Sukses

Imbas Covid-19, China Kekurangan Uang Tunai

China menghadapi kekurangan uang tunai karena meningkatnya utang di tengah pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Analis Nomura mengungkapkan China menghadapi kekurangan uang tunai yang semakin melambung. Hal ini dikarenakan karena meningkatnya utang untuk mengisi kesenjangan di tengah pandemi Covid-19.

"Gelombang Omicron terbaru dan lockdown yang meluas sejak pertengahan Maret 2022 telah mengakibatkan kontraksi tajam dalam pendapatan pemerintah, termasuk pendapatan penjualan tanah," kata Ting Lu, kepala ekonom China di Nomura dalam sebuah laporan, dikutip dari CNBC International, Selasa (31/5/2022).

Analis Nomura memperkirakan kesenjangan pendanaan China mencapai sekitar 6 triliun yuan atau setara Rp 13,1 kuadriliun - sekitar 2,5 triliun yuan dalam penurunan pendapatan karena pengembalian pajak dan produksi ekonomi yang lebih lemah, dan 3,5 triliun yuan lainnya dari pendapatan penjualan tanah yang hilang.

"Banyak dari 'langkah-langkah stimulus' yang masuk, baik itu obligasi pemerintah khusus atau pinjaman tambahan oleh bank kebijakan, hanya akan digunakan untuk mengisi kesenjangan pendanaan ini," ungkap analis Nomura.

Data ekonomi China per April 2022 telah menunjukkan pertumbuhan yang melemah karena pembatasan Covid-19.

Perdana Menteri China Li Keqiang juga mengatakan dalam pertemuan nasional pekan lalu bahwa, dalam beberapa hal, masalah ekonomi akibat Covid-19 saat ini lebih besar daripada tahun 2020.

Bahkan sebelum wabah Covid-19 terbaru, penjualan tanah, sumber pendapatan pemerintah daerah telah jatuh setelah pembatasan ketat di Beijing terhadap ketergantungan tinggi pengembang real estat pada utang.

Nomura dan analis dari perusahaan lainnya tidak memberikan angka spesifik tentang berapa banyak utang tambahan yang mungkin diperlukan China.

Tetapi mereka menunjuk pada tekanan yang meningkat pada pertumbuhan yang akan membutuhkan lebih banyak dukungan dari utang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sejumlah Wilayah China Dilaporkan Alami Penurunan Pendapatan Fiskal

Tidak termasuk pemotongan pajak dan pengembalian dana, Kementerian Keuangan China mengatakan pendapatan fiskal daerah tumbuh 5,4 persen selama empat bulan pertama tahun ini dari tahun lalu.

Delapan dari 31 wilayah tingkat provinsi China mengalami penurunan pendapatan fiskal selama waktu itu, kata kementerian itu, tanpa menyebutkan nama daerah.

Adapun data yang tidak lengkap dari Wind Information menyebutkan bahwa wilayah Qinghai, Shandong, Liaoning, Hebei, Guizhou, Hubei, Hunan dan Tianjin mencatat penurunan pendapatan fiskal year on year selama empat bulan pertama tahun ini.

Tianjin melihat penurunan terburuk hingga 27 persen.

Pada tahun 2021, Tibet adalah satu-satunya wilayah tingkat provinsi yang mengalami penurunan pendapatan fiskal, menurut Wind.

"Penting untuk diperhatikan bahwa penurunan pendapatan fiskal terjadi tidak hanya di kota-kota yang dilockdown," kata Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management.

"Banyak kota (di China) yang tanpa wabah Omicron juga menderita, karena ekonomi mereka terkait dengan yang saat ini dilockdown," kata Zhang dalam sebuah pesan email pada pertengahan Mei 2022.

"Biaya ekonomi tidak terbatas pada sejumlah kecil kota, ini adalah masalah nasional," ujar dia.

3 dari 3 halaman

Gara-gara Covid-19, Goldman Sachs Pangkas Ramalan PDB China Jadi 4 Persen

Analis Goldman Sachs memangkas perkiraan mereka untuk PDB China menjadi 4 persen setelah data untuk bulan April menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi karena Covid-19 membatasi aktivitas bisnis. 

Perkiraan PDB China baru ini bahkan lebih jauh di bawah target pertumbuhan sekitar 5,5 persen yang diumumkan pemerintah China untuk tahun ini di bulan Maret 2022.

"Mengingat kerusakan ekonomi terkait Covid-19 pada kuartal kedua, kami sekarang memperkirakan pertumbuhan China menjadi 4 persen tahun ini (dibandingkan 4,5 persen sebelumnya),” tulis analis Hui Shan dan tim di Goldman dalam sebuah laporan, dikutip dari CNBC International.

Prediksi PDB China juga mengharapkan akan ada dukungan pemerintah yang signifikan, di atas langkah-langkah untuk menstabilkan pasar properti dan mengendalikan wabah Covid-19 di China. 

"Data yang lemah menyoroti ketegangan antara target pertumbuhan China dan kebijakan nol-Covid-19 yang merupakan inti dari prospek pertumbuhan China," kata analis Goldman.

Analis Goldman juga mencatat bagaimana para pejabat di China telah menekankan kebijakan "dinamis nol-Covid-19" mereka, dan bagaimana berita bahwa China tidak akan menjadi tuan rumah Piala Asia musim panas mendatang karena Covid-19 mencerminkan pola pikir konservatif Beijing.

"Kami sekarang memperkirakan pembukaan kembali tidak dimulai sebelum 2023 Q2 dan prosesnya akan lebih bertahap dan terkendali dari yang diperkirakan sebelumnya," beber para analis Goldman.

"Inilah sebabnya mengapa perkiraan pertumbuhan PDB 2023 kami hanya meningkat seperempat poin menjadi 5,3 persen (dibandingkan 5,0 persen sebelumnya) meskipun ada revisi setengah poin ke bawah untuk perkiraan pertumbuhan ekonomi setahun penuh 2022," tambah mereka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.