Wanita Pengungsi Gaza Terpaksa Pakai Potongan Kain Tenda Sebagai Pembalut Saat Menstruasi

Selain pembalut, perempuan pengungsi di Gaza juga kesulitan mengakses air bersih. Fasilitas toilet pun tak sebanding, yakni 1:486 atau 1 toilet untuk 486 orang.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 22 Jan 2024, 20:01 WIB
Seorang perempuan Palestina menggantung cucian yang dicuci menggunakan air laut karena kurangnya air bersih dan listrik di sepanjang pantai di Deir el-Balah di selatan Jalur Gaza, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas. pada 29 Oktober 2023. (MAHMUD HAMS / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Para perempuan dan remaja putri di Gaza mencari cara untuk bertahan hidup dalam masa perang dengan Israel. Selain bahan makanan, mereka juga menghadapi kelangkaan pembalut atau produk menstruasi lainnya.

Laporan ActionAid, seperti dikutip dari WAFA, Senin (22/1/2024), mereka terpaksa menggunakan cara yang tidak higienis untuk memenuhi kebutuhan pembalut selama menstruasi. Lembaga swadaya masyarakat itu mendengar sejumlah perempuan pengungsi yang tinggal di Rafah menggunting kecil-kecil kain tenda mereka.

Hal itu dinilai meningkatkan risiko infeksi, selain tenda yang mereka tempati untuk melindungi dari dingin dan hujan juga tak lagi utuh. Situasi makin menyedihkan karena warga juga kekurangan sumber air bersih. Maka, menjaga kebersihan tubuh dianggap hampir mustahil. Sejumlah perempuan Gaza bahkan mengaku sudah berminggu-minggu tidak mandi.

"Tidak ada air. Aku menderita selama menstruasi. Tidak air bersih tersedia untuk membersihkan diriku selama menstruasi. Aku juga tak punya pembalut yang kubutuhkan selama menstruasi," kata salah seorang staf NGO tersebut yang menjadi korban situasi perang dengan Israel.

Kondisi makin menyedihkan mengingat Rafah saat ini dihuni lebih dari satu juta pengungsi Gaza, lempat kali lipat lebih banyak dari jumlah penduduk normal. Dalam situasi semrawut itu, tidak ada privasi. Antrean warga untuk toilet begitu panjang. UNRWA memperkirakan bahwa perbandingan toilet dengan jumlah pengungsi di sana adalah 1 toilet untuk 486 orang.

 

2 dari 4 halaman

Kekurangan Air Bersih

Warga Palestina mengantre untuk mendapatkan makanan gratis di Rafah, Jalur Gaza, Kamis, 21 Desember 2023. (AP Photo/Fatima Shbair)

Salah satu yang mengeluhkannya adalah Adara. Perempuan Gaza itu dipaksa meninggalkan rumahnya bersama empat anaknya akibat dibombardir Israel. "Kami sangat menderita ketika kami ingin pergi ke kamar mandi. Kami berbaris begitu lama dan kamar mandi letaknya begitu jauh," ucapnya.

Rata-rata manusia di Gaza hanya bisa mendapatkan 1,5 hingga 2 liter air bersih per hari. Jumlah itu kurang dari 3 liter air yang idealnya diperlukan untuk bertahan hidup, dan jauh dari minimum 15 liter air yang dibutuhkan setiap orang per hari untuk memenuhi kebutuhan minum dan sanitasi, termasuk mandi.

Tanpa air bersih, perempuan dan remaja putri yang sedang menstruasi tidak bisa membersihkan diri mereka dan tetap higienis. Kekurangan itu, ditambah kurangnya sabun, dan dengan banyak perempuan dipaksa menggunakan pembalut bekas atau alat pengganti lainnya lebih lama dari yang disarankan, telah membahayakan kesehatan mereka.

Riham Jafari, Koordinator Advokasi dan Komunikasi di ActionAid Palestine mengatakan, "Bayangkan Anda harus menghadapi menstruasi tanpa produk menstruasi, tisu toilet, atau sabun, dan tidak ada kesempatan untuk membersihkan diri sendiri – sambil hidup berdampingan dengan orang lain tanpa ada privasi."

 

3 dari 4 halaman

Hak Dasar Warga Gaza Tak Terpenuhi

Warga Palestina yang mengungsi akibat pemboman Israel di Jalur Gaza berkumpul di sebuah kamp tenda di Rafah, Jalur Gaza selatan, Senin (4/12/2023). Ratusan ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka ketika Israel melancarkan serangan darat terhadap kelompok militan Hamas yang berkuasa. (AP Photo/Fatima Shbair)

Riham melanjutkan hal itu dialami tidak hanya segelintir, tapi ratusan ribu perempuan dan anak perempuan di Gaza saat ini. Menurutnya, hal itu bukan hanya penghinaan terhadap martabat perempuan dan juga membahayakan kesehatan mereka.

"Salah satu rekan kami di Gaza mengatakan kepada saya bahwa sudah berminggu-minggu dia tidak bisa mandi. Wanita seperti dia menunjukkan ketahanan yang luar biasa dan menemukan cara kreatif untuk mengatur menstruasi dan kebutuhan mereka sebaik mungkin, tapi mereka seharusnya tidak melakukannya," ucapnya.

"Itu hak mendasar bagi perempuan untuk dapat mengatur menstruasi mereka dengan aman dan bermartabat."

Isu kelangkaan produk menstruasi sudah disuarakan media sejak akhir Desember 2023. Perang saat itu belum meluas ke Rafah, tetapi perempuan-perempuan Palestina sudah kekurangan pembalut, alat sterilisasi, dan peralatan kebersihan secara general. Hal ini berdampak negatif terhadap kehidupan mereka.

Berbicara pada The New Arab, dilansir Sabtu, 30 Desember 2023, perempuan setempat mengeluh bahwa mereka kadang-kadang harus menghabiskan waktu berhari-hari mencari pembalut dan tisu, selain alat sterilisasi kebersihan pribadi, di apotek, toko, dan pasar lokal.

Upaya itu pun jarang berbuah hasil karena langkanya stok barang-barang tersebut. Mereka mengaku menderita akibat tidak adanya perlengkapan kebersihan diri, terutama saat siklus menstruasi yang memerlukan perhatian khusus.

4 dari 4 halaman

Ganti Pembalut yang Ideal

Ilustrasi pembalut. (dok. Sookyung An from Pixabay/Dinny Mutiah)

Saat wanita menjalani masa menstruasi, pembalut menjadi salah satu kebutuhan utama. Namun, seberapa seringkah perempuan harus mengganti pembalut yang dipakai agar tidak berdampak negatif pada kesehatan?

Dilansir dari Antara, Minggu, 12 November 2023, seorang dokter kandungan dan ginekolog dari Bijnor, India, Sharma menganjurkan perempuan untuk mengganti pembalut sebanyak tiga sampai empat jam sekali untuk mencegah infeksi bakteri pada alat reproduksi. 

"Sebagian besar perempuan mengganti pembalut mereka berdasarkan volume darah," ujar Sharma, dikutip dari healthshots pada Sabtu, 11 November 2023.

Padahal, kata Sharma, baik volume darah menstruasi sedang tinggi maupun rendah, pembalut harus tetap diganti setiap empat jam. Ia menjelaskan bahwa penggantian pembalut setiap empat jam akan menurunkan risiko infeksi bakteri pada alat reproduksi. 

Sharma juga menerangkan bahwa tidak mengganti pembalut setiap empat jam juga dapat memicu permasalahan lainnya pada alat reproduksi, seperti gatal-gatal, keputihan yang berlebih, ruam pada kulit, bahkan infeksi saluran urin. 

Hal yang sama juga diutarakan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin lulusan dari Universitas Indonesia dr. Astrid Teressa, SpKK yang berpendapat mengganti pembalut setiap empat jam saat haid bisa membantu mencegah kulit di organ kewanitaan teriritasi akibat lembap ataupun gesekan.

"Kalau pembalut dipakai lama, tidak diganti, itu area sekitar jadi lembab, mudah iritasi," kata dia dalam diskusi di Jakarta, Kamis, 6 Juli 2023.

 

Infografis Tragedi Kemanusiaan 3.000 Lebih Anak Meninggal di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya