Sukses

Kekeringan Panjang Landa Indonesia, Padi Gogo Solusi Jaga Ketahanan Pangan?

Pemerintah tengah bersiap menghadapi musim kemarau atau kekeringan panjang, yang puncaknya diprediksi terjadi di 31 provinsi pada Agustus 2023 mendatang.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah bersiap menghadapi musim kemarau atau kekeringan panjang, yang puncaknya diprediksi terjadi di 31 provinsi pada Agustus 2023 mendatang. Kondisi itu berpotensi turut mengganggu ketahanan pangan nasional.

Namun, Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jarot Widyoko, meyakini ketahanan pangan negara masih bisa terjaga karena ada beberapa komoditas yang bisa diproduksi saat musim kemarau, semisal padi gogo.

Mengutip penjelasan LIPI, padi gogo merupakan jenis padi yang ditanam pada areal lahan kering atau lazim disebut dengan padi tegalan. Budidaya padi gogo sama sekali tidak membutuhkan irigasi dan dapat diaplikasikan pada daerah bercurah hujan rendah.

"Saya yakin bisa. Karena apa, ada tanaman padi yang hidup yang namanya padi Gogo, itu malah di bukit-bukit hidup," ujar Jarot saat ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).

Jarot percaya, beberapa jenis padi dan tanaman palawija semisal jagung dan singkong memang tetap bisa tumbuh di musim kering. Terlebih, ia menambahkan, dari sekitar 9 juta ha lahan pertanian, hanya 1,5 juta ha sawah padi saja yang bisa terairi oleh bendungan. Sisanya, tanaman palawija bisa tumbuh tanpa suplai air waduk.

Meski begitu, pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR akan melakukan efisiensi suplai air dari bendungan dari sebelum musim kering terjadi. Sehingga ketersediaan cadangan air untuk sektor pertanian bisa terjadi saat kemarau nanti.

"Untuk yang premium bisa padi, padi, padi. Ini diatur mulai dari tingkat tersier dengan sistem penggolongan," kata Jarot.

"Nanti paling banyak (pemakaian air) di dalam proses tanam, yang menurut teman-teman pertanian adalah pada saat pengolahan. Habis itu akan berkurang, berkurang, berkurang. Ini harus dibagi efisiensi pemanfaatan air. Ke depan harus begitu," ungkapnya.

Oleh karenanya, Kementerian PUPR juga berkomitmen menuntaskan total 61 bendungan baru pada 2024. Sehingga kehadirannya bisa mensukseskan program cadangan pangan pemerintah (CPP) yang sedang digalakkan.

"Makanya saya yakin, kalau untuk program CPP, kami akan semaksimal mendukung dari sisi suplai air. Jadi kami akan berupaya terus untuk itu," pungkas Jarot.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bahaya, 31 Provinsi Dihantam Kekeringan Panjang Mulai Maret 2023

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jarot Widyoko, mendapat laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa Indonesia bakal dilanda musim kekeringan panjang mulai Maret, hingga puncaknya pada Agustus 2023.

"Sudah kami ringkas, di bulan Maret ada 4 provinsi dimana intensitas hujan di bawah 100 ml. Ini sudah masuk kekeringan," kata Jarot dalam konferensi pers di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).

Jarot menyampaikan, jumlah itu akan terus bertambah jadi 8 provinsi pada April, 19 provinsi di Mei, 21 provinsi di Juni, dan 29 provinsi pada Juli. "Agustus itu musim yang paling kering nanti, kurang lebih 31 provinsi," ungkapnya.

Mengantisipasi itu, Kementerian PUPR tak ingin terlambat lakukan pencegahan dengan cara menginventarisasi sarana prasaran yang sudah ada. Terutama bendungan, dimana sejak Maret 2023 volume airnya akan diatur semaksimal mungkin.

"Sebagai contoh, kalau daerah tersebut masih hujan, itu ada juga masih yang musim hujan. Itu pintu kami buka. Kalau pintu kami buka pada saat terjadi hujan, bisa mengurangi banjir. Tetapi juga kalau daerah tersebut sudah masuk di dalam musik kemarau, kami akan tutup," jelasnya.

"Di sini sangat diperlukan adalah pengoperasian pintu-pintu bendungan," tambah Jarot.

Pengelolaan Bendungan

Di sisi lain, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono juga sudah membentuk Unit Pengelola Bendungan guna mensiagakan semua bendungan yang ada untuk meminimalisir dampak kekeringan.

Selain bendungan, pemerintah melalui Kementerian PUPR bakal melakukan kegiatan operasi dan pemeliharaan seluruh sumur eksisting yang ada, kurang lebih 3.230 titik di 20 provinsi. Plus merehabilitasi sumur-sumur eksisting sebanyak 25 titik di 12 provinsi.

Hal ini dilakukan lantaran tidak semua provinsi memiliki sumber air yang memadai untuk menunjang kebutuhan masyarakat di musim kemarau. Oleh karenanya, Kementerian PUPR juga menyiapkan skenario untuk melakukan pengeboran sumur-sumur baru di daerah kering air.

"Belum tentu di wilayah-wilayah 31 provinsi tadi di bulan Agustus ada sumber-sumber airnya. Maka kami koordinasi dengan ESDM, di situ ada CAT (cekungan air tanah) atau tidak," sebut Jarot.

"Jadi kami harapkan kami akan mulai bergerak mulai Maret, mengebor titik-titik yang diprediksi akan terjadi kekeringan. Kurang lebih 37 titik di 19 provinsi. Jadi ini jangan sampai sudah terjadi kekeringan, kami baru bergerak," tuturnya.

3 dari 3 halaman

5 Miliar Orang di Dunia Diprediksi Hadapi Kekeringan Sebulan Penuh pada 2050

Sebelumnya, laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terbaru memprediksi sekitar 5 miliar orang atau dua per tiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air selama setidaknya sebulan penuh pada 2050. 

Hasil analisis Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang dirilis pada Selasa, 29 November 2022 mencakup proyeksi aliran sungai, banjir, dan kekeringan di dunia. 

Perubahan iklim mengurangi tingkat aliran sungai dan mencairkan gletser karena suhu global 1,1C lebih tinggi daripada di masa pra-industri.

Daerah-daerah besar di seluruh dunia juga kondisinya lebih kering dari biasanya ketika pola hujan dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Laporan yang berjudul The State of Global Water Resources for 2021, adalah tinjauan komprehensif pertama tentang sumber daya air oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), mengutip Scientific American, Kamis (1/12/2022).

Laporan tersebut akan diterbitkan setiap tahun mulai tahun ini karena adanya permintaan data yang lebih akurat di tengah meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan.

Laporan tersebut juga menyoroti bahwa pengukuran yang tidak konsisten dan kurangnya data yang dikumpulkan di lapangan menyulitkan untuk memahami beberapa efek perubahan iklim terhadap sistem air.

Pada Cop27, konferensi perubahan iklim PBB baru-baru ini yang diadakan di Mesir, pemerintah didesak untuk lebih mengintegrasikan air ke dalam upaya adaptasi.

"Dampak perubahan iklim dapat dirasakan melalui air. Kekeringan yang intens dan sering terjadi, banjir yang ekstrem, curah hujan yang tidak menentu, dan percepatan pencairan gletser akan terjadi. Semua terjadi bersamaan dengan efek cascading pada ekonomi, ekosistem, dan semua aspek kehidupan sehari-hari," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas dalam rilisnya.

"Namun, tidak ada tidak ada data yang cukup untuk mengukur perubahan mengenai distribusi, kuantitas, dan kualitas sumber daya air tawar," tambah Taalas. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.