Sukses

Karaoke dan Spa Kena Pajak Hiburan 40%-75%, Mal Ikut Kena Getah?

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja (APPBI) Alphonzus Widjaja, menilai naikknya pajak hiburan tertentu mulai dari 40 persen hingga 75 persen dapat menganggu tingkat okupansi pengunjung pusat perbelanjaan.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja (APPBI) Alphonzus Widjaja, menilai naikknya pajak hiburan tertentu mulai dari 40 persen hingga 75 persen dapat menganggu tingkat okupansi pengunjung pusat perbelanjaan.

"Masalah pajak Hiburan, ini pasti akan mengganggu meskipun pemerintah akan menunda dan sebagainya, kalau ditanya ada gangguan? Pasti mengganggu karena banyak Mal yang juga ada karaoke dan sebagainya, ada spa," kata Alphonzus dalam konferensi pers Revisi Kebijakan & Pengaturan Impor APRINDO dan APPBI, di Kawasan Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2024).

Kendati begitu, APPBI berharap pusat perbelanjaan tidak terlalu terdampak imbas dari kenaikan tarif pajak hiburan tertentu. Lantaran, Pemerintah melakukan penurunan tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan secara umum, dari semula sebesar paling tinggi 35 persen menjadi paling tinggi 10 persen.

Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir sebagai bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian.

Diketahui jenis kesenian dan hiburan yang dikenakan pajak 10 persen meliputi: (i) tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; (ii) pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; (iii) kontes kecantikan; (iv) kontes binaraga; (v) pameran; (vi) pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; (vii) pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor.

Kemudian, (viii) permainan ketangkasan; (ix) olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan danperlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; (x) rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebunbinatang; (xi) panti pijat dan pijat refleksi; dan (xii) diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

"Tetapi mudah-mudahan pusat belanja tidak terlalu berdampak, tapi ada penggantinya, bioskop, wahana permainan anak-anak, itu turun jadi hanya 10 persen," ujarnya.

Sementara, terkait karaoke dan mandi uap/spa yang dikenakan pajak 40-75 persen, APPBI juga berharap tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja pusat perbelanjaan.

"Jadi mudah-mudahan kami berharap di satu titik karaoke dan sebagainya tidak akan terganggu. Makannya, berharap pemerintah bisa melakukan penundaan dan melakukan peninjauan kembali," pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Protes Bisnis Spa Kena Pajak Hiburan 40%-75%, Pengusaha: Pemerintah Salah Kaprah

Sebelumnya, Pengusaha spa memprotes keras atas penggolongan bisnis spa ke dalam kelompok hiburan tertentu yang akan dikenakan pajak hiburan mulai dari 40 persen hingga 75 persen. Ketentuan ini diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah alis UU HKPD.

Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung mengatakan, penggolongan bisnis spa sebagai hiburan tertentu dalam UU HKPD bertentangan dengan Undang Undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Kepariwisataan. 

Sebab, dalam Pasal 14 UU Pariwisata, usaha SPA tidak merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.

"Kami menilai pemerintah salah kaprah jika menggolongkan spa ke dalam kelompok hiburan yang dikenakan pajak dari mulai 40 persen," kata Lourda dalam acara konferensi pers Kenaikan Pajak Hiburan di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (18/1).

Menurut Lourda, bisnis SPA merupakan bagian dari kelompok perawatan kesehatan atau wellness sebagai payung besarnya. Adapun cakupan utama bisnis spa ialah promosi (promotion) dan pencegahan (prevention).

"Kami menilai, SPA lebih tepat dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata. Apalagi, secara definisi SPA memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan kesehatan,"  jelasnya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi besar dalam pengembangan industri spa. Mengingat, setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan tersendiri di bidang spa untuk kesehatan dan kebugaran. 

"Dengan kondisi seperti ini kami baru bisa menemukan 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya yang di lakukan oleh para ahli yang tergabung dalam Assosiasi IWMA yang dikenal dengan Etnaprana," ucapnya.

 

3 dari 3 halaman

Keberlanjutan Bisnis Spa

Oleh karena itu, Lourda mendesak pemerintah agar lebih memperhatikan keberlanjutan bisnis spa di Indonesia  agar bisa berbicara lebih banyak di kancah internasional. Antara lain dengan memberikan insentif pajak khusus hingga 0 (nol) persen untuk bisa berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.

"Dan setelah berkembang pesat

baru dikenakan pajak sebagaimana mestinya, karena untuk menerapkan standard spa

wellness yang telah ditentukan oleh pemerintah tidak mudah karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga jika ditambah beban pajak yang tinggi, tentu akan berdampak

pada Kesehatan finansial pelaku usahanya," pungkas Lourda.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini