Sukses

Konsumsi Rokok Murah Melonjak, Penerimaan Cukai Bakal Makin Seret

Tren peralihan konsumsi rokok masyarakat ke produk yang lebih murah akan menghambat optimalisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) dalam jangka panjang.

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah analis pasar modal mengingatkan tren peralihan konsumsi rokok masyarakat akan menghambat optimalisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) dalam jangka panjang. Indikasi peralihan konsumsi ke rokok dengan harga lebih murah (downtrading) ini salah satunya terlihat dari kinerja emiten rokok di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Saat ini emiten-emiten besar di Golongan 1 (tarif cukai tertinggi) mengalami penurunan volume penjualan dan produksi yang signifikan. Sebaliknya, emiten yang dibebani tarif cukai lebih rendah mengalami kenaikan volume penjualan.

Laporan interim emiten dan berbagai riset sekuritas memperlihatkan kinerja emiten rokok besar di kuartal I 2023 dipengaruhi oleh kenaikan harga produk dan penurunan harga pokok penjualan akibat berkurangnya produksi. Situasi sebaliknya terjadi pada emiten yang lebih kecil. 

“Berkurangnya penerimaan negara bisa jadi akibat masyarakat yang sensitif terhadap perubahan harga. Akan ada pergeseran konsumsi kalau ada kenaikan harga,” kata analis Asosiasi Analis Efek Indonesia, Reza Priyambada dikutip Kamis (11/5/2023).

Dampak downtrading ini juga terefleksi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dirilis Kementerian Keuangan. Pada kuartal 1 2023, penerimaan kepabeanan dan cukai merosot 8,93 persen menjadi Rp72,74 triliun.

Hal ini disebabkan oleh merosotnya pos penerimaan bea keluar dan menurunnya penerimaan dari sektor CHT. Adapun penerimaan CHT pada kuartal 1 2023 terkoreksi 0,74 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp55,24 triliun.

Menurut Reza, kondisi ini dipastikan akan terus terjadi selama selisih tarif cukai antara Golongan 1 dan golongan di bawahnya masih lebar. Tanpa perubahan kebijakan tarif saat ini, pabrikan Golongan 1 bakal terus tertekan, sementara konsumen terus beralih ke rokok murah.

“Persentase orang yang mengonsumsi rokok non-premium (murah) makin besar, berkebalikan dengan konsumsi rokok premium (dari Golongan 1),” tegas Reza.

Analis Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama juga menegaskan penerimaan cukai mengalami tren downtrading. “Harga rokok dari Golongan 1 lebih mahal sementara Golongan 2 lebih murah. Perolehan cukai rokok dari Golongan 1 pasti turun sementara Golongan 2 sebaliknya. Penerimaan cukai Golongan 2 yang lebih tinggi menyebabkan penerimaan negara kurang optimal,” pungkasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Wacana Larangan Iklan Rokok, Pendapatan Industri Kreatif Siap-Siap Terpangkas

Industri kreatif nasional baru saja berangsur bangkit setelah pandemi, namun kembali menghadapi tekanan lantaran iklan rokok berencana dilarang total.

Sebabnya, pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah No. 109/2012 yang mengatur perihal rokok, termasuk soal iklan sehingga imbasnya akan dirasakan industri kreatif. Rencana revisi tersebut akan memuat ketentuan untuk melarang total iklan rokok yang dapat membuat pendapatan iklan bakal menyusut.

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, menyatakan iklan rokok merupakan salah satu penyumbang pendapatan iklan terbesar bagi televisi.

“Kami secara tegas menolak revisi ini dan berharap tidak ada larangan total bagi iklan rokok. Kalau ini terjadi, dampaknya akan terjadi penurunan pendapatan," kata dia dikutip Senin (3/4/2023).

Jika diberlakukan, wacana larangan total iklan rokok dapat menghapus pendapatan industri pertelevisian di sektor periklanan. Tak hanya itu, Syafril juga menjelaskan bahwa larangan total juga akan berdampak lebih luas lagi, tidak hanya kepada industri periklanan secara langsung, tetapi juga pada industri turunannya.

 

3 dari 3 halaman

Kontribusi Iklan Rokok

Melansir Nielsen, di periode semester I tahun lalu, iklan rokok berkontribusi senilai Rp 4,5 triliun, sedangkan di 2021 nilainya mencapai Rp 9,1 triliun.

Sebab berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2021, ada enam sub sektor industri yang terkait dengan industri tembakau. Enam subsektor industri tersebut adalah subsektor desain, film/video, musik, penerbitan, periklanan, hingga subsektor penyiaran (TV dan radio). Enam subsektor ini secara kolektif mempekerjakan lebih dari 725.000 tenaga kerja.

“Larangan iklan rokok akan menghasilkan efek domino dan berpengaruh besar pada keberlangsungan industri. Sehingga, pemerintah harus mempertimbangkan kembali rencana revisi ini sekaligus mempertimbangkan bagaimana perkembangan industri ini,” sambung Syafril.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini