Sukses

Rupiah Melemah, BI Buka Ruang Naikkan Suku Bunga Acuan

Gubernur BI membuka peluang penyesuaian suku bunga acuan jika rupiah terus melemah.

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo membuka peluang penyesuaian 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga acuan jika pelemahan nilai tukar rupiah dinilai berdampak buruk terhadap stabilitas keuangan. Kurs rupiah terus melemah, bahkan sempat nyaris menembus 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). 

"Kita melihat bahwa itu tidak tertutup, terbuka kemungkinan itu. Tetapi kita meyakinkan, kalau kita perlu melakukan penyesuaian 7-day Reverse Repo Rate apabila kondisi ekonomi termasuk nilai tukar itu depresiasinya bisa mempunyai dampak buruk pada stabilitas keuangan," ujar Agus di Kantor BI, Jakarta, Kamis (26/4/2018).

Agus mengatakan, penyesuaian tersebut dapat terjadi apabila komponen ekonomi lainnya seperti inflasi juga mengalami kenaikan.

"Dan kalau seandainya ada dampak yang tidak kita harapkan perihal inflasi kita. Jadi itu, kalau kita membuka ruang artinya nanti kita tentu akan mengkaji secara baik dan dalam," jelasnya.

Pelemahan rupiah yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh penguatan mata uang AS terhadap hampir semua mata uang dunia (broad based). Penguatan dolar AS tersebut adalah dampak dari berlanjutnya kenaikan yield treasury AS (suku bunga obligasi negara AS) hingga mencapai 3,03 persen, tertinggi sejak 2013.

"Selain itu, depresiasi rupiah juga terkait faktor musiman permintaan valas yang meningkat pada kuartal II, antara lain untuk keperluan pembayaran utang luar negeri, pembiayaan impor, dan dividen," jelasnya.

Pelemahan nilai tukar rupiah masih terjadi hingga Kamis, 26 April 2016. Hari ini, rupiah tercatat melemah sebesar -0,88 persen. Persentase tersebut masih lebih rendah apabila dibandingkan beberapa negara lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, India dan Korea Selatan.

"Rupiah sampai 26 april 2016 terdepresiasi -0,88 persen month to date (mtd). Lebih rendah dibandingkan mata uang negara lain termasuk Thailand -1,12 persen, Malaysia -1,24 persen, Singapura -1,17 persen, Korea Selatan -1,13 persen, India -2,4 persen. Itu semua month to date," jelasnya.

Ke depan, untuk memperkuat upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya dengan tetap mendorong mekanisme pasar, Bank Indonesia akan menempuh beberapa langkah-langkah. Pertama, senantiasa berada di pasar untuk memastikan tersedianya likuiditas dalam jumlah yang memadai baik valas maupun Rupiah.

"Kita juga terus memantau dengan seksama perkembangan perekonomian global dan dampaknya terhadap ekonomi domestik. Lalu kita mempersiapkan second line of defense bersama dengan institusi eksternal terkait," tandasnya.

 

Reporter : Anggun P. Situmorang

Sumber : Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rupiah Kembali Melemah, Sentuh 13.940 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Kamis pekan ini. Ada banyak alasan yang membuat dolar AS terus menguat sepanjang pekan ini.

Mengutip Bloomberg, Kamis (26/4/2018), rupiah dibuka di angka 13.919 per dolar AS, menguat jika dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.921 per dolar AS.

Namun, sesaat kemudian rupiah kembali melemah bahkan sempat menyentuh level 13.940 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, pelemahan rupiah mencapai 2,74 persen.

Adapun berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 13.930 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.888 per dolar AS.

Dolar AS memang terus menguat di kawasan Asia karena kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS yang menembus angka 3 persen pada pekan ini. Angka tersebut pertama kalinya dalam tahun ini.

Kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS ini karena adanya kekhawatiran mengenai peningkatan pasokan utang pemerintah AS dan tekanan inflasi dari kenaikan harga minyak.

Selain itu, rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) juga menjadi alasan dolar AS menguat cukup tajam pada pekan ini.

"Kecuali ada kehancuran di pasar saham AS, dan tidak mungkin itu terjadi, sangat diragukan Bank Sentral AS tidak akan menaikkan suku bunga," jelas analis Oanda Singapura, Stephen Innes.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini