Sukses

4 Dampak pada Anak Ketika Ibu jadi Korban KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat berpengaruh pada setiap usia dan tahap perkembangan anak.

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal, dikutip dari situs Komnas Perempuan pada Sabtu (15/10). Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal.

Dalam hubungan relasi personal ini pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban. Misalnya, tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.

Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.

Bagi pasangan suami istri yang telah dikaruniai anak, tentunya dampak KDRT ini akan memengaruhi sang buah hati. Melansir situs Province of Manitoba, Sabtu (15/10/2022), anak-anak yang terpapar oleh tontonan, suara, dan stres akibat kekerasan dalam rumah tangga berpengaruh pada setiap usia dan tahap perkembangannya.

Mereka memiliki risiko yang lebih besar untuk masalah emosional, perilaku, sosial dan psikologis. Anak-anak dapat terpengaruh seolah-olah mereka sendiri yang secara langsung dilecehkan, dan efeknya bisa bertahan lama.

Kekerasan dalam rumah tangga dapat dimulai atau meningkat ketika wanita hamil atau disebut juga pada tahap prenatal.

Wanita hamil mungkin merasa lebih bergantung pada pasangannya untuk bantuan emosional dan finansial selama kehamilan.

Pasangan yang kasar dapat menggunakan ketergantungan ini untuk mendapatkan kontrol lebih lanjut dalam hubungan.

Mereka mungkin cemburu tentang kehamilan dan mungkin menggunakan kekerasan untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi.

Kekerasan fisik dapat menyebabkan wanita melahirkan lebih awal atau mengalami keguguran. Kekerasan juga dapat menyebabkan stres, yang dapat memengaruhi kebiasaan makan dan perilaku koping perempuan misalnya merokok atau penyalahgunaan zat.

Ini dapat memengaruhi berat badan bayi atau menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome.

Akibatnya, anak mungkin terpengaruh oleh kekerasan dalam rumah tangga bahkan sebelum mereka lahir.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Masa Bayi : Dari Lahir Sampai 12 Bulan

Bayi mungkin menjadi kesal di rumah yang bising dan kacau. Hal ini dapat menyebabkan bayi sakit atau mengalami masalah makan dan tidur.

Orangtua mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi karena efek negatif dari kekerasan dalam rumah tangga (misalnya cedera fisik, kelelahan emosional, depresi, penyalahgunaan zat, masalah uang).

Orang tua yang kasar mungkin iri pada bayinya karena waktu dan perhatian yang dibutuhkan bayi.

Untuk mencoba menghindari kekerasan lebih lanjut, orangtua mungkin tidak selalu mengutamakan kebutuhan bayi.

Hal ini memengaruhi hubungan antara orangtua dan bayi serta kemampuan bayi untuk tumbuh secara sehat.

3 dari 5 halaman

Balita dan Anak Prasekolah : 2 s.d 4 Tahun

Anak-anak pada usia ini sering merasa sulit untuk mengatakan apa yang mereka pikirkan atau rasakan.

Sebaliknya, mereka mungkin menunjukkan pikiran dan perasaan mereka melalui perilaku mereka.

Anak-anak juga dapat bertindak sama seperti orangtua mereka yang berada dalam hubungan yang kasar.

Ini mungkin termasuk memukul orang lain atau memendam terlalu banyak untuk diri mereka sendiri.

Anak-anak juga mungkin mengeluhkan masalah fisik (misalnya, sakit kepala, sakit perut) atau mengalami mimpi buruk.

Melihat pelecehan juga dapat menyebabkan masalah perilaku seperti gagap, bersembunyi, dan berteriak atau menjadi sangat aktif, menuntut, merengek atau manja.

Merasa sedih, cemas atau takut dapat memengaruhi seberapa baik anak-anak makan dan tidur, yang dapat berpengaruh pada pertumbuhan emosional dan fisik mereka.

4 dari 5 halaman

Anak Usia Sekolah : 5 s.d 12 Tahun

Anak-anak usia ini mungkin kasar dan mengalami kesulitan mengikuti aturan atau berteman. Mereka mungkin merasa takut, cemas, bersalah, malu, depresi, dan memiliki harga diri yang rendah atau gangguan stres pasca trauma (PTSD), yang mungkin termasuk ingatan sekilas tentang kekerasan.

Anak-anak bisa mengalami kesulitan berkonsentrasi dan fokus pada tugas-tugas yang mungkin merupakan indikasi dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Anak-anak belajar untuk percaya bahwa kekerasan adalah bagian normal dari hubungan dan cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Untuk merasa memiliki kendali dalam hidup mereka, mereka mungkin menjadi pengganggu di sekolah. Anak-anak ini mungkin juga yang di-bully, karena sering tidak punya banyak teman.

5 dari 5 halaman

Remaja Usia 13 s.d 18 Tahun

Remaja berisiko mengalami kekerasan dalam pacaran dan bermasalah dengan hukum. Mereka mungkin juga berprestasi buruk di sekolah, putus sekolah atau melarikan diri.

Remaja bisa mengalami depresi, bunuh diri, atau mengalami PTSD. Untuk mengatasi perasaan ini, mereka mungkin mencoba menyakiti diri mereka sendiri, menyalahgunakan zat-zat seperti narkoba atau alkohol, memiliki gangguan makan atau terlibat dalam perilaku seksual yang berisiko.

Banyak remaja yang bertindak seperti orangtua dengan merawat adik-adiknya dan mencoba memprediksi atau mencegah kekerasan di masa depan. Setelah melihat hubungan yang kasar sepanjang masa kanak-kanak, siklus penganiayaan atau cycle of abuse dapat berlanjut saat mereka menemukan diri mereka dalam hubungan kasar yang serupa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.