Rupiah Hari Ini Diproyeksi Menguat Usai Suplus Neraca Perdagangan April 2022

Kurs rupiah pagi ini bergerak melemah 3 poin atau 0,02 persen ke posisi 14.648 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.645 per dolar AS.

oleh Tira Santia diperbarui 18 Mei 2022, 10:20 WIB
Petugas menghitung uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Senin (9/11/2020). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak menguat pada perdagangan di awal pekan ini Salah satu sentimen pendorong penguatan rupiah kali ini adalah kemenangan Joe Biden atas Donald Trump. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah diproyeksikan menguat pada Rabu pekan ini. Penguatan rupiah didukung surplus neraca perdagangan dan kebijakan pelonggaran penggunaan masker.

Kurs rupiah pagi ini bergerak melemah 3 poin atau 0,02 persen ke posisi 14.648 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.645 per dolar AS.

Analis Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) Revandra Aritama mengatakan, rupiah berpeluang menguat seiring Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat nilai ekspor Indonesia mengalami kenaikan ditopang oleh kenaikan harga batu bara.

"Secara neraca perdagangan, Indonesia juga mengalami surplus USD 7,56 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Laporan ini memberikan sentimen positif untuk rupiah," ujar Revandra dikutip dari Antara, Rabu (18/5/2022).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus USD 7,56 miliar pada April 2022, yang sekaligus menjadi surplus RI ke-24 kali berturut-turut.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, komoditas nonmigas penyumbang surplus terbesar berasal dari lemak dan minyak hewan atau nabati, kemudian bahan bakar mineral.

Dengan demikian, secara kumulatif, neraca perdagangan RI pada Januari-April 2022, Indonesia mengalami surplus 16,89 miliar dolar AS.

"Selain itu, kemarin presiden juga mengumumkan pelonggaran penggunaan masker. Ini juga bisa menjadi faktor pendorong bagi ekonomi lokal mengingat kebijakan ini memberikan sinyal bahwa Indonesia mulai keluar fase pandemi menuju endemi," kata Revandra.

Revandra memperkirakan rupiah hari ini berpotensi bergerak ke kisaran 14.600 per dolar AS hingga 14.700 per dolar AS.

Pada Selasa (17/5) lalu, rupiah ditutup menguat 52 poin atau 0,35 persen ke posisi 14.645 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.697 per dolar AS.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Waspada, Gejolak Inflasi dan Bunga Acuan Bisa Dorong Rupiah Sentuh 15.000 per Dolar AS

Petugas menghitung uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Senin (9/11/2020). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak menguat pada perdagangan di awal pekan ini Salah satu sentimen pendorong penguatan rupiah kali ini adalah kemenangan Joe Biden atas Donald Trump. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) telah menaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1 persen pada Mei 2022. Kenaikan tersebut dilakukan kala berbagai negara, termasuk Indonesia tengah menghadapi tekanan inflasi.

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai, situasi ini mengancam nilai tukar atau kurs rupiah makin melemah ke posisi Rp 15.000 per dolar AS.

"Dengan kondisi ekonomi global yang terus bermasalah dan inflasi yang tinggi membuat bank sentral global menaikan suku bunga, ini akan berpengaruh terhadap pelemahan mata uang rupiah. ada kemungkinan rupiah akan melemah di 15.000 per dolar AS," tuturnya dalam pernyataan tertulis, Selasa (17/5/2022).

Bank Indonesia (BI) juga telah memberi isyarat untuk segera menaikan suku bunga acuannya yang telah tertahan di level 3,5 persen selama 14 bulan beruntun.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2022 sebesar 5,01 persen year on year telah memberikan harapan lebih baik lagi dibanding tahun sebelumnya. Namun demikian, negara masih akan menghadapi tiga tantangan utama.

"Pertama, normalisasi kebijakan moneter di negara maju. Kedua, masih terdapatnya dampak dari pandemi di sektor riil. Dan yang ketiga, berlanjutnya ketegangan politik antara Rusia dan Ukraina," ungkapnya beberapa waktu lalu.

Secara global, Destry melihat tekanan inflasi yang terus menguat. "Sehingga ini harus diimbangi dengan normalisasi yang agresif yang dilakukan bank sentral dengan meningkatkan suku bunga kebijakannya. Tentunya juga dengan mengurangi likuiditas sistem keuangan," imbuhnya.

Namun, ia menilai, kebijakan itu pastinya memberikan ketidakpastian lebih lanjut, dengan semakin terbatasnya aliran modal ke emerging market, termasuk juga ke Indonesia.

3 dari 4 halaman

Kebijakan Moneter

Teller menghitung mata uang Rupiah di Jakarta, Kamis (16/7/2020). Penguatan Rupiah dipengaruhi aliran masuk modal asing yang cukup besar pada Mei dan Juni 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Meskipun demikian, Destry bersyukur karena dari sisi domestik di triwulan I 2022 pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai 5,01 persen secara tahunan.

"Ini tentunya memberikan harapan adanya perbaikan ekonomi, dan kita masih bisa sangat optimis bahwa perekonomian kita pada 2022 ini dapat tumbuh di range 4,5-5,3 persen," ujar dia.

Kendati begitu, pemerintah pun perlu mencermati beberapa hal yang masih dirasakan hingga saat ini. Diantaranya, efek memar atau scarring effect sebagai dampak akibat pandemi yang berkepanjangan sejak tahun 2020.

"Oleh karena itu, normalisasi kebijakan yang terlalu prematur akan sangat berisiko untuk pemulihan ekonomi. Namun, apabila terlalu lambat juga akan berdampak pada akselerasi risiko yang lebih cepat," sebut dia.

"Kebijakan moneter akan lebih diutamakan untuk pro stability untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Melalui bauran kebijakan tersebut, secara terukur Bank Indonesia akan mengambil kebijakan normalisasi yang diharapkan tidak mengakibatkan tertahannya pemulihan ekonomi," tandasnya. 

4 dari 4 halaman

Pelemahan Rupiah Tak Sedalam Ringgit, Rupee, dan Peso

Petugas menghitung uang rupiah di Bank BRI Syariah, Jakarta, Selasa (28/2). Rupiah dibuka di angka 13.355 per dolar AS, melemah tipis dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 13.341 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengakui bahwa nilai tukar rupiah melemah karena tekanan dari sentimen global. Namun jika dibandingkan dengan beberapa mata uang lainnya, pelemahan rupiah masih kecil.

Perry mencatat, nilai tukar rupiah terDepresiasi sekitar 0,42 persen sampai dengan 16 Maret 2022 dibandingkan dengan level akhir 2021. Angka ini relatif lebih rendah dibandingkan depresiasi dari mata uang sejumlah negara berkembang lainnya. Seperti ringgi Malaysia 0,76 persen (ytd), rupee India 2,53 persen (ytd), dan peso Filipina 2,56 persen (ytd).

"Dan alhamdulillah nilai tukar cukup baik yang depresiasi jauh lebih kecil dari negara lain," ujarnya dalam acara konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Rabu (13/4/2022).

Terjaganya nilai tukar rupiah ini didorong oleh berlanjutnya aliran masuk modal asing sejalan dengan persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik dan terjaganya pasokan valas domestikm

Ke depan, nilai tukar rupiah diprakirakan tetap terjaga didukung oleh kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap baik.

Untuk itu, Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan fundamental ekonomi, melalui langkah-langkah mendorong efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar. 

Infografis Nilai Tukar Rupiah (Liputan6.com/Trie Yas)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya