Penasihat Hukum Sebut Tuntutan Mati Terhadap Heru Hidayat Salahi Aturan

Lagipula, dia mengklaim dalam persidangan penuntut umum tak bisa membuktikan adanya aliran uang Rp 12 triliun.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 07 Des 2021, 07:24 WIB
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat (kanan) saat akan menjalani pemeriksaan penyidik Kejaksaan Agung di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/6/2020). Heru Hidayat diperiksa sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Tim penasihat hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menyebut tuntutan mati terhadap kliennya merupakan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung).

Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).

"Tuntutan mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan," ujar Kresna dalam keterangannya, Senin (6/12/2021) malam.

Menurut Kresna, hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat (2). Sedangkan dalam dakwaan terhadap Heru Hidayat, jaksa menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat diluar pasal yang ada di dakwaan. Tuntutan diluar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan diluar wewenang JPU. Atau bisa dianggap abuse of power," kata Kresna.

Lagipula, menurut dia, dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yakni apabila korupsi dilakukan ketika negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana. Menurut Kresna, dalam perkara Heru Hidayat, syarat dan kondisi tersebut tidak ada.

"Dari awal surat dakwaan tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan pasal 2 ayat (2) ini kepada Heru Hidayat, makanya JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU tipikor ke dalam dakwaannya. Kenapa sekarang tiba-tiba dalam tuntutannya malah menuntut mati," kata dia.

Dia mengatakan, jika alasan penuntut umum menuntut mati Heru Hidayat lantatan melakukan korupsi secara berulang, menurut Kresna, penuntut umum tak memahami pengertian dari pengulangan tindak pidana.

"Pengertian pengulangan tindak pidana itu orangnya harus dihukum dulu, baru kemudian melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam perkara ini, jelas tempus (waktu) perkara Asabri yang didakwakan JPU adalah 2012-2019, sebelum Heru Hidayat dihukum kasus AJS (Asuransi Jiwasraya) sehingga jelas ini bukan pengulangan tindak pidana," kata Kresna.

Lagipula, dia mengklaim dalam persidangan penuntut umum tak bisa membuktikan adanya aliran uang Rp 12 triliun. Malah, menurut Kresna, jaksa juga tidak bisa membuktikan Heru Hidayat memberikan sesuatu kepada pejabat PT Asabri.

"Selain itu, menurut kami unsur kerugian negara juga tidak terbukti karena sampai saat ini Asabri masih memiliki saham-saham dan Unit Penyertaan dalam Reksadana serta BPK tidak pernah menghitung keuntungan yang pernah diperoleh Asabri dalam penjualan saham periode 2012-2019, sehingga jelas tidak terbukti perbuatan yang didakwakan oleh JPU," kata Kresna.

 

2 dari 2 halaman

Uang Pengganti Rp 12,6 Triliun

Sebelumnya, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa menuntut Heru dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).

Jaksa meyakini Heru melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Menuntut majelis menyatakan Terdakwa (Heru Hidayat) terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa dalam tuntutannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021) malam.

"Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," jaksa menambahkan.

Jaksa juga menuntut hakim memberikan hukuman pidana berupa uang pengganti sebesar Rp 12,6 triliun ke Heru dengan ketentuan harus dibayar dalam jangka waktu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya