Sukses

IMF Proyeksi Ekonomi Global Cuma Tumbuh 3,1% di 2024

IMF mencatat, perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk 2024–2025 masih di bawah rata-rata historis (2000–2019) sebesar 3,8 persen, dengan kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral untuk melawan inflasi

Liputan6.com, Jakarta - International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional memproyeksikan perekonomian global tumbuh 3,1% di 2024. Proyeksi ini dirilis IMF dalam laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru edisi Januari 2024.

“Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan sebesar 3,1%pada 2024 dan 3,2 persen pada% pada 2025, dengan perkiraan tahun 2024 0,2 poin persentase lebih tinggi dibandingkan perkiraan pada Oktober 2023,” ungkap IMF di laporan World Economic Outlook, dikutip Rabu (31/1/2024).

Dalam laporan IMF itu ditulis bahwa proyeksi ekonomi global kali ini didukung oleh ketahanan ekonomi yang lebih besar di Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain, serta pasar negara berkembang yang besar. Selain itu juga didukung kebijakan fiskal Tiongkok.

Namun IMF mencatat, perkiraan pertumbuhan ekonomi global untuk 2024–2025 masih di bawah rata-rata historis (2000–2019) sebesar 3,8 persen, dengan kenaikan suku bunga kebijakan bank sentral untuk melawan inflasi, penarikan dukungan fiskal di tengah tingginya utang yang membebani aktivitas perekonomian, dan rendahnya produktivitas.

Tetapi inflasi turun lebih cepat dari perkiraan di sebagian besar negara-wilayah, di tengah melemahnya permasalahan sisi penawaran dan kebijakan moneter yang restriktif.

 

“Inflasi global diperkirakan akan turun menjadi 5,8 persen pada tahun 2024 dan menjadi 4,4 persen pada tahun 2025, dengan perkiraan tahun 2025 direvisi turun,” beber IMF.

 

Hard Landing

Dengan disinflasi dan pertumbuhan yang stabil, IMF memperkirakan, kemungkinan terjadinya hard landing telah berkurang. Adapun risiko terhadap pertumbuhan global secara umum juga sudah seimbang.

“Sisi positifnya, disinflasi yang lebih cepat dapat menyebabkan kondisi keuangan semakin melemah. Kebijakan fiskal yang lebih longgar dari yang diperlukan dan dari perkiraan dalam proyeksi dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih tinggi untuk sementara waktu, namun dengan risiko penyesuaian yang lebih mahal di kemudian hari,” pungkas IMF.

Badan itu juga mengatakan, reformasi struktural yang kuat dapat meningkatkan produktivitas dengan dampak positif lintas batas negara.

Sedangkan pada sisi negatif, lonjakan harga komoditas baru akibat guncangan geopolitik, termasuk serangan Houthi di Laut Merah dan gangguan pasokan atau inflasi yang lebih persisten dapat memperpanjang kondisi moneter yang ketat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sri Mulyani: Ekonomi Dunia Terus Lemah, Beban Fiskal AS Berat dan China Krisis Properti

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kondisi terkini perekonomian global yang disinyalir akan terus melemah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Asumsi itu berasal dari proyeksi ekonomi global terbaru versi Bank Dunia (World Bank).

"World Bank perkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat dari sebelumnya 3 persen di 2022, menjadi hanya 2,6 persen pada 2023 YoY, dan kembali menurun jadi 2,4 persen pada 2024 ini," terang Sri Mulyani dalam sesi konferensi pers hasil rapat I tahun 2024 Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (30/1/2024).

"Jadi situasi ekonomi menurut Bank Dunia 2023 lebih lemah dari 2022, tahun 2024 juga lebih lemah dari 2023," imbuh Sri Mulyani.

Di tengah kondisi tersebut, perkembangan ekonomi di tiap-tiap negara besar pada 2023 cenderung berbeda. Sri Mulyani menyinggung Amerika Serikat, yang disinyalir tetap tumbuh kuat meskipun mengalami tekanan fiskal.

"Ekonomi Amerika Serikat tumbuh kuat, tapi tekanan fiskal khususnya beban pembayaran bunga utang dan rasio utang menjadi risiko utama ke depan," ungkap Sang Bendahara Negara.

3 dari 3 halaman

Eropa dan China Melemah

Sebaliknya, Eropa dan China diprediksi masih mengalami pelemahan. Khususnya China, akibat krisis di sektor properti hingga pemerintah daerahnya yang terlilit utang.

"Di Eropa ekonomi masih melemah. Di China juga masih melambat akibat krisis sektor properti," kata Sri Mulyani.

"Kemarin Pengadilan Hong Kong pastikan salah satu perusahaan properti terbesar China, Evergrande alami kebangkrutan. Juga utang dari tingkat pemerintah daerah atau provinsi. Ini menyebabkan ekonomi Tiongkok cenderung melambat," tuturnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini