Irak Pertimbangkan Untuk Hidupkan Kembali Aturan Wajib Militer

Anggota-anggota parlemen Irak hari Minggu (6/11) dijadwalkan akan mengkaji sebuah RUU untuk menghidupkan kembali wajib militer.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Nov 2022, 08:03 WIB
Sebuah drone mengibarkan bendera nasional Irak saat perayaan keberhasilan menyingkirkan militan ISIS dari Kota Tua Mosul, Minggu (9/7). Irak memulai pertempuran merebut Mosul pada Oktober lalu dengan dukungan dari koalisi pimpinan AS. (FADEL SENNA/AFP)

Liputan6.com, Baghdad - Anggota-anggota parlemen Irak Minggu (6/11) dijadwalkan akan mengkaji sebuah RUU untuk menghidupkan kembali wajib militer di negara itu, hampir 20 tahun setelah kewajiban itu dihapus.

Wajib militer diberlakukan di angkatan bersenjata Irak pada tahun 1935-2003, dan baru dihapus setelah invasi pimpinan Amerika yang menggulingkan mantan diktator Saddam Hussein.

Anggota parlemen Irak, Yasser Iskander Watout, mengatakan pada AFP, RUU tentang wajib militer itu akan membuka jalan bagi diaktifkannya kembali wajib militer bagi laki-laki muda berusia 18-35 tahun untuk jangka waktu antara 3-18 bulan, tergantung tingkat pendidikan mereka. Mereka juga akan menerima tunjangan antara 600.000 – 700.000 dinar Irak, atau lebih dari 400 dolar Amerika, tambah Watout, yang bertugas di Komite Pertahanan parlemen itu.

Diperlukan waktu sekitar dua tahun setelah pengesahan undang-undang itu untuk mengaktifkan kembali wajib militer secara penuh, tambah Watout, dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (8/11/2022).

Namun, RUU itu juga mengatur bahwa putra tunggal dan pencari nafkah akan dibebaskan dari wajib militer.

Sejak penggulingan Saddam Hussein, Irak telah diselimuti konflik sektarian. Kelompok teroris ISIS juga telah merebut sebagian besar wilayah Irak, sebelum dikalahkan pada akhir tahun 2017 oleh pasukan Irak yang didukung pasukan koalisi pimpinan Amerika.

Koalisi anti-ISIS itu melanjutkan peran tempur di Irak hingga Desember 2021 lalu. Tetapi hingga saat ini sekitar 2.500 tentara Amerika masih tetap berada di Irak untuk membantu pelatihan, saran, dan bantuan pada pasukan nasional.

 

2 dari 4 halaman

RUU Wajib Militer

Ilustrasi Bendera Irak (AP)

RUU tentang wajib militer itu awalnya diajukan oleh Kementerian Pertahanan pada Agustus 2021, di bawah pemerintahan perdana menteri saat itu, Mustafa Al Kadhemi.

Irak akhir tahun lalu memilih parlemen baru, yang baru dilantik bulan Oktober lalu, dalam pemerintahan yang dipimpin Mohammed Shia Al Sudani, setelah mengalami kelumpuhan politik selama satu tahun.

Meskipun ISIS telah dinyatakan kalah, anggota-anggota kelompok itu masih terus melakukan serangan terhadap pasukan pemerintah dan mantan paramiliter Hashed Al Shaabi yang kini terintegrasi dalam pasukan reguler.

“Ancaman teroris” yang terus menerus itu mendorong anggota parlemen Sikfan Sindi untuk mengaktifkan kembali wajib militer, meskipun belum jelas apakah RUU Itu akan mendapat dukungan di parlemen. Hal ini termuat dalam wawancara Sindi dengan kantor berita Irak, INA.

Anggota parlemen dari komunitas minoritas Yazidi, yang pernah menjadi sasaran ISIS, Saeb Khidr mengatakan “militerisasi masyarakat tidak akan menciptakan patriotisme.”

Sementara mantan Menteri Urusan Listrik Louia Al Khatib mengatakan di negara di mana hampir empat dari sepuluh orang muda menganggur, akan lebih baik “menciptakan pusat latihan professional,” dibanding mengaktifkan kembali wajib militer.

3 dari 4 halaman

Irak Punya Pemerintahan Baru Usai Pertikaian Faksi Selama Setahun

Pekerja mengibarkan bendera Irak dan Takhta Suci Vatikan di tiang-tiang jalan di kota Mosul, Irak, Kamis (4/3/2021). Pemimpin Tertinggi Umat Katolik Paus Fransiskus memulai kunjungan bersejarah ke Irak pada Jumat (5/3), meskipun menghadapi pandemi Covid-19 dan ancaman keamanan. (Zaid AL-OBEIDI/AFP)

Pada Kamis 27 Oktober 2022, Parlemen Irak memberikan persetujuannya kepada 21 anggota kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammed Shia al-Sudani.

Akhirnya setelah setahun, Irak punya pemerintahan baru. Pertikaian antara faksi-faksi Syiah yang berbeda setelah pemungutan suara tahun lalu membuat parlemen mengalami kebuntuan politik.

"Tim menteri kami akan memikul tanggung jawab pada periode kritis ini, di mana dunia menyaksikan perubahan dan konflik politik dan ekonomi yang luar biasa," kata perdana menteri baru setelah pemungutan suara seperti dikutip dari DW Indonesia, Senin (29/10/2022). 

Mohammed Shia al-Sudani mengambil alih kekuasaan dari Mustafa al-Kadhimi yang menjabat sebagai perdana menteri sementara setelah protes anti-pemerintah yang meluas mengguncang Irak dan memicu pemilihan awal.

Kebuntuan politik sejak itu tidak banyak membantu memadamkan kemarahan publik atas apa yang dilihat banyak orang sebagai skandal korupsi yang meluas dan merajalela.

4 dari 4 halaman

Siapa al-Sudani?

Pengunjuk rasa meneriakkan slogan sambil mengibarkan bendera Irak dan Palestina saat demonstrasi di Tahrir Square, Baghdad, Irak, Sabtu (15/5/2021). Pengunjuk rasa berkumpul di Baghdad untuk menunjukkan dukungan bagi warga Palestina di Gaza dan mengutuk serangan Israel. (AP Photo/Khalid Mohammed)

PM Irak berusia 52 tahun itu berasal dari blok parlemen Kerangka Koordinasi Pro-Iran yang saat ini terbesar setelah kepergian anggota parlemen dari blok Syiah yang berlawanan di bawah perintah ulama populis Moqtada al-Sadr.

"Epidemi korupsi yang telah memengaruhi semua aspek kehidupan lebih mematikan daripada pandemi corona dan telah menjadi penyebab banyak masalah ekonomi, melemahnya wibawa negara, meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan layanan publik yang buruk,” kata al-Sudani dalam parlemen.

Irak telah bertahun-tahun mengalami konflik. Kelumpuhan politik baru-baru ini semakin menambah kesengsaraannya, kondisi negara tanpa anggaran, walaupun pendapatan dari minyak menghasilkan uang yang cukup besar.

Kurangnya lowongan pekerjaan dan layanan publik yang memicu protes anti-pemerintah semakin memburuk. Oposisi dari Sadr dan pengikutnya menambah tantangan lebih lanjut. Ulama itu mampu membawa ribuan pendukungnya turun ke jalan dalam upaya untuk menekan parlemen. Ketika itu gagal, mereka menyerbu gedung dan mendudukinya beberapa kali.

Popularitasnya, terutama di lingkungan kelas pekerja yang dikenal sebagai Kota Sadr, dan penentangannya terhadap sekutu dekat al-Sudani dan mantan Perdana Menteri Nouri al-Maliki, telah memicu kekhawatiran bahwa ia akan terus mengganggu sistem politik Irak yang rapuh.

Berikut kota-kota di Irak dan Suriah yang masih dibelenggu ISIS dan yang telah merdeka (Liputan6.com/Deisy)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya