya.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dianggap diskriminasi

Kontroversi ini bermula sejak awal tahun 2021 tentang pasien dengan penyakit mental dan ketidakmampuan belajar yang dianggap perlu menerima DNACPR selama pandemi. Namun pada laporan terbaru, DNACPR membuat salah seorang pasien dewasa meninggal secara tidak perlu karena kurangnya resusitasi.

Seperti dimuat the Guardian, DNACPR merupakan singkatan dari Do Not Attempt Cardiopulmonary Resuscitation (DNACPR) atau Allow Natural Death (AND). Dalam beberapa kasus dan kebijakan di suatu negara, DNACPR ini dilakukan pada orang yang terlalu lemah atau tidak bisa diselamatkan melalui resusitasi jantung. Namun hal ini akhirnya menuai pro dan kontra.

Namun kejadian di Inggris ini membuat DNACPR dianggap sebagai diskriminasi bagi penyandang disabilitas. Sejak Januari, bukan hanya anak kecil tapi juga orang dewasa dengan disabilitas diberitahu oleh dokter bahwa mereka tidak akan diresusitasi jika mereka jatuh sakit karena Covid-19.

Adapun Care Quality Commission Inggris menyatakan pada bulan Maret bahwa memang ada beberapa keluarga pasien yang menolak mendiskusikan status DNACPR, bahkan ada yang menantang keputusan NHS terkait akankah mereka diresusitasi atau tidaknya. Komisi tersebut juga menemukan bahwa ratusan panti jompo telah menghapuskan keputusan DNACPR karena melanggar hukum.

Tentunya DNACPR ini meningkatkan kematian, menurut temuan regulator. Profesor Martin Green OBE, kepala eksekutif Care England, mengatakan keprihatininannya bahwa pemerintah belum memberikan individu dengan ketidakmampuan belajar prioritas yang lebih tinggi untuk vaksin Covid. 

“Kami mendesak pemerintah untuk menghapus perbedaan yang sewenang-wenang," katanya.

Seorang juru bicara dari Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial pun mengatakan, ini benar-benar tidak dapat diterima secara menyeluruh kepada kelompok orang mana pun. 

“Kami telah meminta beberapa pihak untuk melakukan peninjauan terhadap pemberitahuan yang dikeluarkan selama pandemi. Tinjauan ini telah dimulai dan akan dilaporkan akhir tahun ini. Saat ini berlanjut, kami akan terus bekerja di seluruh sistem kesehatan dan perawatan untuk mengatasi masalah ini," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.