Pemerintah dan DPR Sepakati Asumsi Makro RAPBN 2022, Target Pertumbuhan Ekonomi hingga Inflasi

Pemerintah dan Komisi XI DPR RI menyepakati besaran pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen-5,5 persen dalam asumsi makro RAPBN 2022.

oleh Andina Librianty diperbarui 02 Sep 2021, 10:14 WIB
Ilustrasi APBN. Dok Kemenkeu

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dan Komisi XI DPR RI menyepakati besaran pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen-5,5 persen (year on year).

Sementara tingkat inflasi 3 persen, nilai tukar rupiah Rp14.350/Dolar Amerika Serikat, dan tingkat suku Bunga Surat Utang Negara (SUN) 10 Tahun 6,8 persen.

Ini merupakan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2022 (RAPBN 2022) yang disepakati pemerintah dan DPR pada Senin, 1 September 2021.

Sebelum adanya kesepakatan, Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya mengestimasi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,0-5,5 persen.

Hal ini disebabkan pandemi COVID-19 yang masih mempengaruhi perekonomian Indonesia. “Ini adalah salah satu forecast yang mungkin paling sulit dalam ketidakpastian begitu banyak. Pandeminya tidak bisa 100 persen kita bisa prediksi,” ungkap Menkeu pada Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (30/08/2021).

Sri Mulyani menyampaikan, Indonesia perlu mewaspadai faktor tapering, supply disruption, dan administered price dalam menjaga inflasi.

 

2 dari 2 halaman

Asumsi Makro Lainnya

Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)

Meski rata-rata inflasi tahun 2021 masih di bawah 1,5 persen, namun kondisi perekonomian pada tahun depan harus tetap mempertimbangkan secara hati-hati faktor yang bisa mempengaruhi.

“Pemerintah akan terus melakukan berbagai reformasi untuk bisa memperbaiki dari sisi komunikasi, sisi distribusi, sisi suplai pasokan, dan juga untuk melihat pola dari seasonality atau musiman yang biasanya juga mempengaruhi inflasi,” jelasnya.

Sedangkan dalam memberikan proyeksi untuk nilai tukar dan tingkat suku bunga SUN 10 Tahun, Menkeu mengatakan faktor yang menentukan yaitu gerakan suku bunga internasional maupun denominasi dolar yang sangat bergantung dari pemulihan ekonomi di Amerika Serikat.

“Dari sisi dua faktor ini, terutama Amerika Serikat kita perlu mengantisipasi pergerakan terhadap rupiah kita, walaupun rupiah Indonesia dalam hal ini dari sisi depresiasi yield to date-nya relatif di 2,3 persen dibandingkan dengan negara lain emerging country yang mengalami koreksi lebih dalam, ini Indonesia relatif cukup baik,” pungkasnya. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya