Rupiah Loyo ke 16.000 per Dolar AS, Pengusaha Bakal Kurangi Produksi

Nilai tukat rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tembus hingga 16.000 per dolar AS. Hal ini membuat para pengusaha mulai atur strategi.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 17 Apr 2024, 10:30 WIB
Karyawan menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 80 poin atau 0,57 persen ke level Rp 14.050 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukat rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tembus hingga 16.000 per dolar AS. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendinyalir beban produksi pengusaha akan meningkat.

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan industri manufaktur Indonesia, misalnya, masih banyak yang bergantung pada bahan baku impor. Pelemahan rupiah dinilai akan membuatnya jadi semakin mahal.

 

"Bahkan 70 persen dari total impor nasional adalah impor bahan baku/penolong industri. Ini akan naik menjadi 80 persen kalau ditambah dengan impor barang modal. Jadi dampak terhadap kenaikan overhead cost usaha industri manufaktur akan sangat memberatkan," kata Shinta saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (17/4/2024).

Dia menilai, dampak negatif ini juga akan dirasakan oleh semua subsektor manufaktur tanpa kecuali. Pasalnya, semua industri manufaktur nasional umumnya punya kebutuhan impor bahan baku atau bahan penolong dan impor barang modal.

Tekan Produksi

Shinta menaksir, akan banyak pabrik yang berusaha menekan jumlah produksi guna mengimbangi dengan beban biaya setelah perubahan nilai tukar rupiah.

"Kami mengsinyalir gangguan terbesar justru ada di sisi supply/produksi. Kami memperkirakan akan ada cukup banyak industri manufaktur yang menekan volume produksi karena kenaikan beban overhead cost yang disebabkan oleh pelemahan nilai tukar ini," jelasnya.

Dia mengatakan, ini disebabkan oleh tidak semua pelaku industri manufaktur bisa menanggung kenaikan beban overhead cost yang tinggi akibat pelemahan rupiah tadi.

"Tahun lalu saja kami lihat beberapa industri secara voluntary menghentikan produksi sementara karena bahan baku impor yang menjadi mahal karena pelemahan nilai tukar rupiah," pungkasnya.

 

2 dari 3 halaman

Harga Barang Ini Makin Mahal

Teller menunjukkan mata uang rupiah di bank, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan penguatan nilai tukar rupiah yang belakangan terjadi terhadap dolar Amerika Serikat sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia dan mekanisme pasar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Diberitakan sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terpantau melemah dan tembus hingga Rp 16.000. Hal ini disinyalir bisa memberikan dampak pada harga jual barang di dalam negeri.

Utamanya, pada barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Barang yang diproduksi di dalam negeri dengan bahan baku impor pun disinyalir tak luput dari kenaikan biaya produksi yang berimbas pada harga akhir.

"Terbuka kemungkinan adanya kenaikan harga jual di pasar bila pelemahan ini terjadi lebih dari 1 bulan," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani kepada Liputan6.com, Selasa (16/4/2024).

Dia menilai, dampaknya adalah inflasi harga pasar bisa ikut meningkat. Pada saat yang sama pertumbuhan penjualan atau konsumsi pasar diprediksi akan melambat.

 

3 dari 3 halaman

Inflasi Naik

Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Shinta memandang tingkat inflasi bisa melambung melampaui target yang ditetapkan. Hal ini hanya bisa dihindari jika pemerintah berherak cepat gua melakukan stabilisasi.

"Tidak tertutup kemungkinan juga inflasi beberapa bulan ke depan akan di luar target inflasi nasional bila dalam 1 bulan pemerintah tidak bisa mengstabilkan atau menciptakan penguatan nilai tukar," tegas Shinta.

Dia juga melihat akan terganggunya industri mamufaktur naskonal. Apalagi masih banyak yang mengambil bahan baku dari impor.

"Pelemahan nilai tukar rupiah sudah pasti akan memberikan dampak negatif thd industri manufaktur nasional. Bagaimana pun juga industri manufaktur nasional masih peru mengimpor bahan baku/penolong & barang modal," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya