Sukses

Mengungkap Misteri Awal Kemampuan Berjalan Tegak Setelah Teori Darwin

Penelitian terbaru di jurnal Innovation ungkap evolusi pergerakan manusia. Tim ilmuwan gunakan fosil kera prasejarah, Lufengpithecus (6 juta tahun). Studi ini temukan petunjuk asal mula sikap tegak dan bipedal manusia modern, membuka wawasan baru tentang tahap awal evolusi.

Liputan6.com, Jakarta Hasil penelitian terbaru yang dimuat dalam jurnal Innovation membuka wawasan baru mengenai evolusi gerakan manusia. Sebuah tim ilmuwan mengadopsi pendekatan inovatif dengan memanfaatkan fosil kera prasejarah, yakni Lufengpithecus berusia 6 juta tahun.

Dalam penelitian tersebut, para ilmuwan berhasil menyelidiki tengkorak kera tersebut dan menemukan petunjuk yang signifikan mengenai asal mula sikap tegak dan kecenderungan bipedal atau berjalan dengan dua kaki yang pada akhirnya berkembang pada manusia modern.

Pertanyaan seputar evolusi sikap bipedal dari nenek moyang yang berjalan dengan empat kaki telah lama menjadi tantangan bagi para ilmuwan. Meskipun penelitian sebelumnya belum mampu memberikan rekonstruksi yang pasti, temuan baru ini memberikan wawasan menarik mengenai tahap awal evolusi yang membawa pada kemampuan manusia untuk berjalan tegak.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

1. Penjelasan Oleh Ilmuwan Aristos Georgiou

Penelitian terbaru mengatasi beberapa kendala melalui pendekatan analisis yang inovatif, terfokus pada telinga bagian dalam tengkorak Lufengpithecus. Kera ini, yang eksistensinya lebih dari 6 juta tahun yang lalu, menjadi objek penelitian yang menggunakan teknologi CT-scan tiga dimensi.

Tengkorak ini pertama kali ditemukan di provinsi Yunnan, barat daya Tiongkok, pada tahun 1970-an dan 1980-an. Melalui pendekatan ini, peneliti berharap untuk memberikan pemahaman baru terkait evolusi dan perilaku kera prasejarah ini.

“Saluran setengah lingkaran, yang terletak di tengkorak antara otak dan telinga bagian luar, sangat penting untuk memberikan rasa keseimbangan dan posisi ketika kita bergerak, dan menyediakan komponen fundamental dalam pergerakan kita yang mungkin tidak disadari oleh kebanyakan orang,” Yinan Zhang, penulis utama makalah tersebut, mengatakan dalam siaran pers. 

“Ukuran dan bentuk saluran setengah lingkaran berkorelasi dengan cara mamalia, termasuk kera dan manusia, bergerak di sekitar lingkungannya. Dengan menggunakan teknologi pencitraan modern, kami dapat memvisualisasikan struktur internal tengkorak fosil dan mempelajari detail anatomi saluran setengah lingkaran untuk mengetahui mengungkap bagaimana mamalia yang punah berpindah,” kata Yinan, seorang mahasiswa doktoral di Institut Paleontologi Vertebrata dan Paleoantropologi (IVPP) dari Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok.

Tengkorak yang diperiksa para ilmuwan dalam penelitian terbaru semuanya ditemukan dalam keadaan hancur, menutupi daerah tulang telinga. Hal ini membuat para peneliti percaya bahwa saluran setengah lingkaran yang halus tersebut tidak terpelihara. 

3 dari 7 halaman

2. Masalah Pemindaian Tiga Dimensi

Namun, peneliti terkini berhasil mengatasi kendala ini dengan memanfaatkan teknologi pemindaian tiga dimensi, yang memungkinkan mereka menciptakan rekonstruksi virtual dari saluran tulang telinga bagian dalam.

"Tentu saja, setelah penelitian ini dilakukan dengan bantuan teknologi CT scan resolusi tinggi, daerah tulang telinga yang halus ternyata masih terpelihara," ujar Terry Harrison, seorang antropolog dari Universitas New York dan salah satu penulis makalah tersebut.

Penelitian terbaru menggunakan teknik CT-scan tiga dimensi pada telinga bagian dalam tengkorak Lufengpithecus, kera prasejarah yang hidup lebih dari 6 juta tahun yang lalu, membuka perspektif baru terkait evolusi bipedalisme manusia. Dimensi dan bentuk saluran setengah lingkaran kecil dalam telinga bagian dalamnya dianalisis dan dibandingkan dengan kera hidup, fosil kera lain, dan Australopithecus, nenek moyang manusia purba dari Afrika. Temuan ini memberikan gambaran mengenai evolusi bipedalisme manusia melalui tiga fase berbeda.

4 dari 7 halaman

3. Tahapan Bipedalisme Manusia

Pertama, kera awal seperti Lufengpithecus terlihat bergerak di pepohonan dengan gaya yang serupa dengan siamang di Asia saat ini.

Kedua, nenek moyang terakhir dari kera dan manusia menunjukkan repertoar gerakan yang serupa dengan Lufengpithecus, menggunakan kombinasi memanjat, suspensi kaki depan, bipedalisme arboreal, dan quadrupedalisme terestrial. Melalui repertoar gerakan yang luas ini, bipedalisme manusia berkembang.

Selain itu, penelitian ini menyoroti peningkatan dramatis dalam laju evolusi saluran setengah lingkaran pada kera sekitar 3,2 juta tahun yang lalu yang bersamaan dengan periode pendinginan global terkait permulaan glasial di Belahan Bumi Utara. Temuan ini memberikan pemahaman lebih mendalam tentang evolusi manusia dan konteks lingkungan yang memengaruhinya.

"Perubahan iklim saat ini mungkin menjadi pemicu utama dalam percepatan evolusi bipedalisme pada spesies awal dari genus Homo di Afrika," kata Harrison kepada Newsweek. "Tampaknya, telinga bagian dalam memberikan catatan unik tentang sejarah evolusi pergerakan kera," ungkap Profesor IVPP Xijun Ni, yang memimpin proyek tersebut, dalam siaran persnya.

5 dari 7 halaman

Question and Answer

1. Apa penyebab manusia berjalan tegak?

Jumlah vertebra tulang belakang pada manusia modern adalah sama, memungkinkan manusia purba dan modern untuk berjalan tegak. Di sisi lain, primata hanya memiliki 11 vertebra tulang, sehingga tidak dapat melakukan hal serupa.

 

6 dari 7 halaman

2. Kapan munculnya manusia pertama kali?

Manusia modern anatomis muncul sekitar 200.000 tahun yang lalu dan dalam rentang waktu 70.000 tahun terakhir secara bertahap menggantikan jenis "purba" setelah terjadinya bencana Toba. Jenis "non-modern" dari Homo diyakini bertahan hingga 30.000 tahun yang lalu, dan mungkin masih ada hingga 10.000 tahun yang lalu.

7 dari 7 halaman

3. Apa dampak membungkuk saat berjalan?

Kebiasaan membungkuk dalam aktivitas sehari-hari, baik saat duduk maupun berjalan, dapat memberikan tekanan tambahan pada tulang belakang dan memicu nyeri pinggang. Dikutip dari sumber kesehatan Everyday Health, tekanan berlebih pada tulang belakang dapat mengubah struktur anatomi tulang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.