AJI dan Warga Pesisir Gorontalo Nobar 'Angin Timur' Ekspedisi Indonesia Baru

Ekspedisi Indonesia Baru (EIB) digawangi empat jurnalis kawakan, yaitu Dandhy Dwi Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Ryamizard Harobu.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 22 Okt 2022, 03:00 WIB
AJI Ajak Warga Pesisir Gorontalo Nobar Film Angin Timur Karya Ekspedisi Indonesia Baru (Arfandi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Gorontalo - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo bersama The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) nonton bareng (nobar) film Angin Timur bersama warga pesisir Desa Botubarani, Rabu malam (19/10/2022). 

Film dokumenter Angin Timur merupakan film kedua Ekspedisi Indonesia Baru (EIB), terdiri dari empat jurnalis yang menjadi ekspeditor, di antaranya, Dandhy Dwi Laksono, Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Ryamizard Harobu.

Film yang berdurasi hampir dua jam ini, memperlihatkan kisah pilu nelayan di pesisir Pulau Jawa, mulai dari Kulon Progo, Jogja, Karimunjawa, Trenggalek, dan Banyuwangi.

“Film ini kami pikir relevan juga dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat pesisir Bone Bolango, terutama warga Desa Botubarani,” ungkap Franco Bravo Dengo, Sekretaris AJI Gorontalo.

Film dibuka dengan adegan nelayan Gunung Kidul Jogja menimba ikan layang dan tuna dari dalam perut perahu. Adegan lalu berpindah ke Pantai Baru. Di lokasi ini, EIB memotret kisah nelayan yang tak melaut dalam sebulan terakhir.

Menit awal hingga pertengahan film, penonton disuguhkan gambar dan kisah nelayan yang kesulitan ekonomi. Mulai dari sulitnya mendapatkan pasokan solar untuk melaut, hingga jumlah tangkapan yang makin sulit.

Ada pula potret nelayan yang menangkap ikan menggunakan pukat raksasa yang disebut cantrang. Klimaksnya, pada akhir film tim EIB mulai menyajikan bagaimana nelayan juga harus berjuang mempertahankan wilayah tangkapnya.

Sejumlah kerusakan lingkungan mengancam para nelayan, mulai dari pertambanangan hingga kerusakan karang akibat kapal-kapal tongkang.

 

2 dari 2 halaman

Memantik Diskusi

Narasi yang dibangun oleh dua sutradara film Dandhy Dwi Laksono dan Yusuf Priambodo memantik diskusi yang cukup panjang usai pemutaran film.

Gusnar Ismail, perwakilan nelayan Botubarani mengaku, apa yang disuguhkan di dalam film juga sebetulnya dialami oleh nelayan Botubarani.

Misalnya soal nelayan kecil Botubarani yang disebut sulit keluar dari mulut Teluk Tomini. Nelayan kecil ini kata Gusnar, hanya mampu berlayar beberapa kilometer dari bibir pantai.

“Tangkapannya juga tetap kecil. Berbeda dengan perahu yang besar-besar. Selain itu, nelayan di wilayah ini juga mengalami hal yang sama terkait sulitnya mengakses BBM jenis solar.” ungkap Gusnar.

Kata pria yang berkecimpung di dunia perikanan itu, hampir 70 persen warga Botubarani adalah nelayan. Karena itu, laut adalah tempat pencaharian mereka dan bergantung dari hasil laut.

“Jadi meski film ini dibuat di Pulau Jawa, namun tentu kondisinya sama dengan Sulawesi, dalam hal ini Gorontalo,” ia menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya