Sukses

Harga Emas Merosot Kena Imbas Data Ekonomi AS

Harga emas turun US$ 3,7 atau 0,3 persen menjadi US$ 1.358 per ounce.

Liputan6.com, Chicago - Harga emas melemah pada perdagangan menjelang akhir pekan ini seiring data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) lebih baik. Namun harga emas masih mencatatkan kenaikan dalam enam minggu ini setelah pelaku pasar memilih investasi relatif aman.

Harga emas untuk pengiriman Agustus turun US$ 3,7 atau 0,3 persen menjadi US$ 1.358 per ounce. Sementara itu, harga perak untuk pengiriman September naik 26,1 sen atau 1,3 persen ke level US$ 20.099. Selama sepekan, harga emas naik 1,5 persen. Sedangkan harga perak mendaki 2,6 persen.

"Ini tidak mengherankan harga emas turun. Namun faktanya kalau harga emas dapat kembali bangkit dari posisi terendah maka saya pikir ada sejumlah dana masuk ke emas," ujar Brien Lundin Editor Gold Newsletter, seperti dikutip dari laman Marketwatch, Sabtu (9/7/2016).

Data tenaga kerja AS telah menekan harga emas. Laporan data tenaga kerja AS pada Juni menunjukkan ada penambahan sebesar 287 ribu. Angka ini termasuk terbesar pada 2016.

"Data tenaga kerja Amerika Serikat terus meningkat secara moderat. Tren kenaikan ini akan menjadi pertimbangan bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga pada 2016. Suku bunga tinggi dapat mengurangi kilau harga emas," ujar Mark Watkins, Manajer Investasi US Bank.

Sebelumnya harga emas terus meningkat sejak Inggris memutuskan keluar dari keanggotaan Uni Eropa/Britain Exit (Brexit) dalam referendum pada 23 Juni. Keputusan itu membuat gelisah pasar, dan investor pun memilih aset investasi aman antara lain obligasi pemerintah dan emas.

Kepala Riset BullionVault Adrian Ash menuturkan, meski laporan data tenaga kerja AS menekan harga emas, prospek harga emas masih tetap kuat. Hal itu seiring pertumbuhan global melambat termasuk ekonomi China.

Ash menuturkan, faktor global akan membuat bank sentral AS atau the Federal Reserve enggan untuk menaikkan suku bunga acuan. Hal ini membuat emas bertahan.

"Brexit, risiko krisis perbankan baru di zona Euro dan perlambatan lanjutan di China ini menjadi kesempatan the Federal Reserve tidak menaikkan suku bunga. Apalagi volatilitas telah memukul pasar keuangan di seluruh dunia usai Brexit," kata Ash. (Ahm/Ndw)

*Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.