Malari, Mahasiswa dan Cendekiawan Ditangkap, Ide Mereka Diserap

Program-program populis itu membutuhkan banyak biaya. Pada saat bersamaan, terjadi "bonanza minyak."

oleh Liputan6 diperbarui 15 Jan 2014, 21:23 WIB
Buntut peristiwa 'Malapetaka 15 Januari 1974' atau Malari, 700 orang sempat ditangkap. 45 di antaranya ditahan selama berbulan-bulan, hanya 3 orang diseret ke pengadilan: Hariman Siregar, Aini Chalid, dan Sjahrir. 2 yang pertama masih mahasiswa, nama terakhir sudah lulus.

Dari kalangan yang "sekadar" ditahan ada nama Sarbini Sumawinata, Soedjatmoko, Mochtar Lubis, Marsillam Simanjuntak, Tawang Alun, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Adnan Buyung Nasution, dan sejumlah tokoh lain [baca: Malari, Buah Perseteruan 2 Jenderal?].

Para aktivis dan cendekiawan itu, sebelum Malari meletus, aktif mengkritik strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru. Rezim ini dianggap terlalu liberal, membuka pintu terlalu lebar bagi investor asing.

Tokoh-tokoh di atas punya kedekatan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), partai yang dibentuk Sutan Sjahrir. Terkhusus Sarbini, punya hubungan keluarga dengan Hariman, yaitu mertua. Sarbini meraih gelar master ekonomi dari Belanda.

Sarbini, seperti dikutip dalam disertasi Rizal Mallarangeng di Ohio State University, menulis bahwa hal yang dibutuhkan adalah, "Kebijakan industrialisasi yang jelas, yang secara sadar diarahkan pada pertumbuhan industri dalam negeri berdasarkan kekuatan dalam negeri dan barang-barang dalam negeri..."

Malari akhirnya meletus. Sejumlah gedung perkantoran dan pusat belanja dibakar sekelompok massa. 11 orang tewas [baca: Ketika Jakarta Dijilat Api pada 15 Januari 1974]. Namun, Malari menyimpan paradoks: para mahasiswa dan cendekiawan ditangkap, ide-ide mereka diserap.

Sepekan setelah Malari, Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional menggelar rapat khusus. Rapat itu menghasilkan sebuah keputusan presiden yang mengubah sistem kerja Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
2 dari 3 halaman



Dalam kebijakan baru itu, semua investasi asing diwajibkan berbentuk patungan dengan mitra lokal. dengan, minimal 51% saham harus milik mitra lokal. Beberapa pengecualian diberikan di ragam industri padat karya  bidang elektronik yang berorientasi ekspor.

Kredit Candak Kulak (KCK) digelontorkan dengan pelaksanaan diserahkan ke Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pinjaman ini diberikan kepada pedagang kecil dan harus dilunasi dalam 5 hari sampai 7 bulan dengan bunga 12% setahun.

KCK dilancarkan untuk menekan praktik lintah darat yang kerap menjerat pera pedagang kecil itu dalam pusaran utang tanpa ujung.

Selain KCK, juga dluncurkan beberapa kebijakan kredit untuk rakyat kecil seperti Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Pengusaha keturunan Tionghoa tak diperkenankan menerima dua jenis kredit ini.

Lalu, digelar Program Inpres yang meliputi pembangunan gedung sekolah dasar di seluruh Indonesia. Dalam "Petisi 24 Oktober" yang dirilis Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, misalnya, soal pemerataan memang mendapat sorotan tajam.

Salah satu poin petisi adalah: "...mengingatkan kepada pemerintah, militer, intelektual, teknokrat, dan politisi agar meninjau kembali strategi pembangunan, sehingga terjadi keseimbangan bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti-kemiskinan, kebobrokan, dan ketidakadilan."

Statistik membuktikan, program itu membuahkan hasil: rasio anak yang bersekolah meningkat dari 55% pada 1974 menjadi 100% pada 1983.
3 dari 3 halaman



Gubernur Bank Indonesia saat itu, Rachmat Saleh, mengatakan, "Perekonomian Indonesia yang sehat hanya dapat direalisir berdasarkan usahawan pribumi...seluruh prioritas kebijakan kredit di masa mendatang akan diarahkan kepada bisnis pribumi, besar atau kecil."

Program-program itu membutuhkan banyak biaya. Pada saat bersamaan, terjadi "bonanza minyak." Dipicu konflik Arab-Irael pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, negara-negara penting anggota OPEC melancarkan embargo ke Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa. Harga pun meroket.

Dari April 1973 sampai Januari 1974, harga minyak mentah naik hampir 400%, dari US$ 2,96 menjadi US$ 10,8 per barel. Sebagai negara pengekspor minyak, rezeki mengalir ke kocek Indonesia pada saat dibutuhkan.

Pengeluaran pemerintah juga meningkat tajam. Pada 1972-1973, pengeluaran pembangunan sebesar Rp 314,1 miliar. Pada 1974-1975, melonjak jadi Rp 615,7 miliar. Hampir 2 kali lipat.

Inilah periode ketika Orde Baru memperlihatkan wajah yang garang tapi populis. (Yus)







Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya