Sukses

Jurus Garuda Indonesia Hadapi Tekanan Rupiah dan Tingginya Harga Minyak

PT Garuda Indonesia Tbk memperbarui strategi hadapi pelemahan rupiah dan harga minyak yang tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kembali menyusun strategi baru dalam menghadapi kondisi tingginya harga minyak serta nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, mengungkapkan pihaknya sudah menyusun strategi pada tahun lalu. Namun, melihat kondisi saat ini, strategi tersebut harus segera diperbarui.

"Kalau antisipasinya kita juga sudah membuat tahun lalu kita sudah mulai karena tahu prediksi harga minyak naik kita sudah hedging 30 persen. Kita lihat kalau misalnya memang masih naik kita naikkan hedging jadi 40 persen," kata Ari saat ditemui di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, ditulis Senin (22/10/2018).

Sementara itu, untuk menghadapi situasi nilai tukar rupiah yang terus melemah, maskapai pelat merah tersebut juga akan melakukan beberapa langkah efisiensi. Di antaranya adalah penghapusan tiket subkelas atau tiket murah di bawah kelas ekonomi di beberapa rute.

"Kita juga akan review strategi pricing. Kita ada subkelas yang akan kita tutup, kita ada 12 sub kelas mungkin tiga terendah kita akan tutup," ujar dia.

 

 

Subkelas yang akan ditutup adalah rute yang dinilai tidak menguntungkan. "Kalau misalnya rutenya memang kurang menguntungkan, kita akan tutup dan kalau yang statistiknya bagus pasarnya subkelas tergantung kita lihat market masing-masing rute dan daya beli masyarakat," ujar dia.

Selain itu, beberapa harga promo juga akan ditutup, sebab perusahaan tidak mungkin menaikkan tarif ongkos pesawat untuk menambal kerugian.

"Kita tidak bisa naikkin tarif. Kita menutup harga promo, harga-harga promo kita tutup," kata dia.

Strategi juga dilakukan dalam bidang negosiasai, di antaranya adalah perpanjangan leasing pesawat semua tipe. 

"Yang white body yang besar dari 15 tahun menjadi 20 tahun, sehingga menurunkan cost leasingnya," ujar dia.

Berdasarkan referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) atau kurs tengah BI, pada 20 Oktober 2014 berada di posisi 12.041 per dolar AS atau menguat dari posisi 17 Oktober 2014 di kisaran 12.222. 

Rupiah pun melemah 12,39 persen sepanjang tahun berjalan 2018. Rupiah sempat di posisi 13.542 per dolar AS pada 2 Januari 2018 ke posisi 15.221 per dolar AS pada 19 Oktober 2018. Rupiah sempat berada di level terendah di posisi 15.253 per dolar AS pada 11 Oktober 2018.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Garuda Indonesia Bangun Pabrik Ban Pesawat

Sebelumnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menggandeng BUMN asal China untuk mendirikan pabrik ban pesawat pertama di Indonesia. PT Garuda Indonesia Tbk akan membentuk anak usaha baru dan akan segera direalisasikan maksimum dalam enam bulan ke depan.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, menyebutkan perusahaan asal Negeri Tirai Bambu tersebut menanamkan investasi sebesar USD 500 juta. Adapun perjanjian kerja sama antara kedua belah pihak telah diresmikan pada momen pertemuan tahunan Bank Dunia di Bali pada beberapa waktu ke belakang.

Pria yang akrab disapa Ari ini menyebutkan, hal ini merupakan salah satu strategi Garuda dalam pengembangan atau ekspansi bisnis.

"Ban vulkanisir untuk pesawat, jadi kita di Indonesia belum ada. Nah kita sudah dapat investor dari China senilai 500 juta USD, kita sudah teken (tanda tangan) kemarin di forum IMF," kata Ari saat ditemui di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, ditulis Senin, 21 Oktober 2018.

Selama ini Garuda Indonesia memang sudah memiliki anak usaha bergerak di bidang perawatan pesawat, yaitu PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia Tbk. Namun, perusahaan tersebut tidak mencakup manufakturing.

"Kalau GMF beli impor dari luar belum manufaktur, tidak ada yang manufaktur ban pesawat di Indonesia. Bisnisnya sendiri di Indonesia belum ada pabrik maunfaktir ban pesawat padahal karetnya (bahan mentahnya) ada disini, penggunanya banyak di sini, kenapa kita enggak punya? Kenapa kita harus impor," ujar dia.

Saat ini, lanjutnya, pihaknya melakukan penjajakan dengan beberapa perusahaan vulkanisia ban ternama, di antaranya Bridgestone dan Dunlop. "Lagi di tahap akhir (pembicaraannya)," ungkapnya.

Selain Garuda Indonesia dan Citilink, nantinya maskapai lain pun bisa menjadi konsumen ban tersebut. Sebab, kata Ari, harga ban pesawat tersebut disinyalir akan jauh lebih murah dengan ban pesawat impor, tapi dengan kualitas yang sama.

Harga murah tersebut didapat dari hasil pemangkasan bea masuk impor dan bea pengapalan atau pengiriman barang via kapal.

"Akan lebih murah kalau ada di dalam negeri itu tidak akan kena biaya impor terus kemudian tidak kena biaya pengapalan, pasti lebih murah minimum 30 persen," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.