Sukses

Ada UU Cipta Kerja, Hasil Tambang Batu Bara Kini Kena Pajak

Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin (5/10) lalu.

Salah satu yang dimuat dalam UU tersebut. yakni mengenai kluster Perpajakan. Dimana ada sejumlah perubahan atas UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Merujuk pada pasal 112 UU Cipta Kerja, menghapus dan mengubah sejumlah ketentuan dari UU PPN, salah satunya mengenai pengertian penyerahan barang kena pajak (BKP) yang diatur dalam Pasal 1A UU PPN. Pada ayat (1) huruf g UU PPN semula berbunyi ‘Penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi’ kini dihapus.

“Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diubah," bunyi Pasal 112 UU Cipta Kerja, dikutip pada Rabu (7/10/2020).

Perubahan lainnya ditemukan pada Pasal 4A ayat (2) mengenai pengelompokan jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dimana pada UU ini, jenis barang berupa Batu Bara kini dikenai PPN.

mengutip dari pasal 4A ayat (2), jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;

b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sementara, jasa kena pajak (JKP) yang tidak dikenai PPN, masih tetap 17 kelompok yang tertuang dalam Pasal 4A ayat (3). Jasa tersebut meliputi:

a. jasa pelayanan kesehatan medis;

b. jasa pelayanan sosial;

c. jasa pengiriman surat dengan perangko;

d. jasa keuangan;

e. jasa asuransi;

f. jasa keagamaan;

g. jasa pendidikan;

h. jasa kesenian dan hiburan;

i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasaangkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

k. jasa tenaga kerja;

l. jasa perhotelan;

m.jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangkamenjalankan pemerintahan secara umum;

n. jasa penyediaan tempat parkir;

o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;

p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan

q. jasa boga atau katering.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ada UU Cipta Kerja, Indonesia Kini Bersaing dengan Vietnam Gaet Investor

Undang Undang (UU) Omnibus Law atau Cipta Kerja diperlukan salah satunya sebagai pendorong membangkitkan perekonomian Indonesia akibat dampak penyebaran virus Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Mengingat, aturan ini akan menarik para investor menanamkan modal di dalam negeri.

Hal ini ditegaskan Wakil Ketua KADIN Bidang Perdagangan Benny Soetrisno dalam diskusi bertajuk "Bertahan dan Bangkit di Masa Pandemi" yang diselenggarakan secara daring dari Media Center Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Selasa (6/10/2020)

"Terobosan Omnibus Law sangat diperlukan sekali, agar Indonesia bisa bersaing dengan negera lain," katanya.

Menurut dia, UU Cipta Kerja yang disahkan pada Senin (5/10/2020) bisa menarik para pengusaha dalam maupun luar negeri berinvestasi di Indonesia. Karena, aturan ini memangkas banyak birokrasi yang berkaitan dengan perijinan usaha di Indonesia.

Disahkannya aturan tersebut, proses perijinan yang dilakukan oleh para investor ke instansi yang terkait dapat dilakukan lebih mudah. Diprediksi banyak pengusaha dalam maupun luar negeri yang akan menanamkan modal, meskipun masih mewabahnya Covid-19 di berbagai wilayah.

"Banyak peraturan yang membikin sulit para pengusaha, khususnya soal dengan perijinan," katanya.

Pemerintah Indonesia mampu melakukan perbaikan dalam berbagai indikator menjalankan bisnis, berurusan dengan izin konstruksi, pendaftaran properti, pembayaran pajak, perdagangan antar pesanan, dan menyelesaikan kebangkrutan yang terjadi.

Dengan melakukan perbaikan secara masif dalam indokator di atas, maka Indonesia dapat mengalahkan negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam narik perhatian investor.

Hasilnya, dapat mendongkrak peringkatan kemudahan berusaha di Indonesia di mata dunia menjadi lebih baik dari tiga negara tetangga.

"Indonesia memerlukan perbaikan secara radikal dalam berbagai indikator tersebut," tuturnya.

Ia berharap, UU Cipta Kerja ini dapat menolong perekonomian Indonesia dari keterperukan akibat Covid-19. Sehingga, dalam waktu beberapa waktu kedepan perekonomian dalam negeri dapat segera kembali pulih menjadi seperti sedia kala sebelum terjadinya wabah global.

"Saya optimis dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.