Jurnalis Perempuan Melawan Kekerasan Seksual dan Beban Ganda di Tengah Pandemi COVID-19

Permasalahan yang dihadapi jurnalis perempuan, termasuk beban genda dan ancaman kekerasan seksual, harus jadi perhatian di ruang publik.

oleh Asnida Riani diperbarui 25 Jun 2022, 20:01 WIB
Ilustrasi mencegah kekerasan seksual. (dok. pexels/Anete Lusina)

Liputan6.com, Jakarta - Bertambahnya faktor risiko kekerasan seksual dan beban ganda berada lekat di bayang-bayang pandemi COVID-19. Ini bisa terjadi pada siapa saja, tidak terkecuali para jurnalis perempuan.

"Tantangan jurnalis perempuan selama pandemi cukup berat. Selain menghadapi beban ganda, mereka juga harus beradaptasi dengan perubahan aktivitas jurnalistik, rentan kekerasan (seksual), dan ancaman ekonomi, hingga di-PHK," Indra Gunawan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KemenPPPA, mengatakan saat perilisan survei Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Sabtu (25/6/2022).

Masalah itu dibuktikan dalam survei yang dilakukan FJPI pada awal 2022. Sebanyak 63 dari 150 responden jurnalis perempuan di Indonesia mengaku mengalami beban ganda.

"Sering kali saya tidak bisa fokus dan harus mengorbankan satu hal. Biasanya tugas-tugas di rumah yang terbengkalai, tidak sempat berbelanja dan memasak karena harus Zoom meeting sejak pagi,” keluh salah satu responden dalam laporan tersebut.

Selain beban ganda, tidak sedikit jurnalis perempuan mengaku mengalami kekerasan seksual. "Pernah saat berdesakan proses pengambilan gambar penemuan mayat, ada seseorang yang menyentuh payudara (saya)," ia mengatakan.

Dampak lainnya, yakni sulit mengakses narasumber, informasi, dan data (45); ruang gerak yang terbatas (39); terdampak ekonomi; beradaptasi dengan teknologi (16); sulit melakukan observasi dan liputan mendalam (16); dan beban psikologi (9).

Menghadapi masalah-masalah tersebut, beragam strategi pun diusung para jurnalis perempuan, kata Lia Anggia Nasution dari FJPI. Sebanyak 55 responden berusaha mengasah kemampuan dalam platform digital dan 29 berusaha memperkuat jaringan dengan narasumber.

Kemudian, 15 responden membangun kolaborasi dengan jurnalis lain, dan delapan responden kreatif dalam merancang liputan maupun konten.

"Dibutuhkan pelatihan ke depannya agar jurnalis perempuan bisa turut menguasai platform digital, literasi data digital, workshop perencanaan liputan kreatif, membangun database jaringan narasumber, dan membangun kolaborasi dengan jurnalis lain," ia menuturkan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Meningkatnya Kasus KDRT

Ilustrasi seorang perempuan ekspresikan stop kekerasan seksual. (Sumber foto: Pexels.com).

Redaktur Senior Harian Kompas, Ninuk Mardiana Pambudi, mengatakan bahwa selain beban ganda yang dialami perempuan, kasus KDRT turut meningkat di masa pandemi. Fenomena itu merujuk pada data terkonfirmasi UN Women, McKinsey, dan Komnas Perempuan.

Beragam pengalaman yang diakui dalam sulvei pun mendorong Ninuk mendesak Dewan Pers memperhatikan kesejahteraan jurnalis perempuan. "Di dalam bayangan saya, seharusnya Dewan Pers juga lebih perhatian atas isu kesejahteraan perempuan jurnalis. Bebas dari berbagai bentuk kekerasan, keterampilan IT, dan isu kesejahteraan," ujarnya.

"Penting untuk seluruh jurnalis memiliki perspektif kesetaraan gender dalam pemberitaan. Tujuannya agar dunia pers yang didominasi kaum pria tidak meletakkan perempuan dan permasalahan yang dihadapinya sebagai wilayah domestik, sehingga tidak perlu mengemuka di ruang publik," ia menuturkan.

 

3 dari 4 halaman

Menggema di Ruang Publik

Ilustrasi perempuan/copyright freepik.com/benzoix

Ketua FJPI, Uni Lubis, pun menegaskan, permasalahan yang dihadapi jurnalis perempuan ini harus jadi perhatian di ruang publik.

"Pihak Dewan Pers telah meminta saya menyampaikan survei tersebut di hadapan seluruh pimpinan redaksi media massa agar jadi pertimbangan dan melahirkan kebijakan dengan perspektif kesetaraan gender," ujarnya.

Ia menambahkan, media jadi tonggak penting untuk memastikan Undang-Undang TPKS diimplementasikan di level korporasi. Karena itu, media perlu jadi contoh untuk setidaknya memiliki SOP terhadap kasus kekerasan seksual.

Menurutnya, SOP itu sangat penting. Namun, perlu juga sosialisasi dan memahami apa yang dimaksud pelecehan dan kekerasan.

"Kalau bisa memiliki mental health counselor atau bisa bekerja sama dengan teman-teman ahli di daerah. Dewan Pers akan segera menyiapkan pedoman itu, jadi media tidak perlu mengeluarkannya sendiri," tuturnya.

4 dari 4 halaman

Nasib Pebisnis Perempuan

ilustrasi pebisnis perempuan/copyright unsplash.com/Lars Kienle

Dampak pandemi juga membuat para pebisnis perempuan makin terpuruk dengan penjualan yang berkurang dan naiknya harga bahan baku. Selain itu, pembelajaran jarak jauh membuat tanggung jawab pengasuhan meningkat.

"Sebanyak 34 persen (pebisnis perempuan) menutup usahanya dalam waktu dekat. Permasalahan sunat perempuan, pernikahan anak, KDRT, maupun kekerasan seksual juga masih jadi fokus KemenPPPA untuk diselesaikan," Asdep Peningkatan Partisipasi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha KemenPPPA, Eko Novi ARD, mengatakan.

Berbagai kebijakan dan langkah strategis diupayakan pihak KemenPPPA untuk mendampingi dan memperkuat para perempuan wirausaha melewati masa pandemi. Namun, Eko menilai FJPI memiliki posisi strategis dalam menyampaikan informasi berperspektif gender untuk mengemuka ke ruang publik, sekaligus mengikis pola pikir patriarki.

"Sudah banyak upaya yang kami lakukan. KemenPPPA mendapat penambahkan fungsi dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020, seperti penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus," ujarnya. (Natalia Adinda)

 

Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya