Sukses

Upah Buruh Tekstil Kian Mahal, Industri Relokasi Pabrik ke Jateng dan Jatim

Faktor lingkungan turut menjadi pendorong relokasi pabrik tekstil.

Liputan6.com, Jakarta Salah satu permasalahan yang tengah dihadapi industri tanah air adalah upah buruh yang dinilai kian mahal dari tahun ke tahun. Imbas dari ini, pabrik tekstil banyak yang merelokasi pabriknya dari Jawa Barat ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyebutkan, hal ini masih perlu pembahasan lebih lanjut dengan pemerintah daerah (pemda) setempat.

"Salah satu diantaranya tenaga kerja di sana, tenaga kerjanya sudah agak mahal makanya mereka lakukan relokasi ke Jateng dan Jatim. Tapi kami lagi cari formulasi minggu depan akan bicara teknis dengan pemda," kata dia di kantornya, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Seperti diketahui, UMK tahun 2020 di Jawa Barat yang merupakan daerah industri yaitu Kabupaten Karawang (Rp 4.594.324), Kota Bekasi (Rp 4.589.708), Kabupaten Bekasi (Rp 4.498.961), Kabupaten Purwakarta (Rp 4.039.067) dan Kabupaten Bandung Barat (Rp 3.145.427).

Sementara itu, UMK di Jawa Timur tergolong lebih rendah mulai dari Rp 1,9 juta hingga Rp 4 juta. Sedangkan di Jawa tengah, UMK nya jauh lebih rendah lagi. Tertinggi adalah Kota Semarang dengan besaran Rp 2.715.00.

Dia mengungkapkan, rencana relokasi ini belum masuk tahap teknis. Dan sedang menyusun regulasi yang tepat.

"Tadi ketua dari Jabar belum sampai pada tingkatan teknis berapa relokasinya, tapi kita lagi mencari alternatif dengan regulasi yang memudahkan mereka agar mereka tidak perlu ada regulasi," ujarnya.

Ditemui di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Ravi Shankar menyebutkan faktor lingkungan turut menjadi pendorong relokasi tersebut.

"Itu masalahnya terutama lingkungan, Citarum, kain tekstil kan ada celupan ada banyak dia pakai air, itu jadi di Bandung sudah mulai susah ekspansi," ujarnya.

Selain itu, dia menjelaskan relokasi tersebut juga merupakan bagian dari program skema cluster atau industrial tekstil park dalam satu tempat. Sehingga nantinya biaya produksi dapat diatur menjadi lebih efisien.

"Kalau dalam satu cluster jauh lebih gampang untuk atur cost daya saing, lingkungan semuanya bisa diatur, itu yang kita usul dan perlu kita lanjutkan. Kalau kita usul tekstil park itu dan siapkan juga bagaimana di daerah itu, Bandung bisa relokasi," jelas dia.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Industri Tekstil Tanah Air Masuk Jurang Krisis

Pengusaha tekstil yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkapkan kondisi industri saat ini kurang bagus. Hal itu disampaikan kepada Kepala Badan Koordinasi Penaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.

Ketua Umum APSyFI Ravi Shankar mengungkapkan, saat ini pasar tekstil di Tanah Air tengah mengalami krisis, sebab diserbu oleh produk impor.

Serbuan barang tekstil impor, baik bahan baku maupun produk yang sudah jadi, kian mengancam eksistensi industri hulu tekstil Tanah Air. Longgarnya kebijakan impor membuat industri dalam negeri kewalahan melawan barang-barang impor tersebut.

Dia mengungkapkan pemain terbesar di industri hulu adalah China dan India. Sementara sektor hilir adalah Vietnam dan Bangladesh. Negara-negara tersebut memiliki kapasitas produksi yang besar, sehingga mereka perlu mencari pasar, termasuk Indonesia.

Alhasil, saat ini industri tekstil Tanah Air dari hulu hingga hilir sudah dikuasai oleh produk asing. Sebab, produk dalam negeri kalah dalam hal daya saing.

"Jadi karena daya saing kita problem dan negara yang tadi bersaing itu sudah bikin skala dunia kapasitasnya. Mereka punya kelebihan kapasitas, mau tembus ke market Indonesia. Jadi market Indonesia sekarang dalam kondisi kritis karena barang masuk, barang hulu, barang hilir, garmen semuanya," kata dia saat ditemui di Kantor BKPM, Jakarta, Rabu (11/12/2019).

Selain itu, negara-negara tersebut memiliki Harga Pokok Produksi (HPP) yang bersaing. Sementara di Indonesia HPP masih cukup tinggi terlebih dengan mahalnya harga bahan baku.

"Indonesia kuat, tapi saat ini tekstil lagi dalam kondisi kritis. Kenapa? itu ya pertama reformasi itu kita cost-nya naik, sambil negara yang bersaing," ujarnya.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah perlu segera turun tangan mengatasi kondisi ini. Salah satunya dengan cara memberi dukungan melalui kebijakan yang mampu membuat industri dalam negeri mampu bersaing dan menguasai pasar.

"Jadi dalam konteks itu, itu kita bahas perlu jangka panjang policy (kebijakan). Pasar dalam negeri itu harus kita bisa kuasai. Kepastian prioritas buat produk dalam negeri itu perlu kita utamakan. Dari situ muncul bagaimana bisa meningkatkan ekspor. Kan, daya saingnya harus itu, itu juga kita bahas ada beberapa policy yang meningkatkan cost kami atau yang untuk kelancaran bisnis, itu kita bahas," ucapnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.