Sukses

Tunggu Pidato The Fed, Rupiah Melempem ke 15.745 per Dolar AS

Kurs rupiah pagi ini melemah 2 poin atau 0,01 persen ke posisi 15.745 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.743 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah melemah pada perdagangan Rabu pagi seiring pelaku pasar yang tengah menantikan pidato Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell.

Kurs rupiah pagi ini melemah 2 poin atau 0,01 persen ke posisi 15.745 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.743 per dolar AS.

"Ada sinyal bahwa kenaikan suku bunga AS kemungkinan akan melambat dalam beberapa bulan mendatang," tulis Tim Riset Monex Investindo Futures dalam kajiannya di Jakarta, Rabu.

Powell diperkirakan akan memberikan lebih banyak isyarat tentang ekonomi AS dan jalur kebijakan moneter untuk sisa tahun ini ketika dia berbicara di sebuah acara di Washington.

Pasar juga menunggu data ketenagakerjaan non pertanian atau non farm payrolls (NFP) AS akhir pekan ini.

Sementara itu, risalah pertemuan November The Fed menunjukkan bahwa semakin banyak anggota The Fed mendukung kenaikan suku bunga yang lebih kecil dalam beberapa bulan mendatang.

Namun para pembicara The Fed telah memperingatkan bahwa inflasi yang membandel kemungkinan akan membuat bank sentral mempertahankan suku bunga tetap tinggi hingga 2024.

Tren inflasi AS sendiri jauh di atas target tahunan The Fed. Inflasi yang membandel dapat membuat bank sentral memperketat kebijakan moneter lebih lanjut untuk menurunkan harga.

Pada Selasa (29/11) lalu, rupiah ditutup melemah 21 poin atau 0,13 persen ke posisi 15.743 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.722 per dolar AS.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Rupiah Berpotensi Tembus 16.000 per Dolar AS, Luhut Tak Ambil Pusing

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengaku tak pusing jika nilai tukar rupiah akhirnya harus melemah di atas Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

Luhut berasumsi, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS bukan karena fundamental ekonomi RI yang memburuk. Tapi, lantaran kenaikan agresif suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral Amerika, The Federal Reserve.

"Kalau nanti ada yang sampaikan The Fed masih tekan, which is kayaknya enggak lagi, dia sampai Rp 16.000, oke, kita akan adjust lagi pelan-pelan ke bawah, jadi semua managable," ujar Luhut di acara Wealth Wisdom di Pacific Place, Jakarta, Selasa (29/11/2022).

"Semua by design. Bukan karena ekonomi kita tidak bagus, tidak," tegas Luhut.

Meskipun pergerakan rupiah masih fluktuatif di kisaran Rp 15.000 per dolar AS, ia menilai kegiatan ekonomi di Indonesia masih berjalan baik.

Itu ditandai dengan pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III 2022 yang bergerak di level 5,72 persen, dan inflasi juga di sekitar 5,71 persen pada Oktober 2022.

"Orang sudah meramal rupiah begini, rupiah oke Rp 15.000, fine, enggak ada masalah itu. Karena bagaimana pun pressure itu kenaikan suku bunga The Fed manapun negara dunia terpengaruh," tuturnya.

3 dari 4 halaman

Yuk Bantu Rupiah Kalahkan Dolar AS, Begini Caranya

Fenomena penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang seluruh dunia semakin memperparah inflasi secara global dan juga meningkatkan risiko resesi global 2023.

Nilai tukar rupiah pada 28 November terkontraksi melemah 49,5 poin atau 0,32 persen ke posisi Rp 15.722 per dolar AS.

Adapun faktor utama penyebab dolar Amerika Serikat terus naik dalam beberapa pekan ini antara lain, Bank Sentral Amerika Serikat yang menaikkan suku bunga beberapa sepanjang tahun 2022. Bank Sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga tahun ini demi mengatasi kenaikan harga.

Akibatnya banyak investor mulai mencairkan produk investasi keuangan seperti obligasi pemerintah Amerika Serikat yang dinilai sangat menguntungkan ketika suku bunga naik. Terbukti pada Juli 2022 saja, investor asing yang membeli obligasi pemerintah AS senilai USD 10,2 miliar (Rp 154 triliun), sekarang nilainya naik menjadi USD 7,5 triliun (Rp 113 kuadriliun).

“Pelemahan nilai tukar Rupiah yang terjadi saat ini merupakan tantangan yang cukup berat dimana kita tahu bahwa Indonesia masih berjuang keluar dari jurang inflasi dampak pandemi virus Covid-19 dan juga perang Ukraina-Rusia yang belum kunjung usai," ungkap CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani, Selasa (29/11/2022).

Selain itu, juga karena investor banyak yang membeli dolar. Untuk membeli obligasi, investor harus membeli dolar AS terlebih dahulu, sehingga permintaan terhadap dolar AS semakin meningkat.

Investor juga cenderung membeli dolar sebagai “safe haven” atau aset yang aman saat ekonomi sedang tidak stabil. Ditambah banyaknya negara di Eropa dan Asia yang sedang berjuang bangkit dari inflasi, ditambah dengan konflik Ukraina yang masih berkepanjangan. 

4 dari 4 halaman

Dampak ke Masyarakat

Sebagai salah satu negara yang terkena imbas dari peningkatan nilai dolar AS, ada beberapa dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat Indonesia.

Harga kebutuhan yang komponennya masih tergantung impor dipastikan akan melonjak karena bertransaksi menggunakan mata uang dolar AS.

Bahan bakar minyak juga merangkak naik harganya karena Indonesia masih mengimpor minyak mentah untuk memenuhi 50 persen kebutuhan minyak nasional. Kenaikan harga sejumlah barang tersebut pun berpotensi mendorong inflasi.

“Pemerintah dapat mendorong pertumbuhan tetap berjalan di tengah pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS dengan menaikkan suku bunga secara bertahap yang akan mendorong kenaikan suku bunga deposito dan suku bunga kredit, hal tersebut diharapkan dapat mempengaruhi konsumsi dan investasi di dalam negeri sehingga akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,” sambung Johanna.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.